View Full Version
Rabu, 04 Apr 2018

The World Changing

Oleh : Wita Nurul Aini

(Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat 2014-Universitas Indonesia)

Disadari atau tidak, dunia telah jauh berubah dan berbeda. 15 tahun yang lalu misalnya, waktu itu harga minyak tanah seribu rupiah per liter. Harga cilok 100 perak, es 100 perak, cireng 100 perak dan harga bubur 500 rupiah saja.

Sekarang, BBM naik, harga makanan naik dan otomatis sisanya juga naik. Ini katanya namanya inflasi, walaupun saya kurang paham bagaimana prosesnya. Saat ini kehidupan menjadi rumit, kompetisi menjadi semakin ketat, di sisi lain banyak kemudahan yang bisa kita rasakan.

Infrastruktur sudah berubah, transportasi juga berubah, apalagi dengan perkembangan teknologi banyak hal yang bisa memudahkan kehidupan manusia dalam melakukan aktivitasnya. Namun, kesenjangan semakin tajam.  Ya, the world is change. Hanya dalam beberapa tahun, perubahan itu amat terasa nyata.

Berdasarkan hasil kuliah umum oleh Ibu Masayu, Dosen Pascsarjana UI Kimia Polimer,  beliau menyebutkan bahwa kita berada pada kondisi yang disebut dengan VUCA. VUCA adalah kepanjangan dari volatile, uncertain, complex dan ambigu. Segala aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial dan politik semua terjadi secara acak.

Tidak pernah ada arahan yang jelas dan sangat kompleks (tidak mudah dimengerti dan dijelaskan), ditambah lagi banyak berita hoax yang membuat kebingungan masyarakat Indonesia yang belum semuanya dapat memfilter informasi dengan tepat, sehingga terjadi ambigu mana informasi yang benar dan yang salah.

Siapa yang pernah menduga bahwa Nokia yang eksis di zamannya, kini sudah sulit ditemukan di pasaran, siapa juga yang mengira bahwa beberapa perusahaan taksi sudah gulung tikar dan sisanya terseok-seok untuk bisa bertahan? Kemunculan ojek online bukan tanpa penolakan. Akibat larisnya ojek online beberapa kali terjadi tawuran antara ojek online dengan ojek pangkalan, banyak bisnis yang tidak perlu sewa toko karena bisa jualan di rumah.

Bahkan sekarang tidak perlu khawatir ketinggalan acara televisi favorit karena bisa ditonton ulang kapanpun kita mau dan ada waktu melalui youtube (apapun bentuk acaranya). Kecanggihan teknologi tesebut tidak lantas menjamin kehidupan sosial. Kasus pelecehan seksual meningkat setiap tahunnya entah itu terjadi, bahkan dengan perlakuan-perlakuan di luar nalar kemanusiaan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat kenaikan angka kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2017(nasional.republika.co.id).

Jumlah pelaku bunuh diri juga meningkat karena tidak sanggup lagi menahan beban hidup. Pengeboman di negara-negara Timur Tengah seperti Suriah, Palestina, tak kunjung berhenti. Di negeri sendiri ulama dikriminalisasi, sampai sebuah perusahaan roti sempat turun penjualannya karena isu tak terduga. Hal-hal tersebut, membuktikan bahwa dunia terus berubah dalam ketidakstabilan.

Mahasiswa sebagai manusia yang sedang berada pada tipping point (menentukan ke arah mana untuk menceburkan diri dalam karier masa depan) mau tidak mau harus memiliki bekal yang cukup, agar bisa bersaing di dunia yang berubah sangat cepat.  

Kampus dan berbagai pendidikan tinggi berlomba-lomba mencetak mahasiswa yang berdaya saing. Harus pandai Bahasa Inggris jika tidak ingin tergeser oleh lulusan luar yang mencari peruntungan di Indonesia. Harus banyak skill agar bisa terpakai oleh perusahaan. Sebisa mungkin bisa dan mempunyai personal branding yang baik dan sebagainya.

