View Full Version
Jum'at, 19 Jan 2018

Islam Pertengahan: Setetes Cahaya dari Para Budak, Cahaya Sangat Berharga Bagi Perjalanan Malam

Oleh: Ar-Rasyid Fajar Nasrullah 

(Mahasiswa Prodi Ilmu Hadits UIN Sunan Kalijaga) 

Bagai awan hitam kelam yang membawa badai pada sore hari. Kehadiran pasukan Mongol di kancah perhelatan percaturan dunia pada masa itu menjadi sesuatu yang paling tidak ditunggu-tunggu. Pasukan yang diprakarsai oleh salah seorang panglima perang terkenal seantero jagat ini –Jengis Khan— , cukup membuat was-was kerajaan-kerajaan didunia pada saat itu. Bangsa yang hampir saja menguasai seluruh dunia ini, memang dikenal memiliki pasukan yang pemberani, “ganas”, sekaligus kejam.

Berbagai penaklukan telah mereka lancarkan. Salah satunya adalah penaklukan China yang terjadi pada tahun 1211-1216 M. Tak terelakkan juga bahwa negeri-negeri muslim pun turut menjadi incarannya, kota sastra Bukhara dan Samarkhand adalah dua dari sekian banyak saksi tak bisunya. Meskipun perlawanan sempat digencarkan oleh pasukan dari bani Saljuk (Turki) di bawah pimpinan Aladin Muhammad, rupanya Allah berkehendak lain. Serangan bangsa Mongol tak terbendung, Aladin dan pasukannya pun gagal menahan serbuan mereka.

Adapun salah satu serangan bangsa Mongol yang terganas bagi umat Islam ialah pada tanggal 10 februari 1258 masehi, yaitu ketika cucu Jengis Khan –Hulagu Khan— dengan membawa pasukan sebanyak 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad –pusat dinasti Abbasiyah—. Al Mustasim yang merupakan seorang khalifah dinasti abbasiyah pada saat itu benar-benar tidak mampu membendung kekuatan ini. ditambah lagi dengan kelakuan salah seorang wazir sang khalifah, Ibn al ‘Alqami, yang justru mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Pada saat yang genting itu al ‘Alqami mengaku telah bertemu dengan pasukan Mongol dan telah membuat perjanjian damai. Ia mengatakan kepada khalifah “saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja (Hulagu Khan) ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr, putra khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan Seljuk”[1].

Setelah mendengar demikian, khalifah pun setuju dengan usulan dari wazirnya itu. Akhirnya sang khalifah pun keluar bersama beberapa pengikutnya dengan membawa banyak hadiah berharga dan diserahkan kepada Hulagu Khan. Kemudian hadiah-hadiah itu dibagikan oleh Hulagu Khan kepada para panglimanya. Keberangkatan sang khalifah ini kemudian diikuti juga oleh beberapa tokoh penting pada saat itu, seperti ahli fiqh dan berbagai orang-orang terpandang lainnya.

Tetapi siapa sangka, ternyata sambutan Hulagu Khan terhadap kebaikan khalifah al Mustasim sungguh tak terduga. Apa yang dikatakan wazirnya ternyata tidak benar. Setelah mereka semua berkumpul, disini mereka semua justru dibantai oleh pasukan Mongol. Mereka dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran. Tak membedakan usia maupun jenis kelaminnya mereka semua di bunuh dengan keji. Sekitar 800.000 orang terbunuh termasuk sang khalifah pun termasuk dalam deretan list korbannya. Setelah lima ratus tahun di bangun dengan megahnya, kini Baghdad hancur dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Sore telah berganti malam, awan hitam itu pun tak kunjung pergi namun justru semakin tebal dan turut menyelimuti gelapnya malam. Malam itu bagaikan malam yang panjang bagi setiap kerajaan di dunia, tak terkecuali juga bagi kerajaan-kerajaan Islam. Kini kerajaan-kerajaan yang tadinya masih berstatus “waspada” mulai meningkat statusnya menjadi “awas”, mereka sedang siap siaga berjaga-jaga dari serangan bangsa Mongol yang seperti kilatan petir itu. Sudah diduga akan tiba, namun kedatangannya selalu tak disangka-sangka. Degupan jantung semakin terasa, berpacu dengan suara hentakan kuda yang memercikan api dengan kuku kakinya. Apalagi setelah hari itu, hari yang naas itu, hari hancurnya Baghdad. Jantung ini semakin berdegup begitu hebatnya.

