View Full Version
Ahad, 05 Aug 2018

Pertamina, Haruskah Dijual demi Menutup Kerugian?

Oleh: Mariyah Zawawi

Menteri BUMN, Rini Soemarno menyetujui empat usulan penting Pertamina, termasuk rencana share down aset hulu dan spin off  unit bisnis RU IV Cilacap dan unit bisnis RU V Balikpapan melalui surat bernomor S-427/MBU/06/2018 tertanggal 29 Juni 2018. Hal ini dilakukan untuk menutupi kerugisn Pertamina (tribunnews.com, 21/07/18).

Keluarnya surat ini memunculkan respon yang beragam. FAPB (Federasi Serikat Buruh Pekerja Pertamina) menolak rencana ini. Mereke berpendapat bahwa pelepasan kilang dapat menyebabkan fundamental Pertamina melemah. Para ekonom pun menolaknya. Salah satunya adalah Dradjad H. Wibowo. Ekonom INDEF ini mengatakan bahwa kerugian yang dialami oleh Pertamina adalah akibat buruknya tata kelola APBN oleh pemerintah, khususnya pada pos subsidi energi.

Pertamina, Dulu dan Sekarang

Pertamina didirikan pada tahun 1968. Tugas utama Pertamina adalah mengelola pertambangan minyak dan gas bumi, serta distribusi BBM ke seluruh wilayah Indonesia. Ini ditetapkan dalam UU No. 8 tahun 1971. Dengan begitu, Pertamina memegang monopoli pengelolaan migas di Indonesia.

Namun, sejak dikeluarkannya UU No. 22 tahun 2001, hak istimewa ini tidak ada lagi. Monopoli Pertamina di bisnis minyak dan gas ini telah dicabut. Regulator di hulu dan hilir kemudian diserahkan kembali kepada pemerintah. Sementara itu, Pertamina ditetapkan sebagai BUMN dan hanya menjadi operator yang kedudukannya sama dengan perusahaan minyak lainnya.

Pemerintah saat itu membentuk BP MIGAS (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) sebagai regulator hulu. Saat ini, regulator hulu diserahkan kepada SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) Kementerian ESDM. Sedangkan regulator hilir diserahkan kepada BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi) (www.energi-ku.com/2016/09).

Fakta-Fakta di Balik Kerugian Pertamina

Sebagai BUMN, Pertamina harus mengikutu peraturan terkait BUMN. Dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, pasal 2 dijelaskan (1) maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: (a) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya dan (b) mengejar keuntungan.

Karena itu, Pertaminalah yang bertugas untuk menyediakan pasokan migas bagi rakyat Indonesia. Termasuk menjalankan tugas yang dibebankan oleh pemerintah untuk menyukseskan Program BBM Satu Harga. Program ini bertujuan untuk menciptakan harga bahan bakar yang sama antar-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Seluruh konsekuensi biaya BBM satu harga, mulai dari transportasi hingga margin fee pengeluaran bagi penyalur di lokasi, sepenuhnya ditanggung oleh Pertamina.

Harga yang ditetapkan oleh pemerintah untuk penugasan jenis Premium sebesar Rp 6.450 per liter. Sedangkan harga solar ditetapkan sebesar Rp 5.150 per liter. Sementara, harga dasar Premium adalah Rp 8.600 per liter untuk April-Juni. Selisih dengan harga sekarang Rp 2.150 per liter. Untuk Solar, harga dasarnya adalah Rp 8.350. Subsidi dari pemerintah sebesar Rp 500 per liter. Sehingga, selisih dengan harga sekarang adalah Rp 3.200 per liter.

Selisih harga inilah yang harus ditanggung oleh Pertamina sehingga menyebabkan kerugian sebesar Rp 12,72 trilliun selama semester I-2017. Pada Januari-Februari 2018, kerugian yang dialami oleh Pertamina mencapai Rp 4 trilliun (tribunnews.com, 21/07/18). Yang lebih mengagetkan lagi adalah adanya tunggakan subsidi yang belum dibayarkan oleh pemerintah sejak tahun 2016. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Drajdad H. Wibowo (tribunnews.com, 21/07/18).

Disamping itu, kerugian yang dialami oleh Pertamina juga disebabkan oleh menurunnya produksi di kilang minyak yang dikuasai oleh Pertamina. Saat ini, Pertamina menguasai 6 unit kilang minyak, yaitu Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim. Total produksi minyak dari 6 kilang minyak itu sebesar 900.000 barrel per hari (Bph). Sedangkan konsumsi masyarakat sebesar 1,6 juta Bph. Kekurangan pasokan ini mengharuskan Pertamina untuk mengimpornya. Dan itu sudah dilakukan oleh Pertamina sejak tahun 2004, 3 tahun setelah dicabutnya monopoli Pertamina (detik.com,21/07/18). Padahal, di Indonesia terdapat 225 blok migas. Lantas, siapa pengelola lainnya? Tentu saja perusahaan minyak swasta (www.saripedia.wordpress.com).

Solusi Mengatasi Kerugian Pertamina

Sebenarnya, untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh Pertamina tidak harus dengan menjual aset yang dimilikinya. Sudah saatnya pemerintah memikirkan kesejahteraan rakyatnya dan mengembalikan hak-hak mereka. Rasulullah SAW bersabda, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud)Api, dalam hal ini meliputi energi, termasuk di dalamnya adalah energi migas.

Karena itu, pengelolaan migas seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Pertamina sebagai BUMN. Namun, tentu saja, semua itu dilakuksn untuk menyejahterakan rakyat, bukan semata-mata mengejar keuntungan. Pemerintah harus kembali melakukan perannya sebagai pelayan rakyat. Bukan sekedar sebagai regulator dan fasilitator. Bukan pula penyedia jasa bagi rakyatnya yang dianggap sebagai pengguna jasa yang harus membayar kepadanya. Jika peran pemerintah bisa dikembalikan sebagaimana mestinya, pengelolaan energi migas akan berada di tangan bangsa sendiri. Dan kesejahteraan pun akan dapat dinikmati. Waallaahu alam. (rf/voa-islam.com)

ILustrasi: Google


latestnews

View Full Version