View Full Version
Kamis, 16 Aug 2018

Merdeka 73 Tahun, Indonesia Dapat Apa Kerjasama dengan Amerika?

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Sudah 73 tahun kita merdeka. Sudah hampir 70 tahun Indonesia bekerjasama dengan Amerika Serikat, sejak tahun 1949. Betapa sudah lama kita bersahabat dengan mereka. Di kunjungan Mike Pompeo beberapa hari lalu di Jakarta, seperti yang biasa dilakukan utusan AS yang lain, dia mengontrol dan memastikan seberapa besar komitmen Indonesia  sebagai mitra bagi AS.

Pada kunjungan itu, Menteri luar negeri Indonesia, Retno Marsudi, mengajukan tema "Celebrate our diversity, prosper together as strategic partner" untuk ulangtahun ke 70 kerjasama Indonesia dan AS di tahun 2019. Tema agar Indonesia dijadikan mitra yang setara bagi AS untuk kesejahteraan bersama. 

Keragaman yang ada antara Indonesia dan AS harus dirayakan. Beragam sumber daya alam, sumber daya manusia, juga pengaruhnya di dunia. Untuk SDA dan SDM, Indonesia bisa berbangga. Tapi tidak untuk pengaruh di dunia. Dengan kasat mata bisa kita lihat, siapa mereka, siapa kita. Bagi mereka, menjadi mitra strategis berarti terus mengamankan kepentingan AS, menjaga demokrasi yang diusung AS.

Menjadi mitra, bukan berarti Indonesia selalu dicintai AS. Baru-baru ini Trump telah memasukkan Indonesia ke dalam 128 negara yang dia benci karena menolak kebijakan AS menjadikan Jerusalem sebagai ibukota Israel. Baru-baru ini pula AS memprotes peraturan tentang masuknya barang Impor ke Indonesia. AS menganggap hal itu sebagai penghalang masuknya barang dagangannya ke Indonesia. Ancaman denda 5 triliun dan sanksi dari WTO dialamatkan AS kepada Indonesia. Plus pencabutan generalized system  of preferences 124 produk Indonesia yang diekspor ke AS.

Perhitungan ala pedagang dipakai. Pemerintah takut kehilangan mitra. Berharap kita terus menjalin hubungan agar tetap mendapatkan keuntungan  Apalagi dua tahun ini, neraca perdagangan kita surplus terhadap AS. Tetapi di sisi lain pemerintah lupa. Setiap kerjasama dengan AS, mereka selalu meraup keuntungan lebih dari kita. Kalau tidak mau mengatakan, kita tidak memperoleh apapun. Bahkan kehilangan banyak hal.

Sejarah sudah memperlihatkan kepada kita. Berutang kepada AS untuk pembangunan di orde baru. Seperti yang diungkap oleh Jhon Perkins dalam bukunya, the Economic Hit Man. Indonesia sebagai negara berkembang menerima pinjaman dari AS untuk pembangunan di negaranya. Tetapi uang itu mengalir untuk teknologi dan tenaga ahli yang didatangkan oleh AS. Setelah itu, kita harus tetap membayar utang sekaligus bunganya.

Perusahaan tambang raksasa AS datang ke Indonesia. Mengeksplorasi, mengelola, dan menikmati kekayaan alam Indonesia. Exxon mobile dengan tambang minyak bumi di Natuna. Chevron dengan tambang panas bumi di Gunung Salak Jawa Barat. Dan Freeport dengan tambang emas di Papua. Dengan bagi hasil berapapun yang menjadi pemasukan bagi APBN RI. Atau berapa ribuan tenaga kerja yang diberdayakan di perusahaan tambang itu. Semuanya tetap milik mereka. Bukan milik kita.

Dari kerjasama khususnya utang, pemerintah Indonesia berkonsekuensi meratifikasi banyak Undang-undang. Undang-undang dalam bidang ekonomi, sosial budaya, juga pertahanan dan keamanan negara. Undang-undang yang kebanyakan tidak memihak  rakyat Indonesia. Tetapi memanjakan para pemodal besar.

Sebaliknya, sampai sekarang tidak pernah kita temui kesetaraan Indonesia dengan AS. Indonesia tidak memiliki kesempatan menambang emas, minyak, panas bumi AS. Kita juga tidak pernah bisa mengusulkan apalagi mendiktekan undang-undang yang harus ditegakkan di dalam negeri AS. Tentang kesejahteraan apalagi. Kesejahteraan yang diharapkan menjadi buah dari kerjasama selama ini juga tidak pernah terwujud.

Diantara Indonesia dan AS tidak pernah setara. Tetapi kitalah yang terjajah. Tak berdaulat. Geram saja tidak akan menaikkan posisi tawar kita di hadapan negara adidaya AS. Dunia pun sudah memahami AS sudah di ambang kehancuran. Hanya butuh kemauan untuk menyingkirkannya. AS masih terlihat kuat dengan ideologi sekularnya yang bisa berkompromi dengan ideologi lain, dengan prinsip meraih manfaat materi.

Selain itu AS masih terlihat kuat karena kesetiaan negara-negara pengikutnya yang tetap setia memegang erat demokrasi. Jadi, pilihan ada pada kita: menjadi negara yang berdaulat bahkan menjadi negara adidaya, atau tetap menjadi boneka. Tetap mempertahankan demokrasi atau beralih kepada sistem politik yang shahih, yang lahir dari Akidah Islam. Akidah yang diyakini mayoritas penduduk negeri ini. Sistem politik itu adalah khilafah yang telah terbukti menjadi adidaya 1300 tahun lamanya. Kesetaraan dan kesejahteraan diraih bagi negeri-negeri yang bergabung di dalamnya. Insya Allah. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 

 

 


latestnews

View Full Version