View Full Version
Kamis, 29 Mar 2018

Mengurai Benang Kusut APBN Negara Neoliberal Dengan Syariah

Oleh: Nauroh Alifah (Pengamat kebijakan publik, Tinggal di Jember)

Kinerja Pemerintah dalam mengatasi kelesuan ekonomi negeri ini terus dipertanyakan publik. Rencana pemerintah menambah hutang baru untuk membayar bunga hutang lalu yang jatuh tempo, rencana menarik zakat profesi dan ketidaksediaan pemerintah untuk melarang miras hanya demi mengejar pemasukan dari cukai Minuman Mengandung Etil alkohol (MMEA) dan etil alkohol, pelitnya pemerintah menaikkan status guru honorer menjadi PNS  adalah beberapa kebijakan terbaru yang sedang disorot publik.

Di Jember sendiri, berbagai kasus carut marut anggaran terus terjadi hingga hari ini. Guru honorer yang menuntut haknya, dipangkasnya jumlah guru ngaji penerima tunjangan, banyaknya jalan yang rusak dan berbagai masalah lain. Tapi disisi lain pemerintah menyediakan dana besar-besaran untuk membangun bandara internasional untuk haji. Semua itu membuat masyarakat bingung dan pesimis terhadap kesejahteraan mereka di masa yang akan datang.

Bagaimana sebenarnya syariah Islam yang diyakini sebagai syariah yang sempurna dan paripurna dalam menjawab segala persoalan, termasuk persoalan anggaran negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka berikut ini adalah prinsip-prinsip pengelolaan APBN Syariah:

Pertama, yang dihitung dahulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Maal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:

(1)   Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat.  Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. .

(2)   Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad.  Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak.

(3)   Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya.  Ini juga bersifat pasti.

(4)   Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh.  Ini juga bersifat pasti.

(5)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur.  Ini juga bersifat pasti.

(6)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.

Kedua, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah.  Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah  Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:

(1)   Bagian Fai dan Kharaj.  Penerimaan ini meliputi:

  1. Ghanimah, mencakup anfal, fa’i dan khumus, yakni pampasan perang.
  2. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad.  Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut.
  3. Sewa tanah-tanah milik negara.
  4. Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada.
  5. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb.
  6. Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang berada.

Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada.  Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan. 

Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa.  Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.  Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak.  Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti

(2)   Bagian Kepemilikan Umum yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum:

  1. Seksi minyak dan gas
  2. Seksi listrik
  3. Seksi pertambangan
  4. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air
  5. Seksi hutan dan padang rumput
  6. Seksi asset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf.

Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor.

(3)   Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu:

  1. Zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak)
  2. Zakat pertanian dan buah-buahan
  3. Zakat ternak

Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik.  pertama karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang; dan kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.

Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Hutan dan laut yang luas dan aneka macam tambang ada di Indonesia yang tentu saja jika dikelola dengan benar akan memberikan penerimaan yang luar biasa besarnya.

 

Ketiga, standar dari Dinar dan Dirham

Sesungguhnya mata uang yang akan mampu menggerakkan roda perekonomian, anti krisis, anti inflasi adalah mata uang emas dan perak. APBN dengan standart emas dan perak ini tak lekang oleh zaman, sementara APBN dalam Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi.

Selain itu, sebenarnya di APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau pengeluaran harus berupa uang.  Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak.  Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian.  Oleh sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan Dinar.

APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan.  Karena itu kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran.  Boleh saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.

Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN negara demokrasi.  Dokumen rinci APBN negara demokrasi hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman dan harus dirumuskan kembali setiap tahunnya. 

Di sisi lain, prinsip Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap anggarannya, akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya.  Tidak dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor external (gangguan alam, masalah sosial, kondisi ekonomi global, kendala aturan yang berlaku, dsb).

Melihat prinsip-prinsip anggaran dalam Islam yang menyejahterakan, maka tentu saja prinsip-prinsip hanya bisa diterapkan oleh negara yang berkomitmen menerapkan syariah secara total dan harus berlepas diri dari arahan asing dan lembaga dunia. Dan negara yang mampu melakukan itu pasti hanyalah negara Khilafah Rosyidah ‘Ala minhajin Nubuwwah. Wallahu a’lam bis shawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version