Oleh: Rahmawati Ayu K., S.Pd (Pendidik, tinggal di Jember)
Petani dan Hari Tani, ibarat petani dengan cangkulnya yang tak terpisahkan. Bertepatan dengan hari ini, Senin 24 September, merupakan hari spesial yakni Hari Tani Nasional atau National Farmer's Day. Mengutip dari laman Serikat Petani Indonesia, peringatan ini lahir pada tanggal 24 September 1960 lalu yang menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas bangsa.
Namun, perayaan Hari Tani Nasional tahun ini diramaikan dengan beberapa aksi unjuk rasa di beberapa kota di Indonesia. Di Jakarta, massa dari buruh hingga petani berdemonstrasi di dekat Istana Negara. Massa meminta Presiden Jokowi memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil.
"Menurut kami, peran negara dalam menyejahterakan rakyat telah hilang. Padahal negara itu harusnya hadir untuk memberikan kesejahteraan buat rakyatnya, bukan malah sebaliknya," ujar Ketua Kesatuan Perjuangan Rakyat Herman Abdurrohman di Taman Aspirasi, Monas, Jakarta Pusat, Senin (24/9/2018).
Herman menyesalkan pemerintah yang dinilai terus-menerus membuka pintu bagi pemodal asing. Menurutnya, hal itu sama saja mengeruk sumber daya alam Indonesia. "Pemerintah yang selalu membuka selebar-lebarnya bagi pemodal asing, mengizinkan negara asing mengeruk sumber daya alam kita. Tanpa memperdulikan nasib rakyat yang selama ini terjerit," ujarnya. (news.detik.com)
Sementara itu, mahasiswa Fakultas Pertanian dan BEM Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak merayakan Hari Tani Nasional dengan cara menggelar aksi turun ke jalan. Sedikitnya 400 orang menggunakan caping serta membawa traktor dan sayur-sayuran di Digulis Untan, Jalan Ahmad Yani, Pontianak, Sabtu (22/9). Mahasiswa Untan ini menjelaskan, kegiatan mereka memang merupakan agenda tahunan. Tujuannya untuk menggelorakan kepentingan petani yang masih terpuruk. "Mereka itu masih petani primitif yang menanam hanya untuk konsumsi, bukan untuk dijual," tegasnya. Disebutkannya, impor beras Indonesia harus dibatasi.
Hal ini agar ketidakseimbangan harga beras dengan modal yang dikeluarkan petani lokal dapat teratasi. Peserta aksi juga menyayangkan sikap para pejabat yang hanya bisa melakukan proyek pengadaan barang tanpa meningkatkan pendidikan petani. Padahal kebutuhan petani ingin menambah omzet dan hasil taninya dapat dikomersialkan. "Daripada hanya memberikan alat-alat saja, sebaiknya juga disosialisasikan cara bertani yang baik,” tuturnya. (www.jawapos.com)
Di kota penulis sendiri di Jember, Hari Tani Nasional juga diwarnai dengan aksi unjuk rasa. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Badan Eksekutif Mahasiswa Pertanian Indonesia (IBEMPI) Koordinator Wilayah IV Jatim menggelar aksi memperingati Hari Tani Nasional di gedung DPRD Jember, Senin (24/9). Massa mahasiswa menyuarakan isu darurat kedaulatan pangan. Mahasiswa mengkritisi kebijakan pangan Indonesia yang saat ini masuk ke perdagangan bebas pangan dunia. Mereka menyuarakan kebijakan pangan pemerintah, karena Kabupaten Jember merupakan salah satu sentra pangan Indonesia. Untuk itu, mahasiswa menuntut Pemkab Jember lebih memperhatikan pertanian di Jember. Mahasiswa juga menyerukan kepada pemerintah supaya menempatkan pertanian sebagai soko guru perekonomian di Indonesia. (jatim.tribunnews.com)
Petaniku Sayang, Petaniku Malang
“Petani semakin lama semakin menderita, “ Ungkap Andreas Dwi Santosa. Pengamat pertanian tersebut menilai, pada momentum Hari Tani Nasional tahun ini, nasib petani malah semakin menderita. Penilaian tersebut dapat dilihat dari nilai tukar petani (NTP) tahunan. Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani. Menurutnya, NTP 2014 dibanding NTP 2015 dibandingkan 2016 dan terus dibandingkan NTP 2017 terus mengalami penurunan. Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu juga menambahkan, selain nilai tukar petani yang terus menurun, nilai tukar petani tanaman pangan juga terus merosot. Padahal, kesejahteraan petani tanaman pangan dianggap sangat krusial untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Dengan kondisi demikian, Andreas meminta hal tersebut jadi catatan penting bagi pemerintah. Dirinya juga mengingatkan agar program ke depan jangan hanya diarahkan untuk peningkatan produksi semata, melainkan juga untuk mensejahterakan kehidupan petani. “Seharusnya program ke depan jangan diarahkan ke peningkatan produksi, tapi bagaimana memuliakan petani dan meningkatkan kesejahteraan petani. Segala upaya harus diarahkan ke sana, baik upaya fiskal maupun kebijakan lain seperti penganggaran," pungkasnya.
