Oleh: Desti Ritdamaya
Perkembangan statistik LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di Indonesia dewasa ini semakin mencemaskan. Apalagi promosi LGBT ternyata didukung oleh PBB melalui lembaga UNDP (United Nations Development Programme). Indonesia menjadi salah satu dari 4 negara yang mendapat kucuran dana segar dari UNDP sebesar USD 8 juta 1.
Indonesia melalui dana yang melimpah ruah ini akan menjadi objek kampanye LGBT secara massif dan sistematis. Tampak pada banyaknya isu, diskusi dan kegiatan advokasi menyuarakan LGBT yang mengemuka dalam pemberitaan berbagai media massa saat ini. Targetnya yaitu adanya dukungan, penguatan dan pelegalan LGBT di ranah publik.
Bulan Desember tahun 2017 Mahkamah Agung (MK) menganulir permohonan uji materi dari Euis Sunarti (Guru besar IPB) dan kawan seperjuangannya, yang ingin memasukkan LGBT dalam tindak pidana 2. Keputusan MK ini disinyalir banyak pihak sebagai ‘impact’ dari dana UNDP tersebut. Bagi para aktivis LGBT dan pendukungnya, keputusan MK ini dianggap angin segar. Buktinya mereka semakin berani dan agresif menunjukkan eksistensi penyimpangan orientasi seksual mereka.
Bahaya Laten LGBT
Banyak pihak menyesalkan keputusan MK tersebut. Bukan tanpa alasan, tapi memang bahaya laten di depan mata dengan semakin maraknya LGBT. Tidak hanya dipandang dari sudut agama, norma, kesehatan tapi juga sosial politik. Beberapa bahayanya sebagai berikut.
Mewabahnya HIV AIDS dan penyakit turunannya
HIV merupakan virus yang membawa penyakit AIDS. HIV AIDS menyerang sel darah putih dan merusak fungsi imunitas tubuh. Pakar kesehatan menjelaskan bahwa HIV AIDS ditularkan melalui kontak kelamin, darah dan air susu ibu. Kebiasaan seks yang tidak sehat (berganti-ganti pasangan; seks anal), penggunaan jarum suntik narkoba dan tato secara kolekif menjadi sarang bermuaranya penyakit ini.
Salah satu penyumbang terbesar peningkatan HIV AIDS baik internasional maupun nasional adalah LGBT. CDC (Center for Disase Control and Prevention) Amerika Serikat tahun 2016 merilis bahwa 1,12 juta jiwa AS terpapar HIV AIDS. Sebanyak 67 % pengidapnya dari kalangan gay dan biseksual 3. Di tingkat nasional bahkan lokal menunjukkan data yang linear dengan internasional. Akhir tahun 2016 KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) merilis terjadi peningkatan jumlah HIV AIDS dari kalangan gay (lelaki seks lelaki). Rasionya yaitu HIV sebesar 35 % dan AIDS sebesar 21,3 %. Mirisnya sebanyak 68 % adalah usia produktif (25-49 tahun) 4. Di tingkat lokal, pemberitaan dari berbagai media massa menyatakan sejumlah daerah mengalami kenaikan pengidap HIV AIDS, yang didominasi oleh gay dan biseksual.
Tentu saja ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi disinyalir hal ini sebagai fenomena gunung es. Kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih besar dari data yang ada. Sebagian pengidapnya enggan lantaran malu untuk memeriksakan diri. Bahkan ada yang sengaja tetap melakukan hubungan seks terlarang dengan tujuan menularkan penyakitnya ke orang lain. Menakutkan lagi ternyata muncul komplikasi penyakit baru dari HIV AIDS. Misalnya tuberkulosis, toksoplasmosis, meningitis kriptokokus, sitomegalo, infeksi CMV, ko-infeksi virus hepatitis, kanker dan lain sebagainya 5. Setiap pengidapnya tidak berdaya menahan sakit dan selalu berakhir dengan kematian yang mengenaskan.
