Oleh: Retnaning Putri S.S.
Empat tahun sudah, Rezim Jokowi-JK menjalankan kekuasaan atas rakyat di negeri ini hingga dibayangi oleh berbagai persoalan yang tak kunjung tuntas.
Klaim Nawa Cita sebagai upaya strategis dalam wujud sembilan agenda prioritas pemerintah selama periode 2015-2019 demi menjadi solusi atas problem mengenai; lunturnya kewibawaan negara, runtuhnya sendi-sendi ekonomidanmaraknya konflik sosial atau intoleransi, justru tidak sama sekali memberikan perubahan menuju keadaan yang lebih baik.
Alih-alih mewujudkan kedaulatan negara, kemandirian ekonomi dan berkepribadian bangsa yang menghilangkan berbagai potensi konflik sosial, negara malah mengobral upaya-upaya pembungkaman suara/aspirasi rakyat dan memprovokasi hadirnya konflik sosial dengan melakukan kriminalisasi terhadap aktivis maupun ulama’, serta merekayasa berbagai bentuk preasure group.
Hal ini dibuktikan dengan upaya Rezim dalam melakukan penggembosan terhadap kehidupan masyarakat dengan membangun propaganda murahan mengenai ilusi “Ancaman Radikalisme” terhadap keutuhan bangsa. Faktanya, konflik-konflik sosial terjadi diakibatkan kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.
Diawal kepemimpinan Jokowi-JK tak hanya sekadar pencitraannya yang sederhana dan juga dekat dengan masyarakat, Jokowi pun dijuluki presiden harapan rakyat karena memang memiliki konsep yang mengesankan,- pro terhadap rakyat. Sebutlah trisaktinya Bung Karno yang sering digadang-gadang oleh Jokowi sebagai konsep yang brilian.
Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang budaya. Konsep ini akan menjadi landasan dalam menjalankan tugas kepresidenannya kedepan. Bagaimana dengan realitas yang terjadi saat ini?
Menyoroti Bidang Politik
Secara politik, Jokowi-JK adalah hasil dari proses demokrasi yang berbiaya tinggi, bahkan banyak kalangan mengatakan pemilu yang dulu digelar memakan dana yang paling brutal. Tentunya pembiayaan politik yang bersumber dari para pemilik modal.
Hal ini adalah salah satu sebab utama lahirnya perilaku politik parpol, politisi dan penguasa yang korup, mengabdi kepada pemilik modal dan menjadikan rakyat sebatas rekan bisnis. Sebut saja pertemuan Jokowi dengan dubes AS Robert O Blake dirumah pengusaha kaya raya Jacob Soetoyo pada 14 April 2014.
Pertemuan ini mengundang tandatanya besar, untuk apa Jokowi bertemu dubes AS di rumah pengusaha kaya raya yang sudah dipastikan mempunyai kepentingan bisnis? Menurut sudut pandang diplomatik, Amin Rais menyebut pertemuan tersebut dgn istilah “Indonesia for sale” (suaraislam.com).
Selain itu, setidaknya telah hadir 17 pemimpin dunia dalam proses pelantikan Jokowi, hal ini membuktikan pemerintahan Jokowi-JK, tidak akan bisa lepas dari kepentingan asing yang memang sudah bercokol lama di negeri ini.
Telah nyata bahwa kepentingan-kepentingan itu selalu menjadi standar dalam ajang meraih kekuasaan. Tak segan politik kotor dimainkan, agar nafsu melanggengkan kekuasaan bisa berjalan dengan aman. Bahkan, ada yang tak jijik ketika sebuah pernyataan telah melukai rakyat, tetapi dikemudian hari menjadi sebuah cara untuk mendapatkan dukungan.
Itulah mengapa, politik dalam ranah demokrasi selalu menjadi ajang ‘balap’ siapa yang lebih besar memberikan manfaat, disitulah peristiwa ‘kepentingan’ terjadi. Tidak heran jika pemegang kekuasaan itu pun harus tunduk kepada para pemilik modal, baik itu partai koalisi maupun kepentingan asing.