Namun anehnya, Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim kebijakan pembangunan pertanian yang dijalankan sejak 2015 sampai Mei 2018 dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, Ketut Kariyasa, mengungkapkan, klaim itu didasarkan pada beberapa fakta. Pertama, menurunnya secara konsisten jumlah penduduk miskin di perdesaan, baik secara absolut maupun persentase, meski penurunannya tidak sedrastis di wilayah perkotaan. Dari data BPS (Badan Pusat Statistik), pada September 2015, jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 17,89 jiwa atau 14,09%. Lalu pada September 2016 turun menjadi 17,28 juta jiwa atau 13,96%.
Kedua, membaiknya kesejahteraan petani juga dapat dilihat dari berkurangnya ketimpangan pengeluaran (menurunnya Gini Rasio) yang juga mencerminkan semakin meratanya pendapatan petani di pedesaaan. Menurut data BPS, sejak Maret 2015 sampai Maret 2017, Gini Rasio pengeluaran masyarakat di perdesaan terus menurun, dari 0,334 pada 2015 menjadi 0,327 pada 2016 dan menurun lagi menjadi 0,302 pada 2017. Lalu ketiga, Ketut mengatakan, dapat dilihat dengan semakin membaiknya daya beli masyarkat petani di perdesaan. Hal ini terlihat dari indeks Nilai Tukar Petani (NTP) dan indeks Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP). (wartaekonomi.co.id).
Adanya klaim dari Kementan bahwa kesejahteraan petani kian meningkat, tentu menjadi tanda tanya besar. Sebab menurut pengamat pertanian dan realita di lapangan menunjukkan fakta yang sangat berlawanan. Adanya kebijakan pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokkan petani di wilayah yang surplus. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada kepentingan petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga dasar gabah tetap rendah. Begitupula dengan ketergantungan negeri ini terhadap kebutuhan impor yang lainnya. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia selain telah banyak berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal dan tujuan produksi pangan.
Jika ditelusuri dari sejarah perjalanan bangsa ini, nasib petani boleh dikatakan belum pernah sejahtera. Di samping sukarnya mendapatkan pupuk maupun obat pemberantas hama, para petani juga tidak diuntungkan oleh harga dasar gabah yang relatif rendah. Nasib petani seperti itu seolah tidak pernah dipandang serius oleh pemerintah, dan juga seolah tidak ada yang membelanya.
Bertolak dari kondisi yang semakin terpinggirkan itu, maka layak dan sepantasnya apabila pemerintah tetap harus melindungi kepentingan para petani. Walaupun di negeri ini sudah ada petani yang sangat maju, namun tidak ada kaum tani yang tidak terkena dampak industri dan komunikasi modern. Kaum tani tidak selalu dalam situasi bebas untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan tanah pertaniannya. Entah karena peraturan daerah, atau karena pencemaran industri. Penghisapan kaum tengkulak membuat kaum tani tidak menikmati hasil keringatnyasecara wajar.
Sejak digalakkan ekspor nonmigas, perebutan tanah semakin menjadi-jadi, yang tidak jarang disertai teror dan manipulasi sebagaimana yang dikeluhkan para petani kecil. Jadi, bukan hanya hasil keringat yang tidak bisa dinikmati, melainkan modal tanah yang digerogoti.Berhadapan dengan penguasa dan pengusaha, kaum tani kecil tidak dapat polah.
Dalam proses pengambilan keputusan maupun proses produksi dan jual beli dalamkehidupan politis dan ekonomis, kaum tani kecil tidak menjadi subyek melainkan sebagai obyek. Kepentingan mereka kurang atau tidak diperhitungkan. Meskipun para petani selalu mengalami panen, namun tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi petani dan rakyat di pedesaan pada umumnya. Harga gabah yang diterima para petani, walaupun selalu diperbaiki oleh pemerintah, masih selalu rendah dibandingkan dengan harga yang diterima oleh produsen di sektor industri. Rendahnya hargapokok pertanian, khususnya gabah, menyebabkan kesejahteraan petani belum meningkat. Tetapi, tidak berarti petani selalu miskin, hanya memang peningkatan itu relatif kecil bila dibandingindustri.