Terjadinya depopulasi
LGBT membawa permasalahan yang lebih kompleks terhadap institusi bernama keluarga dan negara. Kecenderungan seks bebas pasangan gay ataupun lesbi salah satu sebab semakin tergerusnya institusi keluarga. Pun jika ada ‘pernikahan’ di antara sesama mereka, tak disangkal lagi ‘pernikahan’ tersebut tidak pernah bisa menghasilkan keturunan. Berkembangnya gay ataupun lesbi, semakin mengurangi pasangan pernikahan yang heteroseksual. Artinya akan terjadi pengurangan angka kelahiran generasi ke depan. Ini menyebabkan suatu negara akan mengalami depopulasi. Negara akan mengalami lost generation. Peningkatan jumlah kematian manusia yang terpapar penyakit HIV AIDS akibat LGBT pun turut menyumbang depopulasi.
Apalagi jika berbicara kualitas ‘keluarga’ hasil ‘pernikahan’ sejenis. Riset terbatas dilakukan komisi kerajaanuntuk kekerasan keluarga Victoria di Australia terhadap pasangan sejenis. Komisi ini menyatakan bahwa 1 dari 3 pasangan LGBT mengalami kekerasan dalam kehidupan ‘keluarga’ mereka 6. Anak yang tumbuh dan berkembang dalam ‘keluarga’ sejenis (baik dari adopsi atau sewa rahim) akan rentan permasalahan. Misalnya anak kebingungan dalam mempelajari peran gendernya. Anak akan memendam emosi karena terkena bullying lingkungan sekitar yang membicarakan ‘orangtuanya’ yang tidak berbeda gendernya. Apalagi ada kasus anak juga menjadi pelampiasan seks dari ‘orang tua’ nya. Akhirnya kebanyakan anak pun mengikuti jejak ‘orang tua’ nya menjadi gay atau lesbi.
Hal ini tentu sangat meresahkan. PBB secara gamblang mempromosikan gaya hidup menyimpang ini kepada masyarakat dunia. Padahal dibalik semua itu terdapat konspirasi depopulasi penduduk. Indonesia menjadi target karena ingin mengurangi populasi muslim tanpa masyarakat menyadari yang sebenarnya.
Menguatkan pemikiran liberal di tubuh kaum muslim
Paham liberalisme (kebebasan individu) membuat LGBT semakin tumbuh subur di masyarakat. Jargonnya yaitu LGBT bagian dari HAM harus dihargai dan dibiarkan sebebasnya selama tidak mengganggu orang lain. Klaim pembenaran HAM, memenjarakan masyarakat untuk menentang LGBT. Pihak yang menentang akan tertuduh sebagai pihak intoleran. Sehingga kalah suara, sedangkan aktivis dan pendukung LGBT semakin di atas angin. Apabila Indonesia negeri muslim terbesar di dunia berhasil melegalkan LGBT, maka opini yang diciptakan adalah Islam ‘membenarkan’ LGBT.
Sejatinya ide liberalisme yang dibungkus HAM adalah alat penjajahan yang sengaja dipasarkan oleh hegemoni ideologi kapitalisme ke setiap negeri muslim. Ide liberalisme diwajibkan menjadi standar kebenaran pemikiran. Tujuannya agar peradaban kapitalisme tetap bertahan dan bercokol di negeri muslim.
Wajar PBB sebagai perangkat politik dari negara kapitalisme, rela mengucurkan dana yang besar untuk mensukseskan ide-ide liberalisme, termasuk LGBT. Keuntungan kapital yang akan diperoleh mereka dibalik semua itu jauh lebih besar bahkan dalam durasi waktu yang panjang. Mengapa ? karena lemahnya pemikiran kaum muslim dalam aqidah Islam, menjadikan terdiktenya pemikiran kaum muslim oleh negara kapitalisme seperti AS dan kroninya. Sehingga negara kapitalisme begitu mudah mengambil dan mendapatkan SDA negeri muslim melalui para komprador dan kaki tangan mereka.
Hal ini pun bersesuaian dengan pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang menilai fenomena kemunculan LGBT di Indonesia bagian dari proxy war atau perang proksi untuk menguasai bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer 7. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]