View Full Version
Jum'at, 23 Mar 2018

Ancaman Pedofilia di Ujung Jari Anak Kita

Penulis : Ragil Rahayu Wilujeng, SE

Kasus pedofil kembali terulang. Kali ini Polda Jambi menangkap Toni (28) terkait kasus pelecehan seksual ke 87 anak. Semua korbannya anak laki-laki dan berasal dari berbagai provinsi. Para korban berusia antara 15 sampai 17 tahun.

Pelaku memperdaya korbannya lewat media sosial instagram. Yaitu dengan pura-pura menjadi perempuan, lalu menarik para korban hingga mereka mau mengirimkan fotonya tanpa busana. Setelah itu, pelaku memaksa mereka melakukan kemauannya. Jika tidak, foto mereka akan disebar ( detikcom, 20/3/2018).

Ini adalah kasus pedofil yang ke sekian kalinya. Indonesia disebut sebagai surga kaum pedofil. Jaringan pedofil yang beraksi di Indonesia adalah jaringan internasional. Lembaga Ending the Sexual Exploitation of Children (ECPAT) dalam catatan akhir tahun 2017, menyebut Indonesia menjadi salah satu negara tujuan para pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual anak dengan menjadi wisatawan. Bahkan  Interpol dan Federal Bureau of Investigation (FBI) menyebut kasus pedofilia di Indonesia tertinggi di Asia. (tempo.com, 5/5/2014).

Media Sosial

Kini pedofil makin mudah beraksi dengan maraknya media sosial. Mereka memanfaatkan medsos untuk membangun jaringan pedofil dan juga menggaet mangsa. Pada maret 2017 terungkap adanya grup dan fanpage pedofil di facebook bernama loly's candy. Anggota grup yang berjumlah 7000 orang secara teratur mengunggah tautan pornografi anak dengan korban yang berbeda. Beberapa video bahkan dibuat oleh anggota sendiri. Bagi yang mengunggah foto atau video porno anak akan mendapat imbalan uang.

Pada kasus pedofil di Jambi, pelaku terbukti menyimpan 6.520 foto korbannya tanpa busana di akun instagramnya. Disinyalir pelaku tak hanya bermotif kepuasan diri, namun punya motiv ekonomi. Foto para korban biasanya dijual ke grup pedofil. Selain melalui facebook dan instagram, kaum pedofil juga aktif membuat jaringan melalui grup di Whatsapp. Ancaman pedofilia kini ada di ujung jari anak kita, melalui gadget.

Negara Lemah

Indonesia sudah memiliki sederet aturan untuk menjerat pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Diantaranya adalah UU no 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Menurut undang-undang ini, pelaku kejahatan seksual anak bisa dihukum kebiri kimia. Bagi pelaku kejahatan seksual anak online dikenakan Pasal 27 ayat (1) Jo Pasal 45 ayat(1) UU no 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, dengan pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda Rp 1 miliar. Mereka juga dijerat UU Nomor 44 tahun 2008 ayat 1 Jo Pasal 29 dan ayat 2 Jo Pasal 30 tentang Pornografi, dengan denda paling banyak masing-masing Rp 6 miliar dan Rp 3 miliar.

Meski banyak aturan untuk menjerat kaum pedofil, nyatanya kasus pedofilia kian marak. Komisioner KPAI Putu Elvina kepada detikcom, Jumat (5/1/2018) menyatakan bahwa perlindungan anak masih jalan di tempat. Begitu banyak kejadian tapi belum terlihat upaya yang sangat konkret. Upaya pemerintah tidak secepat tindak kejahatan tersebut.

Kebebasan Seksual

Aturan pemerintah justru memberi ruang pada kebebasan seksual. Misalnya pembiaran beredarnya konten pornografi di berbagai media, termasuk media sosial. Penutupan ribuan situs porno oleh Kemenkominfo tidak sebanding dengan munculnya situs serupa dengan jumlah lebih banyak.

Liberalnya definisi pornografi juga menyulitkan penindakan. Konten baru disebut porno jika menampakkan tiga aurat vital. Namun nampaknya aurat lain tidak disebut pornografi. Maka artis berbaju seksi bisa santai wara-wiri di media.

Definisi kejahatan seksual juga sangat liberal. Pedofil dilindungi dengan alasan itu adalah orientasi seksual. Merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, pedofilia digolongkan dalam parafilia: gangguan mental yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap objek atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Orang yang mengidap pedofilia memiliki dorongan, perilaku seksual, atau fantasi kuat serta berulang tentang anak-anak pra-puber. Artinya pedofilia tidak selalu berupa kejahatan seksual.

