Oleh: Najmah Millah, STP
(Pemerhati Politik & Pengasuh MT Asmaul Husna, Malang)
Kota Malang genap berusia 104 tahun tanggal 1 April 2018 kemarin. Sebagaimana dirilis salah satu sumber berita online, banyak harapan masyarakat diantaranya menginginkan pemerintahan lebih baik, pelayanan kepada masyarakat lebih baik, pemerintahannya tidak korupsi dan tidak ngambil duit rakyat.
Bahkan salah satu warga yang diwawancaraimempertanyakan mau dibawa kemana kota Malang ini? “Kalau tidak diketahui arahnya mau kemana ? Bisa malang beneran “ ungkap beliau.(Suryamalang.com, 31 Maret 2018)
Harapan dan pertanyaan ini tentu menjadi hal yang lazim di saat momen masyarakat dihadapkan pada pagelaran 5 tahunan “pilkada” dan fakta menunjukkan bahwa 2 calon kepala daerah tersangkut kasus korupsi dan wakil rakyatnya terlibat pula. Sementara usia kota Malang terbilang seabad lebih. Ada kegalauan untuk menentukan pilihan. Memilih calon yang menjadi tersangka bukan hal yang mudah. Apanya yang salah, sosoknya ataukah demokrasinya?
Ada ironi memang dalam praktek demokrasi di tanah air saat ini. Pesta demokrasi melalui pemilihan umum (pemilu) tidak bisa menjaring calon yang benar-benar bersih dan kompeten. Padahal perang melawan korupsi terus-menerus digalakkan, dan gayung bersambut dengan harapan publik yang menginginkan birokrasi yang bersih.
Nyatanya tersangka masih bisa menjadi calon bahkan mungkin dilantik jika terpilih. Atau ada juga yang menyatakan jika menang yang akan maju menjadi kepala daerah adalah wakilnya. Tentu menjadi cacat politik dimana masyarakat harus memilih calon yang sudah tidak layak lagi untuk dipilih. Dipimpin oleh calon-calon dari partai yang tak lagi bersih. Mirisnya lagi hampir semua partai besar tersandung kasus korupsi dari uang “recehan” tersebut.
Dalam politik demokratis, akhirnya pemilihan umum jadi mekanisme untuk memperbaharui komponen dan performa mesin politik. Itulah sebabnya, setiap perhelatan pemilu selalu memunculkan harapan baru melalui promosi orang-orang baru yang menyokong kebaruan kinerja sistem politik.
Sayangnya, harapan menjadi hampa karena rangkaian pemilu di tanah air kerap memunculkan masalah yang berulang. Banyak pejabat tersandung perkara pidana hanya beberapa bulan setelah yang bersangkutan dilantik, bahkan di kota Malang ini baru mau dipilih kembali sudah tersandung korupsi.
Demokrasi dan Harapan Semu
Melambungnya biaya demokrasi yang berbanding terbalik dengan menurunnya tingkat kesejahteraan umum , membuat banyak orang mulai meragukan kemaslahatan demokrasi bagi kehidupan bangsa. Ongkos kekuasaan yang mahal memicu merebaknya korupsi politik.
Dalam perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), biaya pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) 2010-2014 mencapai Rp 15 triliun (Kompas, 24/07/2010). Jumlah itu akan semakin mengerikan jika ditambah pengeluaran masing-masing kandidat untuk memperoleh “tiket” pencalonan dari partai politik, menyewa konsultan politik, belanja iklan politik, kampanye lapangan, bahkan mungkin money politics.
Ada paradoks antara tuntutan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dan biaya pemilukada yang mahal. Dicontohkan, untuk pencalonan gubernur diperlukan dana sekitar Rp 100 miliar, padahal gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta per bulan.
Jargon demokrasi yang semestinya berkhidmat pada penguatan daulat rakyat dan maslahat umum, justru tersesat dalam permainan prosedural yang menyelewengkan arah demokrasi menjadi tawanan kepentingan sempit elite politik.
Sungguh ironis, anggota parlemen yang menjadi pengawal demokrasi dan dimungkinkan naik oleh demokrasi, justru berjamaah membunuh demokrasi dengan membiarkan praktik politik yang mahal modal. Dan beginilah sifat asli demokrasi. Sistem yang dibuat oleh manusia dengan embel-embel “ dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” ini sejatinya hanya slogan pembodohan masyarakat.
Manusia dibiarkan membuat hukum maka yang terjadi adalah tawar menawar kepentingan. Tidak ada lagi kepentingan rakyat. Yang ada adalah kepentingan sesaat. Maka sebaik apapun calon yang maju ketika sudah masuk ke dalam jebakan demokrasi akan terbawa dalam jeratan korupsi berjamaah. Barangkali saat ini yang kita saksikan adalah gambaran dari praktik demokrasi. Di mana banyak kepala daerah terjerat kasus serupa.
