View Full Version
Rabu, 21 Mar 2018

Perguruan Tinggi Asing Masuk Indonesia, yang Untung Siapa?

Oleh: Nurul Wahida, S.Pd, 

(Alumnus Universitas Negeri Medan, mahasiswi program magister Institut Teknologi Bandung)

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir dalam konferensi pers di Jakarta Senin (29/1/2018) menyatakan bahwa untuk menghadapi globalisasi pendidikan dan revolusi industri 4.0, sejumlah perguruan tinggi asing akan beroperasi di Indonesia pada tahun ini.

Dia mencatat ada lima sampai 10 universitas asing yang sedang bersiap membuka perwakilan di Indonesia. Sejumlah perguruan tinggi kelas dunia menyatakan ketertarikannya untuk beroperasi di Indonesia seperti University of Cambridge, Melbourne University, Quensland, National Taiwan University.

Beliau optimis beroperasinya universitas asing unggulan di Indonesia akan memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam negeri untuk mendapatkan fasilitas pendidikan tinggi berkualitas tanpa harus bepergian ke luar negeri. Selain itu, perguruan tinggi asing bisa mendatangkan mahasiswa dari luar negeri untuk belajar di Indonesia. "Jika ini terealisasi, tentu saja akan membawa dampak pada perekonomian masyarakat," papar dia.

Beberapa tokoh yang mendukung yaitu Rektor UI Muhammad Anis, beliau berargumen agar kita jadikan keberadaan mereka adalah sebagai trigger (pemicu) untuk kita memperbaiki diri dan melakukan evaluasi mana yang perlu kita tingkatkan dan sebagainya.

Menanggapi hal ini tak sedikit pihak yang memberi komentar kontra pula. Seperti yang dikutip oleh harian Antara, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko di Jakarta, pada Senin (29/1/2018) menyatakan pemberian izin perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia akan mengancam keberadaan lembaga pendidikan tinggi yang sudah ada.

Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan melihat keinginan pemerintah ini akan sangat memberi keuntungan bagi PT asing. Kampus-kampus asing itu akan menerima banyak mahasiswa dan mendapat keuntungan besar.

Jika mempertimbangkan suatu keputusan, kita perlu meninjau seberapa besar dampaknya bagi bangsa ini. Jika memang program ini dibuat dalam rangka menghadapi globalisasi pendidikan, bukankah globalisasi sendiri telah kita saksikan memberi dampak negatif yang besar terhadap bangsa ini? Disini Penulis ingin meninjau dari beberapa sisi.

Pertama, dari sudut pandang ideologi dan budaya.  Kita perlu meninjau kembali bagaimana pengaruh masuknya budaya barat dan gaya hidup sekuler-liberal yang menjadi salah satu penyebab rusaknya moral pemuda-pemudi ini. Jika keputusan ini terealisasi maka pintu gerbang bagi paham liberalisme dan kroni-kroninya (Individualisme, materialism, dsb) pun semakin terbuka lebar.

Kita semua tahu bagaimana gaya hidup mahasiswa internasional di negeri-negeri Barat yang sudah sangat jauh dari nilai-nilai agama bahkan tak sedikit yang menganut paham atheis. Dunia kampus tak pernah sepi dari forum-forum diskusi ilmiah dan sebagainya, hal ini merupakan medium yang sangat tepat untuk terjadinya proses transfer ideologi dan paham-paham barat ke benak pemuda-pemudi kita.

Disisi lain, jika program ini dianggap dapat menjadi pemicu bagi Perguruan Tinggi dalam negeri untuk terus berkompetisi dan mengejar kualitas, lalu bagaimana dengan nasib Perguruan Tinggi Negeri domestik? Sebab program kerja sama ini hanya dilakukan dengan perguruan tinggi swasta (PTS), bukankah akhirnya dapat berdampak kepada semakin sedikitnya peminat Perguruan Tinggi Negeri?

Sisi yang lebih berbahaya adalah dengan masuknya PT asing ini, maka para imigran atau para pendatang dari berbagai negara tersebut dapat dengan mudah melakukan eksplorasi terhadap lokasi sumber-sumber daya alam (SDA) kita yang akhirnya bangsa kita lagi yang rugi, mereka jelas untung besar.

Maka harusnya sebelum program ini terlaksa, ada baiknya pemerintah benar-benar mengkaji lagi dan bersikap jujur pada kenyataan untuk membela kepentingan bangsa jangan hanya tergiur dengan keuntungan-keuntungan besar yang hanya fatamorgana. Jangan biarkan cengkraman kapitalisme liberal barat terus memangsa bangsa ini. Telah banyak dilakukan kerja sama dengan asing, namun sejatinya apa? Bukankah tak ubahnya sebuah penjajahan gaya baru yang berkedok “kerjasama”?

Pada hakikatnya kita harus percaya diri dengan kemampuan dan potensi bangsa ini sehingga menjadi bangsa yang mandiri dan tidak gampang bergantung dengan asing apalagi barat.

Selama kita masih terus bergantung maka selama itu pula kita tetap tak pernah bisa mandiri dan menajdi bangsa yang kuat. Bagaimana agar mampu mandiri? Disitu lah PR besar pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi dalam negeri dengan serius. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version