Kita sibuk membekali diri, untuk bisa bertahan di dunia yang terus mengalami globalisasi. Mahasiswa harus berjibaku, begadang, mencari koneksi dan sebagainya agar bisa menjadi lulusan yang siap bersaing sesuai dengan kebutuhan pasar.

Di sisi lain, mahasiswa juga diatur sedemikian rupa, untuk menghindari aktivitas yang mengarah pada radikalisme. Padahal tidak pernah jelas apa yang dimaksud dengan radikal. Faktanya, radikal bukan mereka yang berpakaian terbuka, bukan juga mereka yang mendukung pernikahan sesama jenis. Mahasiswa yang membicarakan Islam sebagai sebuah sistemlah yang menjadi sasaran pembungkaman. 

Hal ini didukung oleh peraturan yang dikeluarkan oleh Kemenristek Dikti nomor 468/B /SE/2017 bahwa radikalisme merupakan salah satu materi yang harus terdapat dalam proses pengenalan mahasiswa baru. Seakan-akan diberi petunjuk untuk menghindari kelompok-kelompok pengemban dakwah.

Namun, hati kecil saya bertanya, kenapa kita harus sangat berjibaku untuk dapat bertahan dalam ketidakstabilan? Kenapa tidak kita coba gali sumber penyebab dari mana ketidakstabilan itu muncul? Sebenarnya standar siapa yang harus kita gunakan untuk bisa mencapai kata sukses? Jika memiliki dunia dan seisinya adalah definisi dari sukses, maka bersiaplah kita bersaing dengan persaingan yang tidak sehat.

Bersiaplah kita dengan kesenjangan yang makin tajam. Mungkin orang kaya bertambah, fasilitas makin nyaman, tapi bukan tidak mungkin orang yang sangat miskin juga akan bertambah. Mereka yang tereksklusi secara sosial karena tidak memiliki sumber daya untuk bersaing juga akan bertambah jumlahnya.

The world changing  menjadi VUCA setelah Islam tidak lagi diemban oleh individu, masyarakat, dan negara sebagai ideologinya. Semua orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, untuk bertahan hidup mulai dari pemenuhan sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan dan bahkan kesehatan.

Berbeda sekali dengan Islam, di mana aktivitas menuntut ilmu merupakan bagian dari konsekuensi keimanan, sehingga memiliki dan mengamalkannya diyakini akan berbuah pahala dan ridha Allah SWT. Motivasi seseorang untuk menuntut ilmu dan menghasilkan ilmu pengetahuan adalah dalam rangka menjalankan syariat-Nya yaitu hukum-hukum Allah SWT dan berkaitan dengan mengatasi semua permasalahan umat.

Memperkaya diri adalah bonus dan bukan tujuan utama. Kualitas individu yang dihasilkan dari sistem pendidikan Islam adalah pribadi yang berakhlak tidak hanya pribadi yang berilmu. Ilmu yang dimiliki digunakan sebaik-baiknya dalam mengatasi permasalahan umat, bukan malah menambah permasalahan baru.

Semua pemikiran tersebut tidak bisa muncul dari sistem yang tidak mengenal Islam. Sistem yang tidak islami tidak akan menghasilkan ekonomi yang stabil, begitu juga dengan sistem politiknya. Materilah yang mutlak menjadi motivasi penuntut ilmu.

Globalisasi yang kita anggap membuat the world connected, justru membuat kita semakin terbawa dalam hegemoni sistem kapitalisme di mana pemilik modal menjadi penguasa, sehingga peraturan-peraturan diturunkan atas dasar kepentingan sang pemilik modal.

Benarlah bahwa dunia berubah dalam kecarutmarutan dan solusi terbaiknya hanyalah dengan menerapkan Islam sebagai pengatur segala aspek kehidupan. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version