PENANGANAN PASCA BENCANA YANG CARUT MARUT, BUKTI PEMERINTAH GAGAL
Oleh: Purwandari, S.E. (Alumnus Universitas Syahid Jakarta)
Dua pekan setelah gempa dan tsunami melanda Palu, Donggala dan sekitarnya, tentu kita berharap hari ini proses rekonsiliasi/pemulihan sudah berada pada level yang ideal. Namun fakta-fakta yang kita lihat selama dua pekan belakangan ini, justru memperlihatkan sesuatu yang cukup membuat kita miris sekaligus prihatin, ada apa sebenarnya?
Seperti yang kita ketahui bersama pasca gempa dan tsunami, kita sudah dikagetkan oleh berita penjarahan di Palu akibat instruksi blunder menteri dalam negeri, Tjahyo Kumolo, 30 September 2018 lalu.
Dilansir dari berita BBC News (3/10/2018) yang berjudul “Penjarahan pasca gempa dan tsunami, bagaimana penegakkan hukum di Palu?” pemerintah dituding bertanggung jawab karena salah langkah saat membebaskan masyarakat Palu mengambil bahan makanan di toko dan minimarket, sesaat usai gempa dan tsunami, yang memicu penjarahan di beberapa titik di kota itu,
"Pemerintah bertanggung jawab memberi bantuan, bukan mengajak orang mengambil barang orang lain dengan dalih menolong korban," kata pakar kriminologi dari Universitas Indonesia, Purniati, Selasa (02/10). "Kalau sudah terjadi seperti ini siapa yang mau bertanggung jawab? Semua cuci tangan," tuturnya menambahkan.
Namun polisi mengklaim tak membiarkan penjarahan terus terjadi tanpa penegakan hukum. Sebanyak 45 orang telah ditetapkan menjadi tersangka kasus penjarahan di lima tempat berbeda di Palu. Para tersangka, satu di antaranya adalah narapidana yang kabur dari Lapas Palu, diduga mencuri berbagai barang yang tak berkaitan dengan kebutuhan dasar korban bencana.
Adapun, sebagian tersangka lainnya dituduh membobol beberapa mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Ia berkata, pihak bank kini tengah menghitung nominal uang yang dicuri tersebut. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Dedi Prasetyo mengakui, masyarakat sepatutnya tak begitu saja dibebaskan mengambil barang-barang milik orang lain.
Selain penjarahan ada pula fakta lain yang tak kalah miris, yakni korban selamat masih sangat kesulitan mendapatkan bantuan yang didistribusikan pemerintah, baik itu makanan, pakaian dan BBM. Dikutip dari merdeka.com bertajuk “Potret kondisi Palu dimata korban gempa: Sekarang siapa kuat dia menang” (03/10/2018), misalnya untuk mendapatkan BBM saja masyarakat harus menganteri panjang, itupun belum tentu dapat.
Belum lagi pendistribusian yang bermasalah akibat dari warga yang lebih dulu “membegal” bantuan di tengah jalan. Semuanya yang menjadi serba sulit membuat hukum rimba berlaku di lokasi gempa. "Pokoknya sekarang siapa yang kuat. Dia yang menang," ucap salah satu korban, Boike, menggambarkan kondisi Palu saat ini.
Dalam kondisi yang masih belum pasti terkait bencana, pada tanggal 07 Oktober 2018, kita dikejutkan lagi oleh fakta lain seperti dilansir oleh Tribun.com yang bertajuk “Pengungsi yang Mau Minum Dimintai KTP atau KK, Ferdinand Hutahaean: Saya Tak Mengerti Kenapa Begini”. Dari judul beritanya saja kita bisa tau betapa carut marutnya sistem penanganan bencana, sampai mau minum saja harus berKTP. Sungguh malang nasib anak dibawah umur yang belum mendapatkan KTP akibat usia yang belum ganjil 17 tahun. Bisa-bisa dehidrasi karena kehausan.
Rentetan fakta yang mengindikasikan penanganan bencana yang jauh dari kata ideal, patutlah dijadikan perhatian serius oleh pemerintah, apalagi BNPT akan menghapus tanggap darurat terhitung mulai 11 Oktober 2018. Penghapusan status tanggap darurat memang perlu dimaklumi karena sudah sesuai prosedur BNPT. Namun sekali lagi fokus kita adalah bagaimana pemerintah bersama pihak terkait bisa bersinergi, bukan sekedar membantu tapi juga harus memperbaiki kekacauan yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Apalagi jumlah korban yang hilang tertimbun longsor masih berkisar 5.000 orang lagi.
Pemerintah sebagai pemegang regulasi dan otoritas tertinggi di negeri ini, sepatutnya lebih sensitif terhadap permasalahan rakyatnya. Saat lombok belum pulih betul, dollar yang terus meroket, bencana di Palu dan donggala, harusnya sudah cukup untuk memantik respon yang tepat untuk segera menaggulangi. Bukan membelah sebagian fokus untuk memberi karpet merah bagi para kapitalis IMF yang menyelenggarakan acara tahunannya di Bali, yang disebut-sebut memakan dana satu triliun rupiah
Memberi karpet merah kepada kapitalis IMF di saat rakyat lagi susah, adalah bentuk dari kurang sensitifnya pemerintah sekaligus memperlihatkan bahwa keberpihakan kepada rakyat kecil hanyalah retorika semata. Pemerintah lebih memilih tekor kesohor, mentraktir para kapitalis yang sudah kenyang daripada rakyat yang sedang lapar.
Ini akibat dari pemerintahan yang terus menerus menjalankan ide sekuler demokrasi kapitalis, sehingga apapun kebijakannya pasti akan condong pada tuannya yaitu kapitalis itu sendiri. Slogan membela rakyat kecil atau istilah di sini wong cilik, hanyalah pemanis sebuah pencitraan semata. bukti nyata ialah pemerintah seperti susah memprioritaskan anggaran buat bencana, tapi cenderung lancar untuk acara.
Sebenarnya Islam punya solusi lengkap khususnya dalam menangani bencana alam. Bahkan solusi sudah dimulai dari langkah preventif sekalipun. Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa jika riba sudah merebak maka sama dengan mengundang bencana dari Allah yang Mahakuasa. Hal ini sesuai sabdanya:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عذاب الله
“Jika telah nampak zina dan riba di satu negeri, maka sungguh telah penduduk negeri itu menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab Allah Azza wa Jalla.”(HR. Hakim).
Inilah aspek preventif yang selama ini kita pandang sebelah mata, bahwa zina dan riba yang dianggap lumrah saat ini justru mejadi awal petaka. Lalu bagaimana solusi terkait dana jika bencana terlanjur datang? Di dalam syariat Islam sudah diatur bagaimana negara khilafah mendapatkan sumber pemasukan untuk penanganan bencana, yakni:
Demikianlah solusi penanganan bencana menurut syariat Islam. Dalam kapitalisme solusi apapun termasuk dana penanggulangan bencana, pasti mengandalan pembiayaan dari sektor pajak atau hutang luar negeri berbasis riba.
Terkhusus untuk utang luar negeri, inilah yang menjadikan negara kehilangan kepekaannya terhadap rakyat, sehingga negara cenderung tunduk kepada pemberi hutang. Contoh nyata, untuk acara seremonial IMF saja, negara menjadikannya high priority.Solusi ala sekuler kapitalis tadi justru akan mengundang bencana baru.
Bila umat ingin terbebas dari bencana dan perilaku barbar pasca bencana, maka jauhi ide sekuler kapitalis diganti dengan syariat Islam yang lebih paripurna. [syahid/voa-islam.com]