View Full Version
Senin, 16 Jul 2018

TGB dan Sandera Politik Demokrasi

Oleh: Dini Prananingrum*

Dalam sistem demokrasi, ada sebagian kaum Muslim yang percaya bahwa mereka bisa mengubah kondisi negeri ini dengan cara tambal sulam sistem. Hukum syara’ sepotong dioplos dengan hukum jahiliyah berpotong-potong. Tokoh Islam kharismatik dicari guna menduduki jabatan baik di ranah eksekutif, yudikatif maupun legislatif.

Di tahun politik ini, fenomena munculnya tokoh-tokoh Islam kharismatik, cerdas nan sholih dan hafidzh Quran menjadi magnet dan harapan tersendiri di tengah kondisi negeri yang carut-marut. Tak ayal, bahkan ada yang digadang-gadang mampu mengalahkan calon icumbent pada 2019 nanti. Dialah Zainul Majdi atau terkenal dengan sebutan TGB (Tuan Guru Bajang), orang nomor wahid di NTB alumnus Universitas Al Azhar Mesir. TGB mendapatkan rekomendasi dari Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) untuk maju menantang Jokowi pada laga panas pilpres 2019.  

Sayang, berlaga saja belum sempat, kaum muslim harus menelan pil pahit.  TGB berpindah ke lain hati, ke kubu saingan. TGB mendukung pemerintahan Jokowi dua periode. Politikus Demokrat itu menegaskan dukungannya terhadap Jokowi untuk melanjutkan pemerintahannya hingga dua periode. Ia mengamati, banyak pencapaian dan prestasi yang dilakukan Jokowi selama empat tahun memerintah, sehingga pantas untuk dilanjutkan pada periode selanjutnya. (Viva.co.id/07/07/2018)

Bergesernya Tolok Ukur Menuju Kepentingan

Dalam dunia politik demokrasi, koalisi dan oposisi sudah menjadi hal yang lumrah. Mudah ditemui antara satu partai dan partai yang lain akan saling sandera. Awalnya saling bermusuhan secara politik, tiba-tiba bergandengan tangan mesra dan membangun koalisi erat.

Pada peristiwa TGB yang loncat ke kubu lawan, banyak dugaan karena tersandera kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlepas dari isu tersebut, fakta berpindahnya individu atau golongan tertentu ke kubu lain sudah menjadi hal yang biasa di perpolitikan demokrasi. Kenyataan ini bukanlah peristiwa asing dan aneh. Bagi para politikus, politik adalah strategi untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak diraih. Selama jalan itu bisa mewujudkan tujuan dan kepentingannya, maka jalan itu akan ditempuh, meskipun terkadang melanggar asas atau kebijakan partai. Akibatnya dukung mendukung atau terjang menerjang siapa pun adalah sah, yang penting tujuan politik bisa tercapai.

Tolok ukur untuk menetapkan baik buruknya suatu perbuatan, mulai bergeser ke arah kepentingan dan maslahat, yaitu setampuk kekuasaan. Manuver politik sana-sini pun akan ditemui tanpa memikirkan kemaslahatan dan aspirasi umat. Politikus yang seharusnya bisa memberikan edukasi politik kepada umat, akhirnya malah dicitrakan sebagai individu yang plin-plan, mudah berubah sesuai situasi dan kondisi layaknya bunglon. Umat dibuat bingung melihat sistem perpolitikan di negeri ini. Hari ini TGB menjilat ludahnya sendiri dan melawan kawan seperjuangan. Besok, entah siapa lagi?

Itulah wajah sejati sistem demokrasi yang diagung-agungkan saat ini. Inilah sistem yang banyak dinilai oleh para politikus sebagai sistem yang mengedepankan rasa keadilan. Faktanya, dalam praktek politik demokrasi berbagai kompetisi tak sehat sering muncul untuk melanggengkan kekuasaan. Berbagai sikap pragmatis dan opurtunis akhirnya lahir dalam diri sang politikus. Mereka tidak pernah sungkan mengorbankan idealisme, persaudaraan ataupun kepentingan rakyat. Jika maslahat mengharuskan mereka menukar prinsip hidupnya, itu pun tak masalah. Termasuk mengorbankan keterikatan mereka pada hukum Syara’, menabrak halal-haram yang telah baku dalam Syariat.

Inilah karakter sistem demokrasi yang setiap hari semakin nampak keburukannya. Karena dalam sistem yang dicetuskan oleh John Locke dan Montesquieu ini hanya mendewakan manfaat. Bahkan sistem demokrasi yang bukan warisan Rasulullah SAW ini akan membawa pemujanya pada kehancuran. Hal ini tampak pada seorang figur yang sholih, mukhlis, rajin ibadah harus terjebak dan dikorbankan menjadi pesakitan KPK dalam sistem demokrasi. Sebagaimana seperti yang diungkapkan oleh mantan ketua MK, Prof.Mahfud MD “Malaikat masuk ke sistem Indonesia pun bisa menjadi iblis”. (7/10/2013) 

Bangun Dari Tidur Panjang

Sudah saatnya umat bangun, sadar dan cerdas dalam perjuangan menegakkan Islam. Tak cukup hanya bertumpu pada individu, sementara jalan yang ditempuh melalui sistem rusak demokrasi. Maka yang muncul adalah harapan-harapan palsu dan kekecewaan bertubi-tubi. Jangan lagi mau dibohongi dengan sebuah sistem yang semakin hari makin menunjukkan kebobrokannya. Pemimpin yang baik tidak akan lahir dari rahim yang cacat atau sakit. Karena pemimpin yang baik pasti akan lahir dari rahim yang baik pula.  

Mengganti penguasa dengan figur yang lebih baik, sholih, hafidzh Qur’an dan kharismatik tidaklah cukup untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik dan sejahtera. Sebuah negeri “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur” dan praktek politik yang bersih, bebas kepentingan pragmatis akan terwujud dari rahim Islam. Karena Islam adalah agama sekaligus ideologi yang pernah dipraktekkan selama hampir 14 Abad sejak masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin serta para Khalifah setelahnya. Islam memiliki sistem politik, ekonomi, pendidikan dan segala sistem penunjang lainnya yang shohih dan sempurna untuk dipraktekkan dalam kehidupan bernegara.

Hanya Islam yang memberi harapan nyata, yang membawa kebaikan pada diri umat. Menjalankan sistem politik ala Rasulullah SAW dan menerapkan Islam dalam bernegara adalah sebuah konsekuensi keimanan dan cerminan ketakwaan pada Allah SWT.  Depak demokrasi yang sudah terbukti hanya melahirkan cara berpolitik pragmatis dan opurtunis. Dekap kembali Islam yang terbukti memberikan kemaslahatan dan kebaikan dalam setiap lini kehidupan umat. Wallahua’lam Bishowab. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah pengamat Publik, Pengasuh Kajian Annisa Yogyakarta

Ilustrasi: pepnews


latestnews

View Full Version