Oleh
Ibnu Syafaat, wartawan dan pemerhati gerakan Islam
KASUS penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok beberapa waktu silam membuka tabir peta perjuangan umat. Pada kasus ini, kita bisa melihat ada kelompok Islam yang berada di garis paling depan dalam membela agama Allah. Tak sedikit kelompok Islam yang mendukung Ahok. Ada pula yang bersikap abu-abu pada kasus Ahok ini.
Salah satu kelompok Islam yang paling depan mengawal kasus Ahok adalah Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Imam Besar FPI, Habib Muhammad Rizieq Syihab selalu memimpin Aksi Bela Islam untuk memenjarakan Ahok.
Tak heran jika FPI berada di garis terdepan dalam mengawal kasus Ahok. Mengingat FPI sejak didirikan garis juangnya adalah membela agama Allah dengan gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Menarik kita simak kehadiran Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) yang juga berada di garis terdepan mengawal kasus Ahok.
Mengapa menarik? Karena selama ini kiprah Parmusi lebih dikenal sebagai gerakan politik. Serta tidak pernah terdengar Parmusi turun aksi ke jalan menyuarakan kebenaran. Masyarakat mengenal Parmusi sebagai bagian dari unsur Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Seperti diketahui, Parmusi adalah cikal bakal pembentukan PPP.
Pada 1973, Parmusi yang saat itu bernama Partai Muslimin Indonesia melebur bersama Nahdlatul Ulama, Partai Serikat Islam Indonesia, dan Perti menjadi PPP. Sejak saat itulah, Parmusi berubah menjadi Persaudaraan Muslimin Indonesia, ormas pendukung PPP.
Namun, sejak Usamah Hisyam terpilih secara aklamsi pada 2015 sebagai Ketua Umum Parmusi, orientasi gerak organisasi alami perubahan. Parmusi didorong fokus pada gerakan dakwah. Dengan tagline Connecting Muslim diharapkan Parmusi dapat merangkul masyarakat dari berbagai latarbelakang pemahaman keislaman.
Kembali ke kasus Ahok. Parmusi all out turun ke jalan hingga proses peradilan Ahok usai. Massa Parmusi yang didominasi dengan warna hijau kerap memenuhi ruas jalan depan PN Jakarta Utara, tempat berlangsungnya sidang Ahok.
Tak hanya itu, Parmusi juga melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Presiden Jokowi. Saat itu Ahok sudah berstatus tersangka, tetapi belum juga dinonaktifkan oleh Jokowi. Padahal jika merujuk dari kasus gubernur-gubernur provinsi lain yang tersandung kasus dan ditetapkan tersangka, maka pemerintah langsung menonaktifkan.
Meski pada akhirnya PTUN menolak gugatan Parmusi, namun langkah ini patut diacungkan jempol. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi pihak lain jika penguasa dapat digugat.
Bingkai Connecting Muslim
Menghilangkan imej Parmusi sebagai gerakan politik di bawah kendali PPP merupakan tugas berat. Imej yang melekat berpuluh-puluh tahun tersebut tak bisa dilunturkan sesaat. Hasrat dan godaan politik akan muncul kapanpun. Bisikan-bisikan kembali menjadi organisasi politik akan terus terdengar kencang. Tinggal bagaimana pembuktian komitmen pengurus Parmusi agar tak keluar dari bingkai Connecting Muslim.
Connecting Muslim berarti merangkul seluruh lapisan umat. Connecting Muslim berarti menyatukan, bukan memecahbelah. Connecting Muslim berarti cair, inklusif, lentur. Connecting Muslim berarti kekuatan.
Ketika Connecting Muslim tak hanya slogan dan betul-betul dijejaki, maka Parmusi akan menjadi organisasi massa Islam besar dan kuat. Keberadaan Parmusi akan diperhitungkan. Seperti halnya Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai organisasi besar, NU diperhitungkan oleh banyak kalangan, termasuk penguasa. Masukan atau saran NU kepada penguasa begitu didengar. Hingga kemudian NU juga berperan menentukan arah perjalanan bangsa. Teranyar suara NU didengar saat penentuan Capres-Cawapres yang bakal bertarung pada Pilpres 2019.