Perbedaan kesejahteraan antara petani dan para produsen di sektor industri sedemikian besarnya sehingga terjadi ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan sehari-hari bahwa para petani harus selalu hidup dengan pas-pasan, sementara produsen barang industri lebih cenderung hidup serba mewah. Para petani Indonesia berabad-abad lamanya telah mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarga mereka, karena mereka mampu menciptakan teknologi sendiri dan mau bekerja keras. Jika diamati, di semua wilayah memang tidak ada petani Indonesia yang malas, sebab malasakan membawa mati menghadapi segala rintangan alam yang mereka hadapi.
Rendahnya kesejahteraan petani bukan karena sikap mental para petani. Sektor pertanian, khususnya pertanian pangan adalah sektor ekonomi yang diatur pemerintah. Campur tangan pemerintah ini pada hakikatnya merubah petani dari produsen menjadi pekerjadalam proses produksi pangan. Seperti halnya seorang buruh, mereka tidak bebas menentukanapa yang mereka ingin lakukan. Seperti halnya buruh, petani padi pada akhir panen menerima upah berupa harga dasar gabah yang ditentukan oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan petani. Yang menarik di sini adalah bahwa jarang petani mampu menjual padi mereka berdasarkan harga dasar yangditentukan pemerintah.
Bertolak dari posisi petani tersebut, maka pemerintah perlu lebih memperhatikan nasib mereka itu. Dituntut konsistensi pemerintah terhadap kebijakan pembangunan sektor pertanian yang mengarah ke stabilitas ketahanan pangan dengan memperhatikan nasib petani. Ketahanan pangan ini sudah menjadi prioritas kebijakan nasional, namun nasib petani belum mendapat prioritas.
Malangnya nasib petani, tak lepas dari sistem yang diterapkan, yakni kapitalisme. Akibatnya, walau hidup di negara agraris, petani tidak mendapat tempat yang layak. Sebab sistem kapitalisme meniscayakan praktik privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi terhadap produk pertanian dan pangan yang berdampak pada dikuasainya sektor pertanian dan pangan nasional oleh swasta dan asing. Negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan.
Kita telah bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Negara pun dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas dan melakukan liberalisasi terhadap hal yang seharusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Akibatnya, rakyat makin sengsara. Kesejahteraan hanya dinikmati negara maju dan perusahaan raksasa.
Untuk mengatasinya, jelas diperlukan suatu sistem alternatif yang mampu mengatasi kesengsaraan rakyat sebagai akibat dari diterapkannya sistem kapitalis. Sistem alternatif tersebut haruslah mampu mengatasi rusaknya distribusi yang terjadi di sektor pertanian, mulai dari distrbusi sarana produksi pertanian hingga distribusi hasil pertanian. Sistem alternatif itu adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dengan politik pertaniannya akan mampu mencegah terjadinya kesengsaraan petani.
Politik Pertanian Dalam Islam Menyejahterakan Petani
Islam adalah sebuah agama sekaligus pandangan hidup menyeluruh dan sempurna (ideologi), yang diturunkan Allah SWT untuk menyelesaikan segala persoalan manusia. Sebagaimana firman Allah:
“...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku cukupkan nikmatKu kepadamu, dan Aku ridloi Islam sebagai agamamu..” (QS. Al Maidah: 3).
Dalam persoalan pertanian, Islam pun memiliki aturannya. Politik pertanian yang dijalankan negara Islam ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan petani. Kebijakan yang dijalankan dalam bidang pertanian mencakup sektor produksi primer, pengolahan hasil pertanian maupun perdagangan dan jasa pertanian.
Kebijakan di sektor produksi primer ditujukan untuk menjamin ketersediaan pangan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan menggunakan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan serta menyebarluaskan teknik-teknik modern yang lebih efisien di kalangan petani.
Untuk menjamin hal itu, negara harus menyediakan modal secara gratis bagi yang tidak mampu, agar mereka dapat mengolah lahan yang dimilikinya. Dengan cara ini petani-petani yang tidak mampu tidak akan terbebani untuk mengembalikan utang. Maka, produksi pertanian mereka benar-benar dapat digunakan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Adapun ekstensifikasi dilakukan untuk mendukung perluasan lahan pertanian. Negara akan mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati dengan jalan mengolahnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya“. (HR. Bukhari)
Negara juga akan memberikan tanah secara cuma-cuma (iqtha’) kepada orang yang mampu dan mau bertani, namun tidak memiliki lahan pertanian. Hal itu ditunjukkan oleh pemberian tanah oleh Rasulullah SAW kepada Bilal al Muzni. Masih banyak contoh yang lain. Bahkan negara akan memaksa siapa saja yang memiliki lahan untuk mengolahnya. Jika mereka tidak mengolahnya selama lebih dari tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Umar bin Khattab ra. Berkata: “Orang yang memagari tanah tidak berhak setelah membiarkan selama tiga tahun”.
