View Full Version
Ahad, 12 Aug 2018

Gempa, Bukti Cinta dan Teguran Allah

Oleh : Dini Prananingrum, ST*

Lombok kembali berduka. Guncangan dahsyat kembali menimpa Pulau Seribu Masjid. Padahal, air mata keluarga korban gempa sebelumnya belum kering di pelupuk mata. Selama rentang waktu sepekan, pulau yang terkenal akan keindahan pantainya ini diguncang Allah hingga meluluhlantakkan puluhan ribu rumah dan bangunan. Gempa pertama (foreshock) terjadi pada 29 Juli 2018 dengan magnitude 6.4 SR, dan masih diikuti berbagai gempa susulan. Hingga menghancurkan rumah-rumah disekitarnya dan merenggut 14 korban jiwa.

Puncaknya pada Ahad 5 Agustus 2018 pukul 18.46, gempa utama (mainshock) berkekuatan 7 SR kembali menggoyang pulau wisata Lombok dan berpotensi terjadinya tsunami. Mengakibatkan ribuan orang mengalami luka-luka dan memaksa 270.168 orang tidur beratapkan langit-beralaskan tikar, serta menelan korban 381 jiwa (detiknews.com/8/8/2018).

Seketika keprihatinan, kesedihan, duka mendalam dan simpati disampaikan dari berbagai elemen massa. Gerak cepat tanggap bencana dilakukan. Penggalangan dana dan bantuan obat-obatan, makanan, pakaian, dan berbagai bantuan lainnya dari banyak komunitas membanjiri. Siap untuk diterjunkan ke lokasi bencana.

Wilayah Tapal Kuda

Melihat gempa dahsyat yang terjadi di Lombok serta gempa dashyat sebelumnya yang pernah menimpa wilayah lain di Indonesia. Seperti di Aceh pada tahun 2004 dengan kekuatan 9,4 SR yang menyebabkan 180 ribu orang meninggal dengan kerugian Rp45 triliun. Atau gempa Jogja pada tahun 2006 berkekuatan 5,9 SR yang mengakibatkan 5700 orang meninggal dan hampir 400.000 rumah roboh. Menurut para ahli geologi, wilayah Indonesia memang sangat berpotensi terjadi gempa bumi karena posisinya yang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik.

Wilayah Indonesia juga sangat kaya dengan sebaran patahan aktif atau sesar aktif. Ada lebih dari 200 patahan yang sudah terpetakan dengan baik dan masih banyak yang belum terpetakan sehingga wajar jika wilayah Indonesia dalam sehari lebih dari 10 gempa yang terjadi.

Sejumlah patahan aktif tersebut adalah patahan besar Sumatra yang membelah Aceh sampai Lampung, sesar aktif di Jawa, Lembang, Jogjakarta, di utara Bali, Lombok, NTB, NTT, Sumbawa, di Sulawesi, Sorong, dan di Kalimantan.

Posisi Indonesia juga dikenal berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yaitu daerah 'tapal kuda' sepanjang 40.000 km yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini.

Mengambil Pelajaran dari Bencana Alam

Terlepas dari wilayah geografis Indonesia yang memang berpotensi akan sering mengalami gempa bumi. Gempa yang terjadi bukanlah sekedar fenomena alam. Namun ada skenario Sang Khaliq Allah SWT dibalik itu semua. Segala bencana alam yang terjadi bertubi-tubi ini semakin menandakan kekuasaan Allah yang begitu besar, yang tak mampu diubah sedikit pun bahkan oleh seorang Nabi.

Manusia tidak bisa memilih kekuatan gempa atau wilayah mana yang akan terkena gempa. Mereka tidak bisa memilih diantara kejadian tersebut, namun mereka diminta untuk menerima keputusan Allah yang ditetapkan atasnya. Mereka juga perlu mengingat bahwa tidak ada kejadian di bumi ini melainkan atas pengetahuan Allah. Sehelai daun yang jatuh ke tanah saja berada dalam genggaman urusan Allah, apalagi bencana alam sedahsyat gempa.

