Oleh: Dessy Fatmawati
Ketua Yayasan Rumah Peneleh Aji Dedi Mulawarman mengatakan, "Umat Islam (di Indonesia) dari 95 persen menjadi 85 persen, ada anomali di dalam pusat Islam di Nusantara," dalam diskusi 'Refleksi Perjalanan Politik Kaum Muslimin di Indonesia' di Jakarta, Sabtu (9/1/2016).
Meski menurun hingga saat ini Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masih menjadi barometer dalam merumuskan berbagai kebijakan baik skala nasional maupun internasional. Geliat arah sikap kaum muslimin menjadi tumpuan harapan sekaligus menjadi ‘alarm’ bagi masing-masing pihak yang berkepentingan.
Alarm awal telah berbunyi dengan keluarnya rilis NIC. NIC melaporkan sejak tahun 2004 pada tahun 2020 akan hadir institusi the caliphate, sebuah institusi negara Islam (khilafah). Jonathan S. Landay melaporkan pada 13 Januari 2005 mengatakan.
“There is a substantial risk that broad Islamic extremist movements akin to al-Qaida will merge with local separatist movements,” it continued. The spread of radical Islam beyond the Middle East will be made possible by global communications. (The report presented one scenario, dubbed “The New Caliphate,” in which an obscure Islamic cleric emerges to lead a worldwide Islamic movement.)
Barat menanggapi laporan NIC dengan keluarnya dokumen kajian teknis Civil Democratic Islam oleh Rand Corporation. Dalam dokumen ini dijelaskan strategi terbaik untuk menghadapi kaum muslimin adalah dengan ‘politik belah bambu’.
Barat menggolongkan kaum muslimin dalam empat kelompok. Pertama, kelompok fundamentalis. Kelompok Islam yang menginginkan penerapan syariah (pro khilafah), anti dan kritis terhadap nilai-nilai Barat. Alarm Barat bagi kelompok ini adalah berbahaya.
Kedua, kelompok modernis. Kelompok Islam yang anti penerapan syari’ah namun tetap kritis terhadap nilai-nilai Barat manakala kepentingannya terganggu. Alarm Barat bagi kelompok ini adalah aman.
Ketiga, kelompok liberalis. Kelompok Islam yang menerima sepenuh hati nilai-nilai Barat. Alarm Barat bagi kelompok ini adalah sangat aman.
Keempat, kelompok tradisionalis. Kelompok ini memiliki ciri pro penegakan syariah dan khilafah sekaligus masih menerima sebagian nilai-nilai Barat. Alarm Barat bagi kelompok ini adalah waspada sebab selangkah menuju fundamentalis sehingga harus dijauhkan dari kelompok fundamentalis.
Melengkapi kajian teknis Civil Democratic Islam, Rand Corporation memberikan lima rekomendasi ‘tepat’ penanganan kelompok berbahaya dan aman. Pertama, stigmatisasi dan pencitraan. Kedua, pengkerdilan dan pengagungan. Ketiga, pengucilan dan pengaktifan. Keempat, pembusukan dan penyegaran. Kelima, pembunuhan dan perlindungan.
Antara Terorisme dan Islam Moderat
Terorisme adalah kosatakata yang dilekatkan erat pada kaum muslimin. Terlebih bagi kaum muslimin yang menolak nilai-nilai Barat dan menginginkan penerapan hukum Islam dalam bingkai khilafah. Framing media dalam menangkap kejadian teror dan menghubungkannya dengan Islam menyumbang porsi terbesar Islamphobia.
Jajak pendapat oleh The Review of Religion pada 21 Mei 2018, 41% peningkatan Islamophobia berasal dari bias dan kesalahan penggambaran oleh media massa (media bias and misspotrayal).
Hal ini diperkuat oleh pernyataan para intelektual Barat. Profesor Francois Borgia mengatakan bahwa penyebab terorisme dan ekstremisme politik bukanlah faktor agama. Ia menekankan bahwa 90% industri kekerasan di dunia ada peran Barat di belakangnya, terutama melalui diktator dan penguasa di daerah yang didukung oleh Barat (04/07/2018).
