View Full Version
Senin, 11 Jun 2018

Caleg Koruptor, Bukti Partai Kekurangan Kader?

Oleh:

Attaqi Achmad

Pemerhati kebijakan publik

 

DI INDONESIA, korupsi jelas-jelas menggurita. Meski KPK telah bergerilya, koruptor tak pernah jera. Caturwulan pertama tahun ini saja, sudah sepuluh kepala daerah yang jadi tersangka. 

Koruptor bahkan berani melakukan teror terhadap aparat penyidik. Dari bom molotov hingga air keras, semua pernah terjadi. Mirisnya, tak satu pun pelaku teror yang terungkap ke publik. 

Harus diakui, pemerintahan yang bersih dan akuntabel memang sukar diwujudkan dalam sistem kapitalisme. Ketamakan yang menjadi watak dasar sistem ini mendorong munculnya para koruptor. 

Negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, dengan sistem ekonomi kapitalis-liberal yang dijalankannya, tidak pernah bebas dari korupsi. Apalagi negeri yang kesejahteraannya masih morat-marit, menghambat laju korupsi dipastikan akan sangat sulit. 

Dengan kondisi seperti itu, mengapa ketika KPU melarang koruptor mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif, pemerintah justru ramai-ramai memberikan pembelaan? DPR, Menteri, bahkan Presiden kompak membenarkan caleg koruptor cukup diungkapkan saja kasusnya, tak perlu diboikot.

Siapakah yang menjamin bahwa mantan koruptor tidak kumat lagi penyakitnya? Maling ayam saja setelah lepas dari penjara justru meningkat menjadi maling motor. 

Kebolehan nyaleg bagi koruptor layak menjadi tanda tanya besar. Apakah ini adalah sinyal bahwa partai kekurangan kader-kader berkualitas dan bersih? Ataukah ada hal lain yang membuat mereka mempertahankan mantan koruptor?

Kita perlu memahami bahwa dengan pemilu yang berbiaya tinggi, tentu saja sangat susah memenangkan kompetisi bila hanya mengedepankan kualitas dan kebersihan kader. Kampanye butuh uang, caleg butuh penyuntik modal. 

Untuk mengembalikan modal kampanye, anggota legislatif terpaksa menilep uang rakyat. Mereka juga harus memuluskan undang-undang yang dipesan oleh penyuntik modal sebagai bentuk balas jasa. 

Para koruptor padat modal yang mampu duduk di kursi parlemen juga masih sangat dibutuhkan untuk pilpres-pilpres di masa depan. Seperti yang telah diketahui publik, seseorang tak akan bisa nyapres jika tidak mencapai presidential treshold.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 telah menyatakan bahwa partai politik harus mengantongi 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional (presidential treshold) pada pemilu sebelumnya untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.

Parlemen yang diisi oleh koruptor akan menghasilkan aspirasi palsu. Mereka tak akan menyuarakan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya, justru yang disuarakan adalah kepentingan pemilik modal. 

Jika sudah begitu, maka tak perlu heran tatkala undang-undang yang disahkan badan legislatif ternyata tak berpihak pada rakyat. Tak perlu juga bertanya mengapa kezaliman penguasa tak pernah digugat wakil rakyat. Sebab, memang bukan rakyat yang diwakilinya.[] 

 


latestnews

View Full Version