Pun bagi seorang muslim sudah selayaknya mereka merenung, bermuhasabah diri. Adakah bencana datang untuk menjadi peringatan, teguran atau ujian cinta dari Allah SWT? Karena sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kuasaNya. Jika manusia tak lagi mau peduli terhadap ayat-ayat Allah.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (TQS Al A’raf 96-99)

Inilah kala ayat-ayat Allah didustakan, keimanan ditukar dengan segelintir kenikmatan dunia atau ketakwaan tertawan dengan nafsu yang fana. Maka Allah SWT tak segan-segan menurunkan siksaan dan azab yang pedih pada hambaNya.

Sudah selayaknya kaum Muslim bercermin pada masa Rasulullah SAW ketika terjadi gempa bumi di Madinah, beliau berkata pada umatnya, bahwa sesungguhnya Allah sedang menegur mereka, maka beliau meminta umatnya agar membuat Allah ridha. Tak hanya Rasulullah SAW, pada masa Umar bin Khattab ra kala terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia bertanya kepada penduduk Madinah maksiyat apa yang telah mereka lakukan sehingga Allah menurunkan bencana gempa. Bahkan Umar ra mengancam akan meninggalkan umatnya jika gempa terjadi lagi.

Sementara kaum muslim kini, ketika bencana alam bertubi-tubi menghampiri, sudahkah melakukan evaluasi diri? Adakah mereka bersegera taat pada semua syariatNya tanpa memilah-milih dan berdalih? Atau segera meninggalkan semua yang syubhat dan larangan Allah tanpa nanti-nanti?

Sudahkah mereka membuat Allah ridha jika miras, perzinahan dan praktik ribawi masih mewarnai negeri? Sudahkah mereka membuat Allah ridha jika ajaran Islam senantiasa dikriminalisasi dan ulama hanif yang memperjuangkan ajaranNya dipersekusi?

Adakah kaum Muslim yang mendiamkan dan cuek dengan kemaksiyatan tersebut? Atau adakah ini semua karena bentuk teguran Allah di Bumi Seribu Masjid tersebab kemaksiyatan kumulatif pribadi, masyarakat dan sang pemimpin negeri?

Guncangan dahsyat ini tak lain juga sebagai bentuk cinta Allah pada hambaNya, agar segera kembali mendekap erat SyariatNya. Memberi kesempatan kedua kepada mereka untuk segera bertaubat, menjadi hamba-hamba taat.

Tak perlu menunggu bumi luluh-lantah tak bersisa layaknya negeri Sodom dan Pompey. Karena enggan dan bahkan menolak berhukum pada Syariat Allah. Pun tak perlu menunggu Allah mendatangkan gumpalan awan hitam, kilat dan suara menggeleger di atas kepala hingga bumi berguncang hebat dan membunuh semua manusia layaknya kaum Nabi Syuaib yang ingkar pada ajaranNya.

Kemudian mereka ditimpa gempa, maka  jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, yaitu orang-orang yang mendustakan Nabi Syu”aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu, orang-orang yang mendustakan Syu”aib, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (TQS Al A’raaf 91-92)

Maka bagi setiap mukmin yang taat sudah selayaknya mengambil pelajaran terbaik dari setiap bencana yang menimpa negeri. Karena bencana bukan sekedar fenomena alam biasa, namun juga bentuk teguran keras dan cinta Allah pada hamba-hambaNya agar senantiasa berpegang teguh diatas ajaranNya serta bersegera meninggalkan semua maksiyat dan laranganNya, agar selamat dari marabahaya dunia dan akhirat. Wallahua’lam Bishowab. (rf/voa-islam.com)

*Penulis Kelahiran Mataram Lombok Barat dan 17 tahun menetap di Mataram, Sekarang menjadi Pembina Kajian Annisa Yogyakarta.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version