Bahkan seorang pemilik tanah tidak boleh menyewakan lahan pertanian. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Rasulullah Saw melarang penyewaan tanah (lahan)”. (HR. Muslim, An Nasa’i, dan Ahmad)
Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal.
Untuk menjamin ketersediaan pangan, negara menerapkan kebijakan yang tegas untuk mencegah upaya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seperti perumahan dan industri. Adapun lahan yang kurang subur, dapat diperuntukkan untuk lahan perumahan dan industri.
Di sektor industri pertanian, negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor real saja, sedangkan sektor non real diharamkan ada. Kebijakan ini akan tercapai jika negara bersikap adil dengan tidak memberikan hak-hak istimewa dalam bentuk apapun kepada pihak-pihak tertentu, baik hak monopoli atau fasilitas khusus. Negara hanya mengatur jenis komoditi dan sektor industri apa saja yang boleh atau tidak boleh dibuat. Selanjutnya seleksi pasar akan berjalan seiring dengan berjalannya mekanisme pasar. Siapa saja berhak untuk memenangkan persaingan secara wajar dan adil. Tentunya, pelaku ekonomi yang memiliki kualitas dan profesionalitas tinggi yang akan dapat memenangkan persaingan.
Industri pertanian akan tumbuh dengan baik jika sarana dan prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian tersedia secara memadai, seperti tersedianya bahan baku industri, yakni bahan pertanian dengan jaminan harga wajar serta berjalannya mekanisme pasar secara transparan dan tidak ada distorsi akibat kebijakan yang memihak. Selain itu, juga ada prasarana jalan, pasar, dan lembaga-lembaga pendukung lainnya seperti lembaga penyuluhan pertanian dan lembaga keuangan yang memberi modal bagi usaha pertanian. Semua ini diperlukan agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik.
Di sektor perdagangan, negara harus melakukan berbagai kebijakan yang dapat menjamin terciptanya distribusi yang adil melalui mekanisme pasar yang transparan, tidak ada manipulasi, tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi dan penimbunan.
Untuk itu, ada beberapa kebijakan yang harus ditempuh agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik. Pertama: Negara harus menjamin agar mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil pertanian dapat berjalan transparan dan tanpa manipulasi.
Rasulullah Saw bersabda:
“Janganlah kalian menghadang kafilah-kafilah (orang-orang yang berkendaraan) dan janganlah orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang milik orang desa”. (HR. Bukhari Muslim)
Larangan Rasulullah Saw terhadap aktivitas ini dimaksudkan agar harga yang berlaku benar-benar transparan dan tidak memanfaatkan satu pihak, baik penjual maupun pembeli.
Kedua: Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Negara akan mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang didasari rasa keridlaan. Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam. Islam bahkan melarang negara menggunakan otoritasnya untuk menetapkan harga, baik harga maksimum maupun harga dasar.
Anas bertutur: “Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah Saw menyangkut penetapan harga, ‘Wahai Rasulullah, harga-harga naik. Tentukanlah harga untuk kami.’ Rasulullah Saw menjawab: ‘Allahlah Penentu harga, Penahan, Pembentang, dan Pemberi rezeki. Aku berharap agar bertemu dengan Allah dan tidak ada seorangpun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta’ (HR. Ashabus Sunan).”
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan melindungi penjual. Memaksa keduanya adalah suatu kezaliman.
Ketiga: Negara harus mencegah berbagai penipuan yang sering terjadi dalam perdagangan, baik yang dilakukan oleh penjual maupun pembeli. Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak halal seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut”. (HR. Ahmad)
Adapun penipuan yang dilakukan oleh pembeli adalah memanipulasi alat pembayarannya (baik uang maupun barang).
Keempat: Negara harus mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian dan kebutuhan pokok lainnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang mendatangkan barang (akan) diberi rezeki, sebaliknya orang yang menimbun dilaknat”. (HR. Ibnu Majah dan Ad Darimi)
Kelima: Negara harus dapat mencegah perselisihan yang terjadi akibat tindakan spekulasi dalam perdagangan. Banyak sekali jenis-jenis spekulasi yang mengandung kesamaran yang dilarang oleh Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam berbagai hadits. Wallahu a’lam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]