Oleh: Roni Tabroni
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi USB YPKP, Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah)
Memiliki sejarah panjang, media Islam begitu penting dalam percaturan pers tanah air. Tercatat, sejak Al Munir lahir pada tahun 1911 di Padang Panjang, media Islam kemudian tumbuh menyapa masyarakat dengan bentuk dan konten yang khas.
Di tengah tumbuhnya media massa yang diterbitkan bangsa Belanda dan China, media Islam lahir dari rahim putra pribumi dengan semangat anti penjajahan. Menjadi penting, mengingat media Islam memiliki misi yang berbeda dalam membangun dunia informasi di tanah air.
Karena kekhassannya, media Islam dalam bentuk cetak pada umumnya tidak bisa disamakan dengan media lain dalam berbagai hal. Kita bisa melihat beberapa perbedaan itu setidaknya pada sisi konten, manajemen, kepemilikan, SDM, hingga konsumennya. Kecuali Republika, media Islam memang dikemas dalam suasana yang berbeda dengan media umum, sehingga tidak bisa mengukur kebesaran media Islam dengan menggunakan kacamata media pada umumnya.
Walaupun demikian, berbeda bukan berarti media Islam tidak menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik. Perbedaan pada persoalan yang bersifat strategi untuk lebih memaksimalkan perannya yang khas tersebut. Beberapa perbedaan yang kemudian dianggap sebagai kekhassan tersebut diantaranya:
Pertama, media Islam memilih segmen yang fokus. Kita sulit menemukan media Islam (baik majalah maupun taboid) di lapak-lapak koran pinggir jalan, sebab rata-rata media Islam ini sudah memiliki pelanggannya sendiri-sendiri. Penyebaran media Islam juga banyaknya menggunakan sistim sel, sehingga tidak dilakukan secara massal di tempat-tempat umum.
Kedua, diterbitkan oleh lembaga Islam atau komunitas. Lembaga agama baik dalam bentuk Ormas maupun komunitas menjadi kelebihan media Islam sebab biasanya memiliki jamaah yang sangat solid. Soliditas itu dibangun oleh kesamaan idiologi, yang membuat orang memiliki keterikatan dengan media yang diterbitkan oleh organisasinya. Maka tidak heran jika warna media Islam sangat variatif, tergantung dari corak organisasinya itu sendiri.
Ketiga, motif penerbitan media Islam adalah dakwah dan pencerahan. Menerbitkan media, bagi organisasi Islam bukan hanya mencari dan menyebarkan informasi, tetapi yang lebih penting adalah menjalankan misi dakwah dan pendidikan kepada ummat. Walaupun ada yang bermotif bisnis, tetapi itu kecil, secara umum media Islam memiliki peran yang strategis untuk memberikan bekal kepada jamaahnya masing-masing dengan cara menyeru dan mengedukasi.
Keempat, dari sisi konten lebih cenderung analitis. Media Islam tidak berbasis pada kecepatan berita semata, tetapi di dalamnya sangat kaya dengan pendapat dari tokoh agama, analisis terhadap sebuah fenomena sosial tertentu, termasuk banyak tuntunan. Sebagai sarana dakwah, media Islam lebih banyak konten yang bersifat membimbing dan memberikan pencerahan. Jajaran redaksi laksana pendakwah yang memberikan muatan keagamaan dengan berbagai kemasan konten dengan pendekatan jurnalisme.
Eksistensi media Islam khususnya yang tercetak pada dasarnya tergolong mapan. Walaupun tidak menjadi industri besar, namun keberadaannya harus diakui telah menjalankan fungsi jurnalismenya melintas zaman. Faktanya, media cetak tertua di Indonesia yang masih terbit sampai saat ini adalah majalah Islam yang diterbitkan Ormas Muhammadiyah yaitu Suara Muhammadiyah.
Bahkan, pada Haris Pers Nasional (HPN) tahun ini (2018), panitia memberikan kepercayaan kepada Suara Muhammadiyah untuk menerima penghargaan dengan kategori “kepeloporan sebagai media dakwah perjuangan kemerdekaan RI dalam bahasa Indonesia”. Kepercayaan ini juga merupakan bentuk pengakuan negara terhadap media Islam yang sudah terbit sejak 103 tahun lalu.
Walaupun tidak menjadi industri raksasa, media Islam terbukti lebih kuat bertahan di tengah persaingan media yang begitu ketat, bersaing dengan media online yang sangat menjamur, bahkan tahan terhadap badai krisis yang telah merontokkan media-media bermodal besar. Ketahanan media Islam setidaknya membuktikan sebuah aktivitas jurnalistik ternyata dapat melampaui usia lebih dari satu abad walaupun menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan.
Ketika kita tidak banyak menemukan media Islam di lapak-lapak koran, bukan berarti mereka tidak ada, kehadirannya akan terasa ketika berada dalam komunitas keagamaan tertentu. Mereka secara konsisten menyapa dan selalu memberikan pencerahan. Sedangkan bacaan koran atau media umum, hanya sebagai tambahan untuk informasi yang sifatnya sekilas, sebab memiliki corak yang berbeda. Sehingga timbul dan tenggelamnya media umum, tidak menggoyahkan media Islam yang tetap terbit dalam komunitas tersebut.
Fenomena jurnalisme seperti ini tentu saja menjadi khasanah kekayaan yang dimiliki Indonesia. Walaupun luput dari kajian dan bahan ajar di lembaga-lembaga pendidikan resmi termasuk Perguruan Tinggi, namun media Islam tetap ada walaupun tidak seseksi media umum. Saatnya kini berbagai pihak melirik keberadaan media Islam, pemerintah memperhatikan keberadaannya, dewan pers harus melindunginya, para peneliti dapat mengkajinya, mahasiswa mempelajarinya, termasuk ummat Islam dapat mengakui keberadaannya.
Walaupun bukan tanpa cacat, media Islam setidaknya memiliki modal sosial yang cukup tinggi yaitu para pengurus organisasi keagamaan dan komunitas yang sangat konsen dengan dakwah juga para pembaca yang sangat loyal.
Ke depan, media Islam juga perlu melakukan pembenahan dalam berbagai sisi, dalam rangka memaksimalkan peran dakwahnya. Yang tidak kalah pentingnya juga, media Islam menentukan visi dan orientasi medianya di tengah gempuran islamphobia dan krisis kemanusiaan yang terus meningkat. Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]