Oleh: Dina Prananingrum, S.T
(Aktivis Muslimah Peduli Keluarga,Perempuan dan Generasi ; Pengasuh Majelis Cinta Dirosah)
Tahun 2018 dan satu tahun kedepan adalah tahun-tahun sibuk bagi partai politik. Setelah Pilkada yang nanti akan diadakan serentak di 171 Daerah di tahun 2018 ini, Pemilu 2019 pun telah siap menunggu giliran. Partai-partai politik tak terkecuali partai Islam mulai bermanuver demi meraih kemenangan dalam pesta demokrasi.
Siti Zuhro, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam diskusi di Masjid Kamal, Depok, Jawa Barat, Sabtu lalu (24/2/2018) mengatakan: "Partai-partai Islam sibuk sendiri, tidak fokus untuk merepresentasikan atau mengakomodasi aspirasi dan kepentingan (umat) Islam. Tak heran, partai-partai tersebut justru lebih sibuk berebut kekuasaan di internal partai tanpa punya kontribusi akan permasalahan bangsa." (kompas.com).
Sebuah pernyataaan yang cukup menohok menjelang pelaksanaan pesta demokrasi kali ini. Benarkah partai Islam tidak bisa mengakomodasi suara umat Islam? Masihkah ia dirindu dan dinanti karena memperjuangkan kepentingan umat Islam? Apakah yang sebenarnya diinginkan umat Islam?
Berdasarkan hasil pertemuan antara partai Islam dengan Ulama beserta tokoh Ormas Islam yang kerap diadakan setiap menjelang Pemilu, aspirasi umat Islam sebenarnya masih sama, yaitu berharap agar partai-partai Islam dapat bersatu (berkoalisi) untuk mengusung calon pemimpin sendiri, agar kekuasaan yang didapat nantinya dijalankan dalam konteks Islam, atau paling tidak untuk kepentingan umat Islam yang kenyataannya meskipun menjadi penduduk mayoritas di negeri ini tapi terpuruk di berbagai bidang. Umat berharap kekuasaan yang nanti diraih partai Islam adalah kekuasaan yang memberikan kebaikan pada Islam dan umatnya.
Tapi, kenyataanya empat partai Islam terbesar yang diwakili PKS, PAN, PPP dan PKB sampai saat ini masing-masing memilih agendanya sendiri untuk meraih kekuasaan ketimbang bersatu demi mewujudkan kepentingan umat.
Seperti saat pemilu 2014 lalu akhirnya partai-partai Islam rela berkoalisi dengan partai nasionalis demi meraih kekuasaan. Bahkan juga tak sedikit sesama internal partai Islam ribut sendiri-sendiri saling memperebutkan kekuasaan. Sama halnya pada Pilkada Jakarta 2017 lalu, meskipun ketika itu aspirasi umat Islam sama, yaitu menolak pemimpin kafir.
Tapi, toh nyatanya partai-partai Islam tidak berani untuk menjalin koalisi sendiri, bersatu mengusung pemimpin muslim. Tampaknya begitupun yang akan terjadi pada Pemilu 2019 nanti, tanda-tanda partai Islam akan berkoalisi dengan partai nasionalis sudah terlihat jelas.
Jati Diri Partai
Partai politik adalah sekelompok orang yang berkumpul berdasarkan kesamaan visi, misi dan untuk tujuan melakukan perjuangan politik. Bila ia adalah partai politik Islam, maka kumpulan orang tersebut seharusnya diarahkan untuk tercapainya visi, misi, dan tujuan politik Islam, yakni menyeru umat kepada Islam dengan penerapan syariah Islam demi terwujud nya kehidupan Islam yang rahmatan lil 'alamin agar kemuliaan Islam dan kaum muslimin turwujud kembali.
Salah satu aktivitasnya adalah mengawasi para penguasa serta menyampaikan nasehat kepadanya. Ini merupakan aktivitas politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama partai politik.
Anggotanya adalah orang-orang yang meyakini kebenaran visi dan misi serta tujuan politik Islam yaitu orang-orang Islam itu sendiri, bukan yang lain. Sehingga bagi partai Islam idealnya tidak ada peluang untuk berkoalisi dengan partai diluar Islam, juga tidak membuka peluang bagi non muslim untuk menjadi anggota bahkan pengurus.
Hal ini merujuk kepada Al Qur'an surat Ali Imran ayat 104, dimana dikatakan di ayat tersebut hendaknya ada dari “minkum”, yakni dari umat Islam, yang tugasnya mendakwahkan al-khair (Islam) serta amar ma'ruf nahi munkar. Sementara makna politik yang sesungguhnya adalah pengaturan kehidupan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum tertentu, yakni hukum syariat Islam.
Orientasi Partai Islam Kini
Bagaimana dengan partai Islam saat ini, mengapa ia dikatakan tidak fokus mewakili aspirasi umat Islam? Tentu hal ini sangat dipengaruhi oleh visi misi partai tersebut dalam berpolitik.
Jika meninjau makna politik yang umumnya difahami dan dipraktekkan saat ini, yakni politik sekedar sebagai seni untuk mendapatkan kekuasaan, dimana kemenangan politik ditandai dengan memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu, akhirnya tak sedikit partai Islam demi mengumpulkan suara terbanyak kemudian bersikap pragmatis.
Berusaha terbuka dan inklusif, membuat jargon-jargon baru untuk menarik semua kalangan, juga berkoalisi dengan partai nasionalis.
Harapan partai Islam agar dapat mendulang suara lebih banyak, yang terjadi suara pendukung lama malah berkurang karena merasa partai sudah tidak lagi memperjuangkan Islam, sementara pendukung yang baru belum tentu didapat karena mereka tidak percaya dengan jargon atau orientasi baru partai.
Alhasil, karena tidak cukup sukses memenangkan suara umat munculah transaksi-transaksi politik, yakni menjual suara umat sebagai penentu arah politik kedepan, yang akhirnya membuat idealisme partai menjadi luntur. Umat secara ikhlas mendukung partai ternyata suara mereka dijual untuk kepentingan segelintir elit politik, lalu mengorbankan kepentingan dan aspirasi umat itu sendiri.
Tak jarang juga partai Islam yang malah menentang atau menghalangi perjuangan sesama umat Islam, yang akhirnya semakin membuat umat Islam kecewa. Seperti beberapa waktu lalu ditemukan partai Islam yang mendukung pengesahan Undang-Undang Ormas, dimana Undang-Undang ini menjadi alat gebuk bagi penguasa terhadap Ormas Islam yang dianggap bertentangan dengan kepentingan penguasa.
Alhasil, selama partai-partai Islam masih mengedepankan politik pragmatis dan transaksional atas nama demokrasi, maka selamanya mereka tidak akan bisa mengakomodasi aspirasi dan kepentingan umat Islam. Selama itu pula idealisme partai Islam tidak akan pernah terwujud.
Sebaliknya, pragmatisme menguat yang pasti akan menyengsarakan umat. Karenanya, politik ala demokrasi ini tidak layak menjadi harapan bagi partai ataupun umat Islam. Sudah saatnya kita sadar dan bangkit untuk mengembalikan politik yang memberikan rahmat bagi seluruh alam, yakni politik yang berasaskan Islam. [syahid/voa-islam.com]