Oleh: Rospala Hanisah Yukti Sari
(Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Matematika UNY)
Indonesia kembali berduka. Belum kering air mata pasca bencana Lombok, Gempa kembali menimpa Saudara/i kita di Palu, Donggala, Sulawesi Tengah.
Gempa yang mengguncang wilayah Palu, Donggala dengan kekuatan 7,7 SR pukul 17.02 WIB pada Tanggal 28 September 2018 dengan pusat gempa 10 km pada 27 km Timur Laut Donggala, Sulawesi Tengah, telah merenggut sekitar 1.944 jiwa (Tribun-Timur, 2018) dan mengubur ribuan rumah dan infrastruktur negara yang telah tertimbun tanah dengan rata-rata nilai kerugian akibat bencana berkisar Rp 22 Triliun per tahunnya.
Dengan banyaknya korban jiwa akibat gempa dan tsunami, seharusnya pemerintah segera melakukan upaya kuratif, yaitu melakukan tindakan cepat terhadap evakuasi korban bencana, baik yang sudah meninggal maupun selamat. Seperti pengadaan jaminan logistik, recovery fisik dan recovery mental kepada para korban.
Namun faktanya, berdasarkan Laporan dari Tribun-Video (2018) bahwa masih banyak jenazah yang tergeletak selama 4 hari di depan UGD Rumah Sakit hingga kondisi jenazah yang membengkak dan membusuk hingga berpotensi menyebarkan bibit penyakit kepada orang lain di sekitar mayat tersebut. Adapun korban selamat, masih banyak yang belum mendapatkan kebutuhan logistik karena belum adanya dana dari pemerintah.
Sementara ini, para korban dapat bertahan hidup dari bantuan yang diberikan oleh masyarakat umum maupun yayasan, sehingga ada beberapa korban yang bahkan hanya makan daun selama 3 hari untuk bertahan hidup. Akibat dari lambannya pemerintah dalam memberikan bantuan, akhirnya banyak korban selamat yang menjarah minimarket karena mereka krisis pangan dan tidak memiliki apa-apa lagi untuk bertahan hidup.
Mereka melakukannya karena bantuan belum banyak datang kepada mereka, sehingga mereka terpaksa menjarah toko-toko yang ada. Jika bantuan dan tindakan dibiarkan lamban dari aparatur negara, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik horizontal yang akan terjadi pasca bencana.
Para korban akan melakukan tindakan yang lebih parah lagi untuk bertahan hidup. Pemimpin yang seharusnya mendidik rakyat agar menjadi pribadi yang terjaga dan ta’at kepada Allah SWT pasca musibah melanda, justru yang terjadi pemimpin malah melegitimasi tindakan culas, amoral dan homo homoni lupus kepada rakyatnya,
Selain itu, tindakan preventif juga minim dilakukan oleh pemerintah. Alat pendeteksi tsunami (buoy) rusak karena tidak dikelola oleh institusi, vandalisme dan hilang dicuri. Dengan demikian, dapat memperlemah mitigasi atau upaya preventif pemeritah dalam mencegah munculnya korban jiwa. Sayangnya, seluruh alat deteksi tsunami tidak lagi berfungsi sejak tahun 2012.
Akibatnya, karena alasan keterbatasan anggaran membeli alat deteksi berteknologi terkini, Indonesia tidak lagi memiliki buoy tsunami dan mengandalkan perangkat lunak berdasarkan pusat kedalaman dan magnitudo gempa yang perhitungannya tak selalu presisi. Sebelumnya, BPPT menyebut gempa dan tsunami yang telah terjadi, menjadi bahan pelajaran dari pemerintah untuk berinvestasi teknologi agar resiko bencana dapat semakin berkurang.
Hal ini karena pemerintah masih berupaya dalam penanganan pasca gempa, namun tindakan preventif masih sangat minim dan bahkan belum menjadi perhatian pemerintah. Seharusnya pemerintah memperhatikan wilayah Indonesia yang terbukti berada di wilayah tiga patahan lempeng bumi yang berarti mitigasi bencana dilakukan semaksimal mungkin.
Paradigma berfikir kapitalis para pemimpin negeri yang hitung-hitungan dan tak ingin rugi, telah terbukti menambah daftar keprihatinan kehidupan umat yang semakin sempit. Pemimpin negeri yang hanya melihat suatu hal dari “kacamata” uang, memunculkan rasa tidak tulus karena hanya berikir untung-rugi ketika mengurus rakyatnya yang sedang terkena musibah. Mental kapitalis telah mematikan nurani mareka dan menafikan keberadaan Allah SWT yang Maha Pemberi Rezeki.