Tapi siapa sangka, di tengah gelapnya malam yang diselimuti awan hitam kelam tanpa cahaya bulan dan bintang. Ketika itu manusia-manusia benar-benar berharap agar ada sebuah cahaya meskipun hanya secerca. Oh, dan benar saja ia datang dari sekerumunan budak yang dilatih. Yak, cahaya itu datang dari kalangan budak-budak elite, budak-budak milik para sultan dinasti Bani Ayyub yang terdidik dan terlatih sebagai seorang tentara, yang pada akhirnya mampu mendirikan sebuah dinasti, dinasti itu kini dikenal dengan dinasti Mamluk(budak) di Mesir.

Setelah menaklukan Baghdad dan menguasainya, saat itu bidikan pasukan Mongol selanjutnya ialah Mesir, dimana disana ada sebuah kerajaan Islam juga yang tidak boleh disepelekan. Disini terjadi sebuah peristiwa bersejarah yang tak boleh dilupakan, peristiwa ini terjadi pada awal tahun 1260 M. yaitu ketika pasukan dari bangsa yang hampir menduduki seluruh dunia Islam ini bertemu dengan tentara dari dinasti Mamluk dibawah komando Qutuz dan Baybars di Ayn Jalut tepatnya pada tanggal 13 september 1260 M.

Peristiwa ini bermula setelah pasukan Mongol berhasil menaklukan Nablus dan Gaza. Ketika itu Kitbugha –seorang panglima tentara Mongol, bawahannya Hulagu Khan— mengirim utusan ke Mesir, meminta Sultan Qutuz selaku pemimpin dinasti Mamluk ini agar menyerah kepada bangsa Mongol. Sontak saja permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Qutuz. Rupanya perlakuan sultan membuat para pasukan Mongol geram. Kemudian Kitbugha pun melintasi Yordania menuju Galilie.

Lalu pasukan ini bertemu dengan pasukan Mamluk yang dipimpin langsung oleh Sultan Qutuz bersama dengan jenderal terbaiknya, Zahir Baybars, di Ayn Jalut seperti diterangkan di awal. Akhirnya pecahlah sebuah peperangan antara Mamluk dengan Mongol, dan atas kehendak Allah pertempuran ini pun dimenangkan oleh umat Islam.

Rekor tak terkalahkan yang dipegang oleh pasukan Mongol pun akhirnya dipatahkan oleh Sultan Qutuz, Baybars, dan pasukan-pasukannya. Kemenangan ini memberikan harapan baru bagi setiap kerajaan-kerajaan Islam pada saat itu. kemenangan ini bagai cahaya lilin ditengah pemadaman listrik oleh PLN. Sangat diharapkan, dicari, dinanti, dan dijaga. Meski tak begitu besar seperti yang semula, cahaya ini tetap sangatlah berharga. Di tengah gelapnya malam yang suram itu hadir sebuah cahaya merupakan sebuah anugerah yang sangat indah. Meskipun kecil adanya tapi cahaya kecil itu akan menjadi sebuah pemantik awal untuk tumbuhnya cahaya-cahaya yang lebih besar.

Mungkin jika ini merupakan teater yang terjadi pada sebuah acara ajang pencarian bakat, maka semua juri dan penonton pasti akan standing applause saat menyaksikan kemenangan ini. manusia-manusia madesu (masa depan suram) pada saat itu sudah mulai berani menampakkan senyumnya, kembali menegakkan badannya, dan kembali memantapkan tatapannya.

Belajar dari sejarah ini, kita sebagai umat Islam tidak sepantasnya untuk mengeluh dan meratapi keadaan. Meskipun kini mayoritas muslim sedang dalam ketertinggalan, apakah itu dalam hal ekonomi, teknologi, maupun yang lainnya. Kita tetap harus yakin bahwa cahaya itu pasti akan muncul. Jika kita mulai was-was bahwa cahaya kebangkitan itu tidak akan muncul, itu berarti seharusnya kitalah yang harus berusaha agar menjadi bagian dari cahaya itu.

Cahaya yang memajukan Islam. Cahaya yang memajukan peradaban. Apalagi untuk kaum muda Islam, Bangkitlah!, jangan menyerah!, sudah saatnya kita untuk bangun. Bangun dari mimpi-mimpi indah yang panjang. Umat Islam waktunya berjuang! [syahid/voa-islam.com]

 

Daftar Pustaka:

al-Azizi, Abdul Syukur. 2014. kitab sejarah peadaban islam terlengkap. Jogjakarta: Saufa.

Anshary, Tamim. 2012. dari puncak Baghdad: sejarah dunia versi islam. Jakarta: Zaman.

Yatim, Badri. 2004. sejarah peradaban islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

[1] Dr. Badri Yatim, M.A., sejarah peradaban Islam, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2004, cetakan keenambelas), hlm. 114.


latestnews

View Full Version