Kalaulah belum terciduk karena memang belum ada bukti saja. Tapi sejatinya tinggal tunggu waktunya. Jika demikian kenapa kita masih percaya dan berharap kepada demokrasi?
Harapan baru pada Islam
Disaat demokrasi tidak lagi memenuhi janjinya, muncul aspirasi dari sebagian masyarakat. Bagaimana kalau sekiranya Syariat Ilahi menjadi solusi bagi berbagai problematika negeri. Tentunya kita sebagai seorang mukmin jangan dulu apriori sementara kajian historis nyata terbukti bahwasanya syariat Islam pernah nyata diterapkan hampir 1300 tahun lamanya dan nampak sebuah pemerintahan yang bersih dan bagus diakui oleh masyarakat kala itu.
Fakta demokrasi tidak bisa diharapkan lagi menjadi pemantik semakin santernya seruan kembali kepada syariat Islam. Adanya keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paripurna dimana tak satupun perkara kehidupan manusia kecuali ada aturan hukum dan penyelesaiannya. (Lihat: QS an-Nahl [16]: 89).
Rasul saw. pun telah menjelaskan tuntunan, hukum dan solusi Islam atas berbagai perkara. Tentu semua itu bersumber dari wahyu-Nya. Karena itu Allah SWT memerintahkan kita untuk meneladani beliau:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat serta banyak mengingat Allah (TQS al-Ahzab [33]: 21).
Menurut Imam Syaukani dalam Fathu al-Qadîr, ayat ini bersifat umum/mencakup semua perkara. Karena itu setiap Mukmin heendaknya meneladani Rasul saw. itu dalam semua perkara baik terkait akidah, ibadah, akhlak, maupun politik, termasuk dalam hal kepemimpinan daerah.
Rasul saw. adalah kepala Negara Islam di Madinah. Beliau banyak memilih dan mengangkat pemimpin atau kepala daerah. Beliau pun menjelaskan kriteria pemimpin/pejabat, termasuk tentu kepala daerah. Salah satunya, pemimpin dan pejabat harus dipilih berdasarkan kelayakan, kapasitas dan keamanahannya. Sabda beliau:
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Seorang Arab baduwi berkata, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah saat-saat kehancuran.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Jabatan hendaknya tidak diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi apalagi terobsesi dengan jabatan itu. Abu Musa al-Asy’ari menuturkan, ketika ada orang meminta jabatan kepada Rasul saw., beliau menolaknya dan beliau menunjuk orang lain. Beliau bersabda ketika itu:
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Demi Allah, kami tidak mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan tidak pula seorang pun yang berambisi terhadapnya (HR Muslim dan Ibnu Hibban).
Jauh sekali apabila dibandingkan dengan demokrasi. Calon kepala daerah meminta jabatan dengan kompensasi nilai materi tertentu untuk mendukungnya. Belum lagi kalau ditilik dari sisi amanah, kelayakan, ataupun kecakapan.
Perlu diingat, hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukan apakah pemimpin daerah itu dipilih rakyat atau tidak. Yang mendasar adalah pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan, kepentingan dan kemaslahatan rakyat benar-benar terwujud. Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah (hlm. 3) menyatakan,
“Sungguh Allah Yang Mahatinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mendelegasikan kepada dirinya as-siyâsah (pemeliharaan urusan umat) agar pengaturan itu bersumber dari agama yang masyru’, dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah ( Sistem Islam) adalah pokok yang menjadi fondasi
Jabatan kepala daerah dalam Islam adalah jabatan biasa , yang tidak perlu diperebutkan. Karena siapapun yang layak dan cakap bisa diangkat .Jika tak lagi layak bisa diberhentikan kapanpun juga . Hal ini semata-mata bukan karena uang. Karena hukum yang diterapkan juga jelas (Islam),. Sehingga tidak ada tawar menawar kepentingan di dalamnya dan tidak perlu berbagai kompromi yang berujung pada korupsi. Masyarakat pun tidak lagi bingung dengan visi dan misi pemimpinnya, karena visinya adalah menyelenggarakan hukum Islam demi kemaslahatan umat semata.
Begitulah kiranya harapan baru yang saat ini digantungkan pada Islam. Harapan bahwa kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan terpelihara, cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran akan bisa terwujud. Serta keberkahan akan digelontorkan oleh Allah SWT dari langit dan bumi kepada penduduk negeri, selama mereka kembali kepada syariah dan menerapkan aturan-Nya secara kâffah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [syahid/voa-islam.com]