Oleh:
Rahmawati Ayu K., S.Pd*
TAK BANYAK yang tahu, sosok “Pitung Jagoan Betawi”, pahlawan pembela wong cilik yang berasal dari tanah Betawi ini bukanlah perampok budiman seperti yang banyak dikisahkan hingga hari ini. Banyak orang mengira sosok Pitung adalah satu orang, sebagaimana diketahui dalam cerita-cerita legenda dan dalam film “Si Pitung” yang beredar di masyarakat. Banyak juga yang terpengaruh oleh propaganda kolonialis, yang mencap Pitung sebagai “perampok” yang kemudian menjadi berita kolonial. Kemudian ditambah dengan cerita-cerita mistis, bahwa Pitung adalah sosok sakti, kebal, tidak mempan peluru, dan hanya bisa ditembus dengan peluru emas.
Mengutip dari tulisan Iwan Mahmoed Al Fatah yang berjudul “PITUNG (Pituan Pitulung), Jihad Fi Sabilillah Para Pejuang Menyelamatkan Jayakarta” (Oktober 2017), Pitung adalah kependekan dari Pituan Pitulung, yakni sebuah gerakan yang terdiri dari tujuh orang pemuda yang digembleng fisik dan ruhiyahnya, dibina dengan ilmu-ilmu keislaman, kemudian mencetuskan jihad fi sabilillah melawan penjajahan Belanda khususnya yang terjadi di Jayakarta/Jakarta.
Mereka dibekali dengan keterampilan bela diri dan pengetahuan strategi dalam menghadapi musuh-musuh. Sudah tentu hal-hal yang berbau mistis dan syirik, seperti pengadaan jimat mereka singkirkan jauh-jauh. Mereka berjuang sampai tetes darah penghabisan, demi terbebasnya tanah kaum muslimin di Jayakarta.
Karena kesulitan dalam melumpuhkan dan menangkap gerakan Pitung, persekusi (perburuan) terhadap Pitung makin digencarkan secara besar-besaran. Bahkan Belanda banyak memunculkan berita-berita palsu tentang Pitung, yang bertujuan agar rakyat lebih percaya pada Belanda daripada Pitung. Sejak saat itu Pitung lebih diidentikkan dengan perampok daripada pejuang Islam. Belanda pun menyiapkan lawan tangguh dari kalangan pribumi sendiri, yakni pasukan marsose, yang direkrut untuk memadamkan perjuangan Pitung. Tak ayal, strategi untuk memecah-belah rakyat terus dilakukan musuh.
Salah satu rujukan penting dari kisah Pitung adalah Kitab Al Fatawi yang ditulis oleh Datuk Meong Tuntu, yang kemudian pada tahun 1910 disalin kembali dalam bahasa Arab Melayu oleh KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Kitab ini menceritakan silsilah para pejuang Jayakarta, termasuk juga gerakan Pitung. Dari kitab inilah, penulisan tentang sejarah Pitung mendapat rujukan yang kuat.
Sejarah terus berulang
Tak lekang oleh zaman, pertarungan antara haq dan batil akan terus terjadi. Allah telah mengisyaratkan dalam firmanNya:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah: 120).
Peristiwa persekusi yang dialami oleh beberapa ulama yang dicintai umat akhir-akhir ini, seperti Ustadz Felix Siauw, Ustadz Abdul Somad, dll menunjukkan sejarah yang seolah berulang. Kalau dulu Gerakan Pitung yang dipersekusi dan dijuluki “perampok” oleh penjajah karena berani melawan penindasan Belanda, maka saat ini para ulama dan intelektual yang berani melawan penguasa dengan menyuarakan Islam politik, pun berusaha dibungkam dengan dijuluki “radikal” atau “teroris”. Tujuan julukan ini tentu saja untuk pembunuhan karakter, agar umat ketakutan sehingga tidak mengikuti dan meneladani para ulama ini lagi.
