Oleh: Ririn Wijayanti
Indonesia mendadak menjadi puitis. Pasca pembacaan puisi di even Fashion week awal April ini, patut kita merenung bersama, ada apakah dengan budaya? Apakah Islam sangat kontras sehingga seolah-olah budaya Indonesia bertolak belakang dengan Islam?
Dari permasalahan gamis, niqab, kini azan panggilan Allah untuk kaum muslimin dipermasalahkan. Padahal kalau mau dilihat lebih jauh, budaya itu tidak terlepas dari agama atau ideologi yang dianut suku atau bangsa tersebut. Lirik puisi yang kontroversi tersebut sebagaimana berikut ini isinya:
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun Canting
menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini
cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
Menyebut soal kidung, rupanya tak semua orang tahu apa arti dan maknanya hingga dibandingkan dengan alunan azan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kidung berarti nyanyian, lagu (syair yang dinyanyikan), serta puisi.
Sedangkan dilansir dari Wikipedia, kidung merupakan kosakata bahasa Jawa yang termasuk ke dalam klarifikasi kata benda. Kidung versi Wikipedia diartikan sebagai tembang atau sekar (nyanyian) dalam bahasa Jawa baru. Sumber lain menyebut, kidung adalah hasil karya sastra zaman Jawa Pertengahan (Majapahit akhir), menggunakan bahasa Jawa Tengahan, bentuknya tembang, baik nama maupun metrum yang dianut seperti halnya Tembang Macapat. Seiring dengan penyebutan istilah Macapat, ternyata tembang ini pun tidak lepass dari pengaruh dari ajaran Islam.
Tercatat penyebaran Islam paling masif di Nusantara, terutama tanah Jawa dipelopori oleh Wali Songo. Sesepuh Wali Songo, Syekh Maulana Malik Ibrahim, berdasarkan sejarah, tidak lain adalah utusan khalifah. Sebuah kitab bernama Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah yang sekarang disimpan di museum Istana Turki di Istanbul menyebutkan bahwa Walisongo datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam.
Dengan keterangan di dalam kitab tersebut sebenarnya Walisongo adalah para ulama yang sengaja diutus Sultan pada masa kekhalifahan Utsmani. Saat itu terdapat 6 angkatan keberangkatan yang masing-masing terdiri dari sembilan orang. Jadi jumlah sebenarnya bukan sembilan ulama tetapi jauh lebih banyak.
...Sebuah kitab bernama Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah yang sekarang disimpan di museum Istana Turki di Istanbul menyebutkan bahwa Walisongo datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam...
Angkatan satu dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim asal Turki yang berangkat pada tahun 1400an. Beliau adalah ulama yang memiliki keahlian dalam bidang politik dan sistem pengairan. Dengan berbekal keahlian tersebut maka beliau menjadi peletak dasar berdirinya kesultanan di pulau Jawa dan juga berhasil memajukan pertanian di pulau ini.
Dalam mengembangkan budaya Jawa, tercatat Sunan Giri, mengajarkan ke orang dewasa tembang-tembang Jawa yang beliau ciptakan sendiri. Asmarandana dan Pucung, dua tembang dari macapat. Yang pertama berarti api asmara, biasanya untuk mengungkapkan rasa cinta kasih. Tembang ini terdiri dari tujuh baris dan guru lagu (jumlah suku kata) dan guru swara (bunyi akhir bait) sebagai berikut;
8/i (wulu)
8/a(legena)
8/e(taling) atau 8/o(taling tarung)
8/a(legena)
7/a(legena)
8/u(suku)
8/a(legena)
Tembang yang kedua biasanya untuk mengungkapkan humor, atau untuk menyampaikan nasihat dan falsafah hidup. Tembang ini hanya terdiri dari 4 baris dengan guru lagi dan guru suara sebagai berikut:
12/u(suku)
6/a(legena)
8/iwulu
12/a (legena)
Untuk anak-anak, beliau menciptakan beberapa bentuk permainan bersama tanpa alat, seperti, “jentungan” atau permainan bersama disertai lagu dolanan2 seperti, “jamuran””cuble cublek suweng” “jilumper” dan ”gula ganti” serta masih banyak lagi permainan lainnya yang sebenarnya mempunyai makna tersirat, yitu mengajarkan menyembah allah agar selamat dari godaan duniyawiyah.
Alasan Sunan Giri berdakwah dengan membuat dolanan dan tembang adalah karena pada zaman itu, di daerah jawa masih kental denga pengaruh indu budha. Budaya yang terkenal adalah tembang dan wayang, sehingga Sunan Giri memiliki inisiatif mrmbuat tembang macapat yang kanugannya mengajarkan tentang ketauhidan dan nasihat – nasihat agar tidak terlalu cinta terhadap dunia.
Tidak cukup sampai di situ, Sunan Bonang pun membuat salah satu perangkat gamelan yang merupakan perangkat krusial dalam gamelan, Bonang. Pada masa lampau, alat musik mini sering diigunakan untuk gamelan pengiring pertunjukan wayang kulit, juga digunakan oleh aparat desa untuk menyebarkan woro-woro (al amri, muhammad wildan dalam Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam, akses 06/04/2018).
Selain itu, Maulana Malik Ibrahim menciptakan tembang suluk, gundul-gundul pacul, Sunan Drajat (Raden Qosim) dengan tembang pangkur, sunan kalijaga(raden mas syahid); babad alus wonomerto, tembang dandanggula, sunan kudus(jakfar sadiq); tembang maskumambang dan mijil, dan sunan muria; tembang sinom dan kinanti. Wayang kulit dikembangkan sunan kalijaga sebagai pengganti wayang beber, wayang yang pada masa Majapahit terbuat dari kertas yang lebar (portal kisah dunia, akses 06/04/2014).
Dari gambaran singkat di atas, kita bisa membayangkan bahwasanya budaya di tanah Jawa atau pun nusantara tidak terlepas dari pengaruh Islam dan Kekhilafahan Islam Utsmani. Hal ini datang dari spirit kewajiban untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh manusia. Habis Gelap Terbitlah Terang. Akulturasi budaya adalah salah satu upaya untuk menyebarkan Islam pada fase awal. Dakwah Wali Songo belumlah selesai. Kitalah generasi penerus bangsa yang mesti menyelesaikannya. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google