Definisi ini berbahaya karena akan menurunkan kewaspadaan masyarakat terhadap kaum pedofil. Apalagi mereka biasanya berlaku ramah pada anak dan suka memberi iming-iming materi. Sehingga orangtua tidak curiga. Selain itu UU perlindungan Anak juga menjamin kebebasan anak. Sehingga upaya orang tua membatasi akses gadget anak bisa dipandang sebagai pengekangan kebebasan anak. Namun sikap longgar orang tua justru berujung pada bahaya kejahatan seksual bagi anak. Sungguh dilema.

Solusi Islam

Pedofilia marak karena kebebasan seksual yang dilindungi aturan negara. Aturan yang ada juga lebih bersifat penindakan dan minim pencegahan. Padahal upaya pencegahan akan bisa menutup "keran" munculnya pedofilia. Saat ini "keran" itu jebol karena lemahnya peran negara.

Untuk mencegah munculnya kejahatan seksual -termasuk pedofilia- dilakukan upaya pencegahan. Islam secara tegas melarang adanya hal-hal yang menstimulus hasrat seksual. Aktivitas seksual hanya ada di lingkup privat dan legal yaitu pernikahan. Hukum pernikahan Islam juga secara jelas mengatur hak dan kewajiban suami istri, sehingga kebutuhan seksual akan terpenuhi secara syar'i, sehat dan beradab.

Segala fasilitas yang memicu dorongan seksual tidak boleh ada di tengah masyarakat. Termasuk dalam cakupan ini adalah tempat hiburan malam seperti kafe, bar, pub, spa++, panti pijat, dll. Seluruh warga negara harus menutup aurat, baik laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun non muslim. Termasuk di tempat wisata, tetap harus menutup aurat.

Da'irah Kharijiyah (Departemen Luar Negeri) khilafah Islam akan melakukan screening warga negara asing yang hendak masuk wilayah negeri Islam. Jika seseorang dicurigai sebagai pedofil, akan dicegah untuk masuk negeri Islam. Meski dia mengaku pelancong atau pedagang.

Media juga senantiasa dikontrol, tidak boleh menyiarkan konten pornografi. Jika ada media yang menyiarkan konten porno, ijinnya akan dicabut. Batasan pornografi adalah nampaknya aurat. Bukan sekadar aurat utama. Kata-kata yang menjurus pada seksualitas juga terkategori porno, sehingga tidak boleh ada lagu yang liriknya menjurus kesana. Sebagaimana saat ini marak di media.

Anak-anak sejak dini diajarkan adab, sehingga memiliki rasa malu. Malu ketika melihat aurat, malu ketika nampak auratnya dan juga malu berbuat maksiat. Rasa malu ini adalah wujud ketaqwaan mereka. Di sekolah dan di rumah, anak dididik untuk terbiasa beramal salih. Sehingga perbuatan sia-sia seperti sibuk bermedsos sampai lupa waktu akan dijauhinya.

Hal-hal ini akan menjauhkan anak dari perbuatan zina, karena merupakan maksiat. Sebagaimana firman Allah ta'ala :

"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”(QS al Isra': 32)

Tindakan pemberantasan ditempuh dengan memberi sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan seksual. Mereka adalah orang-orang yang disebut Allah ta'ala dalam firman-Nya :

فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

"Barangsiapa yang mencari yang di balik itu, mereka adalah orang-orang yang melampaui batas. " (QS al Mu'minun : 7)

Termasuk di dalam alat ini adalah LGBT dan semua jenis penyimpangan seksual. Tindakan mereka dipandang sebagai kriminalitas (jarimah), sehingga pelakunya dikenai sanksi tegas sesuai jenis kejahatannya. Pelaku zina ghairu mukhsan dihukum jilid, sedang pezina mukhsan dirajam. Pelaku homoseksual diasingkan, jika sampai melakukan sodomi akan dihukum ta'zir berupa dijatuhkan dari gedung tinggi.

Kombinasi syariat Islam berupa pencegahan dan pemberantasan akan menghentikan kasus pedofilia hingga tuntas. Sehingga anak-anak kita bisa hidup tenang dan bahagia, tanpa ancaman kejahatan seksual. Siap membangun peradaban Islam nan gemilang. InsyaAllah. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version