View Full Version
Kamis, 13 Sep 2018

Piring Kotor Para Koruptor, Solusi Cerdas agar Tak Makin Horor

Oleh : Sri Maulia Ningsih, S.Pd*

 

Peneliti forum masyarakat peduli parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyatakan bahwa DPR periode 2019-2024  berpotensi diisi oleh para koruptor. Hal itu menanggapi keputusan Bawaslu yang mengizinkan eks-koruptor sebagai bakal caleg di pileg tahun 2019.

“Keputusan Bawaslu ini harus dianggap tidak ada karena kami tidak ingin masalah-masalah yang melilit DPR saat ini yaitu korupsi itu akan menjadi pemandangan biasa di DPR yang baru,” ujar Lucius dalam diskusi di hotel Jakarta, Minggu, 2 September 2019.

Lucius mengatakan bahwa Bawaslu terkesan tidak peduli dengan kondisi DPR saat ini yang diisi oleh sejumlah anggota terlibat korupsi. Jika eks-koruptor dilanjutkan, ia yakin DPR hasil pileg 2019 akan dihadapkan pada masalah yang sama yakni korupsi. Hal tersebut tentu hanya akan menambah daftar panjang “piring kotor” koruptor. Wadah yang seharusnya jadi sarana penyampai aspirasi rakyat, malah menjadi media penampung orang-orang korup.

Lebih lanjut, berbagai elemen masyarakat mendesak Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu mengoreksi keputusan pengawas pemilu di sejumlah daerah yang mengabulkan gugatan pencalonan mantan narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif. Keputusan tersebut dinilai bisa menurunkan kualitas Pemilu jika tetap dijalankan.

Koalisi masyarakat sipil untuk Pemilu bersih menyerahkan surat terbuka  berisi desakan agar Bawaslu mengoreksi putusan tersebut.  Hal itu sesuai dengan undang-undang yang menyatakan bahwa Bawaslu merupakan penanggung jawab akhir dan pengoreksi struktur daerah. Jika tidak, anggota koalisi masyarakat sipil untuk Pemilu bersih, Hadar Nafis Gumay, khawatir pelaksanaan Pemilu akan tercederai.

Hadar mengatakan peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi Calon Legislatif telah ditetapkan. Artinya, harus dipatuhi dan menjadi pedoman Bawaslu dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Ada 7 pengawas Pemilu daerah yang mengabulkan gugatan pencalonan mantan narapidana korupsi. Angka ini diperkirakan akan bertambah sebab masih ada beberapa gugatan yang belum diumumkan hasilnya. Pengawas pemilu yang merupakan struktur Bawaslu di daerah yang dimaksudkan adalah Aceh Toraja Utara Sulawesi Utara dengan PKPU Nomor 14 dan 20 tahun 2018 tentang pencalonan peserta pemilu.

Demokrasi Suburkan Korupsi

Korupsi merupakan penyakit berat umat yang menyerang negeri ini. Fenomena ini kini tidak lagi menjadi kasuistik atau individual tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan secara kelompok atau mafia yang notabene dilakukan oleh pejabat negara baik dari kalangan birokrat maupun di kalangan wakil rakyat itu sendiri.

Sebagai contoh kasus yang terjadi di kota Malang yang melibatkan banyak anggota parlemen terlibat kasus korupsi. Belum lagi kasus korupsi e-ktp yang melibatkan pimpinan DPR pusat, Setya Novanto, yang berakhir dengan dramatis. Tak terbantahkan bahwa korupsi  dan suap menyuap dalam sektor birokrasi dan peradilan seolah menjadi sesuatu yang tidak aneh lagi di berbagai lini bahkan sudah menjadi budaya.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi faktor korupsi? Banyak pakar sudah melakukan analisis mengenai hal ini. Menurut Eric Abidal, 2003, berdasarkan analisisnya, sebab-sebab terjadinya korupsi diklasifikasi menjadi tiga faktor. Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya warisan pemerintahan kolonial. Ketiga,  sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan yang tak halal, tidak ada kesadaran bernegara, serta tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah (Erika Evida, Korupsi di Indonesia Masalah dan Solusi, USU digital library, 2003, hal. 3).

Namun demikian, analisis faktor penyebab korupsi itu sebenarnya tidak mendalam dan hanya memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau kulitnya saja. Faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal pada ideologi yang ada yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologi inilah beserta beberapa faktor lain yang menjadi penyebab  menyuburnya korupsi saat ini.

Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi panutan dalam masyarakat kini yang berkiblat kepada barat seperti nilai kebebasan dan hedonism. Demokrasi kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berperilaku. Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan korupsi merupakan salah satu akibat paham kebebasan kepemilikan (Abdul Qodim Zallum, Ad Dimuqratiyah Nizham Kufr, 1990.)

Perlu diingat, korupsi bukan saja marak di Indonesia tapi juga terjadi di negeri-negeri yang notabene para pengusung ideologi kapitalisme demokrasi.  Di negeri-negeri barat yang menjadi biang perilaku bobrok ini adalah para penguasa dan pengusaha saling bekerja sama dalam pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk bisnis, sedang penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.

Faktor sistem ini juga dapat dilihat dari diterapkannya sistem demokrasi melalui Pilkada yang nyata-nyata mendorong terjadinya korupsi. Maraknya korupsi kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi saat ini. Korupsi dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik, termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan Pemilukada. Sebab, untuk menjadi penguasa atau kepala daerah apalagi di  pusat capres-cawapres memang membutuhkan dana yang besar.

Islam Memandang Korupsi

Islam memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya dengan cara menegakkan hukum syariat. Islam yang berasal dari pencipta alam semesta dengan menegakkan hukum bagi pelaku korupsi dan pencuri dengan cara memotong tangan bagi pencuri dan ta'zir bagi koruptor. Ta'zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Hakim, baik berupa cambukan maupun berupa hukuman mati.

Secara preventif, paling tidak, ada enam langkah untuk mencegah korupsi menurut syariat Islam. Pertama,  rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas bukan berdasarkan konektivitas atau nepotisme berdasarkan sabda Nabi SAW, "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kerusakannya." ( HR Bukhari).

Kedua,  negara wajib melakukan pembinaan kepada aparat dan pegawainya. Khalifah Umar selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya untuk kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok kalau kamu menundanya pekerjaanmu akan menumpuk.

Ketiga,  negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW "Siapa saja yang bekerja untuk kami tapi tak punya rumah hendaklah ia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah ia menikah. Kalau tak punya pembantu dan kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu dan kendaraan" (HR. Ahmad). Pun, berkata Khalifah Umar, "Cukupilah para pegawainya agar mereka tidak berkhianat."

Keempat,  Islam melarang suap menyuap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta curang."

Kelima,  Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar Bin Khattab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keenam,  pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar Bin Khattab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 Dirham.  pengkritik itu berkata, "Engkau tak berhak menetapkan itu wahai Umar."

Demikianlah Islam memberikan solusi permasalahan korupsi yang menjadi penyakit akut bagi negeri ini. Dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, maka akan mewujudkan pengaturan umat yang adil. Menghancurkan piring-piring kotor para koruptor. Mengapa bisa begitu? Sebab, aturan ini berasal dari Allah SWT. Wallahu a'lam bisshawab. (rf/voa-islam.com)

Penulis adalah anggota Muslimah Media Konawe

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version