View Full Version
Senin, 28 May 2018

Indonesia Mabuk Utang, Revolusi Politik Dibutuhkan

          Oleh: Rismayanti Nurjannah                                

 

"Mabuk Utang. Dua setengah tahun usia pemerintahan Jokowi, utang pemerintah bertambah Rp1.062 triliun. Seberapa bahaya bagi perekonomian kita?" Rilis cover story pada salah satu media nasional. Lengkap dengan karikatur Sang Presiden yang tengah mabuk dalam gelimangan rupiah.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen (YoY) menjadi 357,5 miliar dollar AS atau setara sekitar Rp4.915 T (kurs Rp13.750 per dollar AS). Adapun rinciannya adalah 183,4 miliar dollar AS atau setara Rp2.521 T utang pemerintah dan 174,2 miliar dollar AS atau setara Rp2.394 T utang swasta. (kompas.com, 21/3/18)

Nominal yang fantastis. Wajar jika akhirnya muncul predikat “raja utang” bagi pemerintahan Jokowi. Bahkan, jadi buah bibir para pemerhati ekonomi-politik. Pasalnya utang yang kian menumpuk akan jadi bom waktu yang akhirnya menghancurkan negara. Apalagi dengan skema utang berbunga yang terus naik setiap tahunnya. Kementerian Keuangan mencatat pembayaran bunga utang sepanjang Januari-Maret 2018 naik 5,1% dibangdingkan periode tahun lalu.

Sulit rasanya membayangkan bagaimana pemerintah bisa membayar utang. Apalagi jika pertumbuhan utang terus menerus berada diatas pertumbuhan negara yang cenderung stagnan. Bukan tidak mungkin, krisis ekonomi akan kembali berulang. Klaim rasio utang aman standard pemerintah pun tidak dapat dijadikan jaminan bahwa negeri ini tidak akan tergadai. Portugal misalnya, sebelum dinyatakan bangkrut, rasio utangnya juga dikatakan aman-aman saja.

Tidak dapat dipungkiri, tingginya ULN pemerintah bisa menurunkan pengaruh politis negara dalam percaturan global. Bahkan, tidak menutup kemungkinan berbagai kebijakan strategis negara mudah diintervensi para kapital. Utang pun berubah sebagai alat penjajahan. Hakikatnya utang tidak menghasilkan apa-apa, selain bertambahnya beban negara dengan jeratan ribawinya (red: bunga).

Di sisi lain, utang yang katanya digunakan untuk menyejahterakan rakyat, nyatanya malah membuat rakyat makin terjepit. Bagaimana tidak, pengembalian pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya dikembalikan ke rakyat untuk kesejahteraan rakyat. Karena pendapatan tersebut berasal dari kekayaan negara hasil bumi dan pajak yang senantiasa ditanggung warga negara.

...Dalam ekonomi Kapitalis, utang menempati posisi yang cukup strategis. Bahkan, jadi alat untuk membangun negara dan  mengatur roda perekonomian. Hal ini berbeda secara diametral dengan Islam....

Tidak hanya pendapatan negara yang jadi sasaran, pajak pun jadi sorotan. Pajak akan senantiasa mengalami lonjakan guna menggenjot roda perekonomian negara. Bahkan dalam jangka waktu yang lama, ULN bisa menyebabkan inflasi yang berakibat terhadap tak terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat.

Dalam ekonomi Kapitalis, utang menempati posisi yang cukup strategis. Bahkan, jadi alat untuk membangun negara dan  mengatur roda perekonomian. Hal ini berbeda secara diametral dengan Islam. Islam menetapkan bahwasanya ULN tidak boleh dijadikan sumber pendanaan proyek. Karena akan berbahaya terhadap eksistensi negara.

Islam memiliki skema khusus dalam membangun sistem perekonomiannya. Ada dua jalan yang telah digariskan. Pertama, membuat kebijakan ekonomi di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Di bidang pertanian, negara akan meningkatkan produksi bahan makanan, pakaian (kapas, sutra, dsb.), serta produk pertanian.

Di bidang perdagangan, Islam tidak mengambil pajak. Sehingga tak perlu memberikan perizinan kepada warga negaranya yang hendak melakukan perniagaan. Kecuali dalam dua kondisi: negara mencegah perniagaan dengan negara yang memerangi Islam dan melarang memperjualbelikan komoditas yang membahayakan negara.

Di bidang perindustrian, pemanfaatan sumber daya alam akan terus dieksplorasi guna memenuhi kepentingan dalam negeri. Selain itu, negara juga fokus menciptakan mesin-mesin berat guna menopang perindustrian serta pembangunan infrastruktur.

Kedua, Islam mengharuskan Baitul Mal membiayai pembangunan infrastruktur utama, seperti jalan, gedung sekolah, rumah sakit, dsb., yang jadi kebutuhan primer masyarakat. Bukan tidak mungkin, Indonesia bisa membangun pemerintahannya tanpa harus berutang ke negara luar.

Faktanya, hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid. Di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid pernah mengalami surplus yang jumlahnya sama dengan jumlah total penerimaan APBN Indonesia. Artinya, neraca keuangan tidak pernah defisit. Pembangunan infrastruktur pun dapat dibangun tanpa harus membebani negara. Apalagi meninggalkan “warisan” bagi anak cucu. Sayangnya, semua itu sulit terjadi jika tak ada revolusi politik yang dilakukan negeri ini.

Langkah revolusi politik perlu dilakukan, hingga negara ini bisa berdaulat. Meminjam gagasan Soekarno, kita mampu berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) tanpa disetir negara-negara donor. Apalagi sampai didikte soal kebijakan dalam negeri.

Sebagai seorang muslim yang telah Allah karuniakan keimanan dan nalar yang sehat, tentu kita bisa menimbang bahwasanya Islam mampu memberikan solusi yang solutif atas berbagai problematika negeri ini. Sejarah pun tak menafikkan, bahwasanya negara yang menerapkan syariat Islam secara holistik mampu menjadi negara digdaya nan berdaulat.

Wallahu a’lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Politik, juga aktif di Komunitas Revowriter


latestnews

View Full Version