Robert Pape dari Universitas Chicago, ahli terorisme terkenal di AS mengatakan, “Hubungan terorisme bunuh diri dan fundamentalis Islam sangat kecil atau dengan agama manapun. Semua serangan teroris bunuh diri adalah bagian dari strategi sekuler untuk mencapai tujuannya.”
Ditengah meluasnya Chicago syndrome, gejala utama self-destructive peradaban Barat, kaum fundamentalis berhasil memikat ummat dengan keunggulan ideologi Islam. Hal ini menjadikan Barat mengerahkan segenap energi untuk melakukan stigmatisasi negatif. Hembusan isu radikalisme dan keterlibatan terhadap aksi terorisme adalah senjata utama Barat untuk menumbuhkan sikap defensive apologetic ummat Islam.
Berharap akan terputus hubungan kelompok fundamentalis dengan ummat dan kelompok Islam yang lain. Sehingga Barat bisa dengan mudah memutilasi kelompok yang pro syariah dan khilafah melalui pengerdilan, pengucilan dan jika dirasa perlu pembunuhan.
Kehausan ummat Islam akibat kosongnya kaum fundamentalis, dijawab Barat dengan menghadirkan kelompok Islam modernis dan liberalis. Meski keduanya tampak berbeda namun penerimaan mereka terhadap nilai-nilai Barat menjadikan keduanya difasilitasi untuk ‘hidup’. Terlebih bagi kaum liberalis, bagi mereka akan selalu ada dukungan Barat.
Baik dukungan materil dan non materil untuk keperluan pencitraan, pengagungan, pengaktifan dan penyegaran dan perlindungan. Ekspose habis-habisan sekecil apapun mereka tidak akan pernah berhenti karena keduanya adalah mitra Barat dalam menjaga hegemoninya.
Kesepakatan bersama dua kelompok yang dibiarkan hidup oleh Barat terwujud dalam konsep ‘Islam Moderat’. Islam moderat adalah kelompok Islam yang mendukung demokrasi, kebebasan beragama, menghormati sumber hukum yang non sekterian dan menentang terorisme (Rand Corporation dalam Building Moderat Muslim Network).
Andrew McCarthy menegaskan bahwa siapapun yang membela syariah tidak dapat dikatakan moderat (National Reviwe Online, 24/9/2010). Di Indonesia, Islam moderat sendiri bertransformasi menjadi banyak istilah antara lain, Islam Liberal, Islam Wasathiyah dan terakhir Islam Nusantara.
Islam berbeda dengan agama-agama lain di dunia. Islam menolak ide pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme / fasluddin anil hayah). Islam bukan sekedar agama ruhiyah yang mengurusi hubungan hamba dengan Tuhannya. Namun Islam juga mencakup pengaturan kehidupan. Islam hadir sebagai ideologi dan mulajah musykilah (solusi permasalahan manusia). Islam memuat aturan kehidupan yang sempurna (nizham) yang bersumber dari aqidah.
Pelaksanaan hukum-hukum Islam yang terterapkan sempurna dalam institusi khilafah untuk mewujudkan rahmatal lil’alamin. Sejarah gemilang penerapan syari’at Islam dalam bingkai khilafah selama dua belas abad menjadi bukti tak terbantahkan di depan peradaban rapuh Barat yang belum genap seratus tahun.
George Sarton seorang intelektual Barat menulis dalam buku “Timur Tengah dan Literatur Amerika”. Ia mengatakan, “Kaum muslimin bisa kembali pada kejayaan masa lalu dan memimpin dunia dalam bidang politik dan keilmuan sebagaimana yang mereka rasakan di masa lalu, apabila mereka kembali kepada pemahaman hakikat kehidupan dalam Islam dan ilmu-ilmu yang dianjurkan Islam untuk dipejari.”
Dalam buku yang Will Durant menulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, ia mengatakan, "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka"
Jadi bagaimana mungkin kesejahteraan dan kemuliaan datang saat aturan Sang Maha Kuasa di kompromikan? [syahid/voa-islam.com]