Padahal sesungguhnya, ketika pemimpin tulus dalam melayani rakyatnya yang membutuhkan, insya Allah akan dibukakan pintu rezeki dari seluruh penjuru langit. Namun sayangnya, pola pikir dan pola sikap seperti itu tidak akan muncul dari penguasa yang tidak mau menerapkan hukum-hukum Allah SWT.
Adapun penanggulangan bencana pada masa kejayaan Islam, yaitu tidak hanya berfokus pada penanggulangan secara fisik dan infrastruktur kasar setelah bencana saja. Namun, sebelum terjadi bencana, negara tidak hanya membangun infrastruktur yang kasar seperti jalan tol, jembatan, dll. Namun juga infrastruktur lunak yaitu mencakup pembinaan akidah dan ukhuwah diantara umat.
Pemimpin memiliki tanggung jawab dalam membina akidah umat dengan melakukan edukasi dan pembinaan terhadap umat agar ketika mendapat situasi yang sulit, umat akan kuat terhadap berbagai macam coba’an yang menimpanya dan akan segera berintrospeksi ketika ada musibah yang melanda, karena bisa jadi bencana tersebut adalah salah satu teguran, sehingga ke depannya pemimpin dan umat dapat kembali kepada syariat Allah dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Selain itu, pemimpin juga bertanggung jawab dalam menciptakan ukhuwah di tengah-tengah umat, sehingga ketika musibah melanda, umat yang lain akan segera membantu saudaranya yang terkena musibah dan pemimpin pun akan cepat tanggap dalam penanganan bencana. Dengan demikian, umat insya Allah tidak akan saling menzalimi satu sama lain dan sebaliknya akan membantu saudaranya dengan sekuat tenaga.
Selain penanganan pasca bencana, penguasa Muslim juga membuat pencegahan terjadinya bencana. Penguasa Muslim memanfaatkan para cendekiawan untuk meneliti dan membangun bangunan yang dapat mencegah dari bencana. Al-Farghani membangun alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Penguasa Muslim kurang puas dengan penemuan Al-Farghani dan memutuskan mengadakan sayembara untuk membangun bendungan Sungai Nil untuk menangkal banjir, terusan dan peringatan dini bencana alam.
Adapun pada masa kekeringan, penguasa muslim membuat bunker untuk meletakkan makanan dalam mengantisipasi terjadinya kelaparan. Penguasa muslim juga memperhatikan letak bangunan ketika ingin membangun gedung-gedung. Untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa dengan kontruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang dan menyalurkan beban secara merata.
Penguasa muslim juga memperhatikan bangunan masjid dengan meneliti tanah-tanah yang akan dibangun dan dinyatakan aman terhadap gempa di atas 8 SR. Dengan demikian, gempa tak membuat dampak sedikitpun pada masjid tersebut yang juga bersamaan ternyata banyak gedung modern di Instanbul yang justru roboh.
Bencana yang ada dalam sistem Islam, tidak hanya dilakukan dengan Tawakkal namun juga ikhtiar agar fasilitas umum yang telah dibangun mampu melindungi rakyat dari bencana yang melanda.
Mereka berusaha untuk membayar para peneliti maupun insyinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun tempat penyimpanan logistik hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu antisipasi dengan tanggap darurat dengan mengevakuasi diri secara cepat, dilatih untuk menyiapkan barang-barang yang vital selama proses evakuasi, dilatih untuk mengurus jenazah yang tergeletak dan healing untuk merehabilitasi diri pasca bencana.
Baik penguasa muslim maupun masyarakat, tidak hanya diberikan peringatan dini, namun juga dilatih untuk menghadapi situasi normal maupun genting. [syahid/voa-islam.com]
Daftar Rujukan:
[5] https://www.facebook.com/mediamuslimahideologis/posts/1605453346226752?__tn__=K-R
[6] https://www.facebook.com/mediamuslimahideologis/posts/1607763605995726?__tn__=K-R
[7] https://www.facebook.com/mediamuslimahideologis/posts/1601950153243738?__tn__=K-R
[8] https://www.facebook.com/mediamuslimahideologis/posts/1603092646462822?__tn__=K-R