Menyoroti Bidang Ekonomi
Ekonomi Indonesia seharusnya bisa mandiri, lepas dari ketergantungan negara lain, dan bebas dari intervensi asing. Bahkan seluruh kekayaan alam bisa dikelola mandiri untuk kemakmuran rakyat, sehingga kebutuhan rakyat akan sandang, pangan, papan termasuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan terpenuhi dengan baik.
Namun, apa yang terjadi di Indonesia hingga hari ini, sudahkah pemerintahan yang dinahkodai Jokowi mampu merealisasikannya? Pasalnya, ekonomi liberal sudah terlanjur dipatenkan di negara ini.
Kekuasaan moneter ada ditangan BI, kekuasaan keuangan di tangan OJK, otoritas jasa sosial ditangan BPJS, otoritas fiskal dalam bentuk pajak ditangan badan penerimaan negara. Itu artinya kebijakan makro ekonomi terkait dengan moneter, sektor finansial dan juga jaminan sosial tidak bisa dikendalikan oleh presiden. Belum lagi sejumlah UU neoliberal yang semuanya itu hanya membatasi dan mengatur presiden.
Di antaranya UU BUMN, UU penanaman modal, UU Migas, UU pendidikan dan masih banyak lagi, UU tersebut lahir dari hasil dikte asing melalui LoI IMF. Karena pembuatan UU tersebut mahal harganya, penyimpanan dan penyusunanya didanai oleh Bank dunia, ADB, USAID dan lainnya. Walhasil, sudah bisa diduga bahwa perumusan UU sarat akan kepentingan penyandang dana.
Pemerintahan baru pun semakin nyata menyatakan menganut sistem neoliberal. Hal itu tampak dari realisasi kebijakan yang telah diluncurkan yaitu, mengurangi subsidi dengan menaikan harga BBM. Kebijakan ini sudah tidak aneh, karena sejalan dengan mandat Washington konsesus, bahwa pemerintahan Indonesia harus memenuhi poin deregulasi, privatisasi dan liberalisasi.
Dari sini bisa dilihat bahwa sistem ekonomi neoliberal terus berlanjut di pemerintahan Jokowi-JK, yang dengan itu, kesengsaraan rakyat semakin bertambah. Maka harapan Indonesia untuk berdikari secara ekonomi pun sangat jauh dari realitas.
Bergantungnya Indonesia terhadap negara asing dalam hal utang tidak bisa dipungkiri lagi. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Riza Annisa Pujarama mengatakan posisi utang pemerintah terus meningkat secara agresif sejak 2015. Utang pemerintah ditujukan untuk membiayai defisit anggaran, sementara utang swasta berasal dari korporasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).
Peningkatan jumlah utang yang sangat masif pada rezim ini menunjukkan semakin tidak kreatifnya pemerintah dalam mencari sumber-sumber penerimaan APBN selain utang. Padahal negara ini amat kaya raya (baik SDM maupun SDA) sehingga sumber pendapatan negara semestinya sangat besar. Sayangnya, kekayaan itu lebih banyak dinikmati swasta terutama asing.
Permasalahan utang belum selesai, masyarakat disuguhkan dengan rupiah yang semakin terpuruk, hingga saat ini menembus angka yang fantastis. Terpuruknya rupiah saat ini sangat mengkhawatirkan. Pasalnya hal ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia yang semakin tidak stabil. Biaya impor semakin mahal, selain itu menyempitnya ruang fiskal yang berdampak negara semakin berat membayar utang luar negeri. Lagi-lagi rakyatlah yang akan menanggung.