Untuk menuju organisasi yang besar dan kuat, maka perlu penguatan program yang mampu mewujudkan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya organisasi (SDO). Dalam sebuah organisasi, SDM dan SDO merupakan hal penting. Betapa banyak organisasi Islam yang jalan di tempat karena persoalan kaderisasi dan kemandirian ekonomi.
Pengurus Parmusi nampaknya memahami betul pentingnya SDM dan SDO. Untuk kaderisasi, Parmusi mencanangkan program lima dai di setiap kecamatan. Setiap pekan, Parmusi melakukan program pembinaan dai di berbagai penjuru Nusantara. Salah satu program yang menjadi gaung Parmusi adalah rencana Jambore 5000 Dai di Bogor, Jawa Barat, September 2018 mendatang.
Kemudian untuk penguatan kemandirian ekonomi organisasi, Parmusi memiliki program Satu Kader Satu Produk (SKSP). Tak hanya menyayasar bagi kepentingan organisasi, program ini menurut Usamah Hisyam menyayasar pula bagi kepentingan umat Islam secara luas.
“Persoalan hari ini, umat Islam membutuhkan perekonomian yang kuat. Apalagi Parmusi sebagai sebuah organisasi dakwah harus ditopang dengan ekonomi yang baik,” ujar Usamah pada suatu kesempatan.
Penulis pernah mengamati dan ikut serta merasakan denyut pembinaan ruhiyah dan ekonomi masyarakat yang dilakukan Parmusi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di provinsi yang berbatasan dengan negara Timir Leste ini, Parmusi memiliki beberapa desa binaan, yang disebut sebagai Desa Madani.
Desa Madani ini merupakan perpaduan pembinaan masyarakat baik lahir maupun batin. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang beriman dan mandiri secara ekonomi. “Kemiskinan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Parmusi sebagai ormas Islam memiliki konsep untuk membangun bangsa Indonesia agar keluar dari kemiskinan dengan mengembangkan Desa Madani,” kata Usamah Hisyam, Ketua Umum Parmusi di NTT, Februari 2018 silam.
Jika roda organisasi terus berjalan di rel Connecting Muslim dengan program-program yang kuat serta tidak tergiur urusan politik praktis, maka dalam waktu beberapa tahun ke depan Parmusi bisa menjadi organisasi yang diperhitungkan.
Perubahan paradigma dari gerakan politik menuju gerakan dakwah yang baru berjalan tiga tahun pasca Muktamar III di Batam 2015 silam menurut hemat penulis sudah terlihat hasilnya. Meski sejatinya sudah ada sejak puluhan tahun silam, namun Parmusi seperti terlahir kembali.
Bisa dikatakan, Parmusi menjelma menjadi baby force (bayi kuat atau ajaib) dalam gerakan Islam Indonesia masa kini. Sebagai bayi ajaib, Parmusi menjadi perhatian banyak pihak. Bahkan nama-nama beken yang malang melintang di dunia dakwah seperti Ustaz Syuhda Bahri mantan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ustaz Farid Ahmad Okbah, Ustaz Bernard Abdul Jabbar kini bergabung bersama barisan Parmusi.
Namun, yang menjadi PR Parmusi kedepan adalah menentukan ciri khas organisasi. Sebagai organisasi dakwah, Parmusi masih terlihat sewarna dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hidayatullah, atau pun Wahdah Islamiyah. Tak ada yang berbeda dengan program pemberdayaan dai yang dilakukan Parmusi, DDII, Wahdah atau pun Hidayatullah. Masing-masing fokus pada program dai pelosok, pedalaman, perbatasan, serta wilayah terisolir.*