Ustadz Felix Siauw yang sedianya mengisi kajian di Masjid Manarul Islam, Bangil mengalami penolakan dari segelintir orang yang berasal dari sebuah ormas di wilayah tersebut pada Sabtu, 4 November 2017. Beliau difitnah sebagai dai yang anti-Pancasila dan anti-NKRI.
Tak hanya Ustadz Felix yang mengalami persekusi, Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) dan KH Shobri Lubis juga ditolak di Garut. Pengurus Pimpinan Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Garut dikabarkan keberatan dengan rencana tablig akbar yang akan diisi oleh UBN, pimpinan AQL Center dan KH shobri (Ketua FPI). (www.voa-islam.com)
Persekusi pun terjaditatkala Ustadz Abdul Somad (UAS) berada di Bali Desember 2017 kemarin. Di luar negeri Ustadz Abdul Somadpun tak luput dari persekusi, ketika hendak memenuhi undangan ceramah di Hong Kong. Mereka meminta UAS buka dompet. Membuka semua kartu-kartu yang ada. Di antara yang lama mereka tanya adalah kartu nama Rabithah Alawiyah (Ikatan Habaib). “Saya jelaskan. Di sana saya menduga mereka tertelan isu terorisme. Karena ada logo bintang dan tulisan Arab,” ungkapnya (www.kiblat.net).
Kedua peristiwa di atas menunjukkan adanya permainan dari segelintir kelompok atau oknum yang menginginkan umat Islam terpecah belah. Mereka bertujuan untuk membenturkan sesama umat Islam dalam melakukan persekusi.
Merasa alergi dengan ceramah yang dianggap kritis dan mengkritik rezim saat ini. Radikalisme dikaitkan dengan perjuangan menegakkan syariah dan khilafah. Keinginan umat Islam untuk dapat kembali melanjutkan kehidupan Islam sebagai solusi atas problematika umat dengan menegakkan syariah dan Khilafah dianggap sebagai tindakan yang mengusung radikalisme. Mereka bertujuan untuk membenturkan sesama umat Islam dalam melakukan persekusi.
Sayangnya, aparat kepolisian tak mampu bertindak menghadapi sekelompok orang tersebut, malah aparat mengakui bahwa mereka mendapat tekanan. Padahal, sejatinya aparat adalah pihak pelayan dan pengayom masyarakat. Hal ini menjadi bukti bahwa negara sedang darurat pihak keamanan yang telah membiarkan aktivitas persekusi terjadi di tengah masyarakat.
Ironisnya, ancaman nyata yang sedang terjadi di Papua tak pernah mendapat respon yang serius dari pihak kepolisian dan ormas yang melabeli dirinya penjaga NKRI. Organisasi Papua Merdeka telah nyata membentangkan bendera Bintang Kejoranya, mereka juga mendeklarasikan untuk berjuang mendapatkan kemerdekaan dan melepaskan diri dari Indonesia.
Mengapa hal ini dianggap bukan ancaman nyata yang memecah belah NKRI? Aksi separatisme dan kriminalitas yang dilakukan anggota OPM tak pernah diusut. Seolah biang kegaduhan dan perpecahan bangsa ini disebabkan oleh umat Islam. Lalu, dimana keadilan? Mengapa tuduhan anti-NKRI hanya dituduhkan kepada umat Islam dan para aktifis dakwah Islam? Mengapa cap teroris juga dialamatkan hanya kepada umat Islam, sedangkan jika pelakunya nonmuslim hanya disebut kriminal saja?
Ketakutan bangkitnya Islam politik
Ketua Eksekutif Nasional Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia, Chandra Purna Irawan,MH, dalam pernyataanya mengatakan bahwa sejak rangkaian Aksi Bela Islam I, II dan III, daya tawar politik muslim semakin kuat. Berbagai upaya dilakukan untuk menghadang bangkitnya kekuatan Islam.
“Dimulai dari penggembosan dan penghadangan peserta aksi bela Islam 1-2-3, kemudian tuduhan makar, kriminalisasi ulama, kini pemerintah berupaya untuk membubarkan ormas Islam dengan tuduhan anti pancasila, anti kebhinekaan, UUD’45 dan tuduhan lainnya yang menimbulkan keresahan masyarakat,” ujar Chandra.