Pemerintah akan menekan rakyat dalam sektor pajak untuk menutupi utang luar negeri. Rakyat jelata menjadi korban atas rezim yang karut marut. Sekarang mereka menjerit, karena semua kebutuhan hidup menjadi mahal, ini akibat dari naiknya dolar terhadap rupiah begitu pelan, tapi secara pasti menghancurkan sendi-sendi ekonomi Indonesia.
Menyoroti Bidang Hukum
Sampai saat ini, berita terkait korupsi di kalangan pejabat pemerintahan masih sering menghiasi layar kaca. Seolah tidak ada habisnya, korupsi yang dilakukan oleh pemilik wewenang di kalangan atas masih saja mengalir deras. Masih hangat di telinga, kasus korupsi yang sempat membanjiri layar kaca adalah kasus Setya Novanto, ada beberapa kasus yang sempat menjeratnya.
Peradilan masih tak sanggup mengadilinya apalagi mendakwanya. Meski SetNov sering bolak-balik ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi, seperti korupsi e-KTP, suap Ketua MK Akil Mochtar, hingga kasus PON Riau, namun stempel tersangka yang diberikan KPK di kasus e-KTP dicabut di pra peradilan meja hijau. Kasus SetNov ini bukti kuat bahwa hukum di Indonesia kita tercinta masih tebang pilih.
Hukum kita masih tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Seringkali kita tonton berita soal nenek miskin yang diduga mencuri mencuri pohon yang divonis bulanan bahkan tahunan di penjara. Atau kasus anak yang mencuri sandal jepit di masjid yang dituntut lima tahun penjara beberapa tahun yang lalu.
Kasus-kasus kecil yang menjerat masyarakat seperti ini selalu saja dapat diselesaikan dengan proses hukum yang mudah dan cepat. Berbeda dengan kasus korupsi yang dilakukan pejabat, yang mereka menghabiskan uang dengan nominal besar.
Korupsi telah begitu mengakar kuat, sementara sistem pengendalian masih lemah. Berbagai laporan BPK dari tahun ke tahun membuktikan hal itu. Banyak dari temuan BPK yang terindikasi kasus korupsi atau merugikan Negara tidak ditindak lanjuti oleh penegak hukum. Agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah.
Pun masih teringat dalam benak kejadian 3 Mei 2018, teror bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, yaitu Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Ngagel Madya; Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro; dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno. Isu Terorisme tidak hanya sekali ini terjadi, sebelum kejadian ini sangat banyak kasus terorisme yang menghiasi media.
Dari rentetan peristiwa terorisme yang terjadi ini dapat di tengarahi bahwa penuntasan dan pengesahan Undang-Undang anti terorisme menjadi target utama. Untuk mempercepat pengesahannya diperlukan bukti-bukti yang konkret dilapangan. Perlu kita sadari bersama bahwa tindakan terorisme selama ini senantiasa dikaitkan pada Islam baik berupa simbol, kelompok ataupun ajaran-ajaran yang bersumber darinya. Ini merupakan upaya untuk menggiring opini publik yang seolah islam adalah agama yang perlu dapat pengawasan dari penguasa.
Skenario tindak kriminalitas ini bertujuan untuk membuat kondisi Indonesia tidak kondusif dan para pejabat akan mudah mengintervensi negeri ini melalui Undang-Undang. Dengan begitu UU yang telah disahkan menjadi alat penjajahan yang akan berjalan lancar sarat dengan kepentingan mereka dan akan melindungi gerak masiv mereka untuk menjalankan skenario demi meraih kekuasaan.
Hukum kita masih tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Begitulah ungkapan yang tepat untuk hukum di Indonesia saat ini. Jangankan tentang hukum, pelaksana hukum dan keamanan pun tidak memberikan edukasi yang tepat bagi masyarakat. Hari ini, Polisi bagaikan preman yang seenaknya main cekik dan main pukul. Apa yang kemarin dialami oleh mahasiswa GP Sultra (kamis 18/10/2018 di depan gedung MTQ Kendari, Sultra) bukanlah yang pertama kali terjadi.
Baik dikalangan mahasiswa, begitupun di kalangan masyarakat secara umum, atribut berbau Khilafah bagai setrum yang sering dikriminalisasi. Bahkan para ulama yang mengusung kata Khilafah pun banyak yang dipersekusi, meski hanya satu kata yang muncul dalam ceramahnya atau dalam khutbah Jumat.
Berbagai aksi banyak yang dihentikan paksa hanya karena alasan dimunculkannya ide ini. Mendengar kata khilafah atau simbol Islam membuat sebagai besar masyarakat negeri ini beringas tanpa kendali, hingga kali ini giliran aparat keamanan yang harusnya mengayomi malah mereka terjun untuk memukuli.
Tak Sekadar Evaluasi, Butuh Solusi
Berbagai problem yang terjadi di Indonesia saat ini, dapat disimpulkan bahwa akar masalahnya adalah diterapkannya paham demokrasi yang bersumber dari Ideologi Kapitalis. Demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan.
Dalam demokrasi dikenal slogan, suara rakyat adalah suara Tuhan. Karena itulah, inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Artinya, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Dalam bahasa Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi. Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai ‘pintu masuk’ oleh para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai sumber-sumber kekayaan milik rakyat.
Bukankah mereka semakin leluasa menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat? Meskipun kehadiran pihak asing itu memang telah dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU, yang notebene-nya dibuat dan disahkan oleh Pemerintah serta DPR melalui proses demokrasi.
Sesungguhnya umat saat ini benar-benar memerlukan sebuah perubahan. Namun, bukan sekadar perubahan wajah pemimpin diganti dengan pemimpin yang lain, tanpa menggantikan sistem yang kufur dan juga rusak. Tidak bisa dinamakan perubahan jika sistem hanya diperbarui dari demokrasi lama menuju demokrasi yang baru. Perubahan yang benar adalah perubahan yang sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Perubahan yang benar tersebut mestilah berlandaskan metode yang benar dan tidak ada metode yang benar kecuali yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW selaku suri teladan bagi kita. Justru, perubahan yang wajib dilakukan oleh umat Islam adalah perubahan dari sistem Jahiliyah menuju sistem Islam, yaitu perubahan sistem demokrasi-sekular menuju tegaknya syariat Allah di bawah sistem Khilafah.
Kita pun sudah menyaksikan bahwa harapan umat terhadap penegakan syariah dan Khilafah sudah semakin membesar. Seruan umat yang menginginkan kembalinya Khilafah sudah semakin membahana. Di berbagai negeri Muslim, umat sudah menggaungkan ”al-ummah turid Khilafah Islamiyyah”.
Revolusi Baru, Ganti dengan Sistem Islam
Jika sudah terbukti sistem demokrasi kapitalis tidak mampu menyelesaikan problematika bangsa, mengapa harus tambal sulam memperbaikinya? Demokrasi lahir dari paham sekularisme yang bertentangan dengan Islam.
Sehingga keburukannya merupakan cacat bawaan, tidak bisa diperbaiki, lantas pilihanya hanya mengambil atau mencampakannya. Jika mengambilnya, niscaya problematika menjadi tak terselesaikan, jika mencampakannya, tentunya harus ada yang menggantikannya. Islam adalah sebuah ideologi yang didalamnya terpancar aturan seluruh kehidupan.
Maka dengan keimanan tentunya seorang muslim harus meyakini bahwa islamlah satu-satunya yang layak mengatur kehidupan kita. sesuai dengan firman Allah SWT,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al- A’raf: 96)
Sudah jelas dari firman Allah diatas, jika ingin mendapatkan kehidupan yang baik, dipenuhi ketenangan, kemakmuran, kebahagiaan dan keberkahan, berjuanglah menerapkan syariat Allah. Tentunya syariat Islam hanya bisa diterapkan secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bi ash-shwab. [syahid/voa-islam.com]