Muhammad Natsir, seorang ulama, pejuang kemerdekaan dan seorang politisi muslim jempolan.pernah berucap, “Islam beribadah akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicabut seakar-akarnya”. Ucapan tersebut diungkap Natsir saat negeri ini di ambang krisis kehancuran akibat ulah elite yang ingin mengubah ideologi negara.Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.
Pernyataan pendiri Masyumi tersebut, ternyata masih relevan hingga saat ini. “Kekuatan anti Islam politik sesungguhnya tidak rela dan takut kalau kekuatan Islam Politik memegang tampuk kekuasaan negara,” kata Muchtar Effendi Harahap, Ketua Dewan Pendiri NSEAS (Network for South East Asian Studies).
Dalam tulisan yang tersebar di dunia maya, ia mengemukakan alasan kelompok anti Islam untuk menjegal kekuatan politik umat Islam. “Agar kekuatan Islam ini lemah dan tidak menjadi ancaman pada Pileg (pemilihan legislatif) dan Pilpres (pemilihan presiden) 2019 mendatang,” jelasnya.
Ia menjelaskan, fakta menunjukkan tokoh-tokoh Islam formal sudah ditinggalkan umat Islam sebagai panutan dan beralih pada tokoh Islam non formal, yang disebut ulama, ustadz, dan habib. Ini dibuktikan dengan Aksi Bela Islam I, II, dan III. “Kekuatan anti Islam politik tidak mau dan takut kepentingan kekuasaan mereka menghilang karena menguatnya kekuatan umat Islam pimpinan tokoh non formal ini, terutama umat Islam kelas menengah perkotaan,” jelas Muchtar.
Mengapa kelompok kelas menengah baru muslim ini ditakuti? Menurutnya, mereka cenderung lebih mandiri dan tidak bergantung pada negara dalam perolehan sumber pendapatan. Bahkan tidak suka masuk ke dalam dunia kepartaian juga sebagai anggota legislatif.
Di sinilah, bisa dipahami mengapa para tokoh umat non formal sekarang dipersekusi dan dikriminalisasi. Mereka ketakutan dengan kebangkitan kekuatan Islam politik yang anti pada ideologi kapitalisme, sekulerisme, dan komunisme yang saat ini dijadikan alat untuk menjarah negeri ini.(www.mediaumat.com)
Sunnatullah perjuangan
Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah dikendalikan Allah swt dengan sunnatullah. Oleh karena itu sunnatullah bisa dikatakan sebagai kebiasaan yang terjadi berulang pada hal-hal yang serupa. Sunnatullah tidak akan berubah sepanjang massa, oleh karena itu, kita sangat berkepentingan untuk mempelajarinya sehingga mendapatkan kemenangan dan kebaikan dalam setiap kesempatan.
Allah Ta'ala Berfirman:
ا“Mereka hanya menanti-nantikan (datangnya) sunnatullah (yang telah datang) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunatullah, dan sekali-kali tidak (pula) akan terhindari suntullah itu.” [Fathir; 43].
Dari dulu hingga sekarang, pejuang fi sabilillah pasti akan mendapat ujian yang berat sebagai tanda keimanan. Fitnah, adu domba, propaganda negatif, akan selalu dijumpai pejuang Islam yang ikhlas berjuang melawan kemungkaran. Bahkan Rasulullah Saw pun tak lepas dari ujian ini. Beliau pernah berusaha dipadamkan dakwahnya, akan dibunuh, dijuluki tukang sihir, atau orang gila.
Maka siapapun yang mengikrarkan diri untuk berjuang di jalan Allah, seperti gerakan Pitung pada masa lalu di Jayakarta, Ustadz Felix Siaw, Ustadz Abdul Somad, dll harus siap menghadapi ujian dakwah yang terus berulang hingga kemenangan Islam diraih. Wallahu a’lam bishawab.* Penulis adalah seorang pendidik, tinggal di Jember Jawa Timur