Oleh: Harits Abu Ulya (Pengamat Terorisme & Intelijen-CIIA)
Dalam perspektif politik keamanan; wajar saja pihak yang berwenang mengeluarkan early warning [peringatan dini] ke publik tentang potensi munculnya gangguan atau ancaman keamanan, baik itu datangnya dari aksi terorisme, perampokan atau bentuk kriminal lainnya. Dengan begitu bisa diharapkan masyarakat waspada dan berhati-hati.
Namun dalam konteks isu terorisme secara spesifik, saya melihat pernyataan dari pihak Polri adalah sebagai bentuk kekawatiran tentang kemungkinan adanya serangan teror. Dan kekawatiran tersebut bersandar pada hipotesa atau ancaman bersifat asumtif.
Menurut saya; jika pernyataan Polri itu adalah produk intelijen dengan kwalifikasi A1 tentu langkah preventif menjadi prioritas dilakukan untuk meminimalisir potensi ancaman tersebut dan bukan penindakan setelah terjadinya peristiwa. Dan langkah preventif tersebut tetap harus mengacu kepada perundang-undangan yang berlaku.
Dan jika produk intelijen tersebut tidak kwalifikasi A1 maka menjadi tidak relefan disampaikan ke publik. Karena potensi ancaman tersebut sifatnya dugaan atau kekawatiran. Jika hal ini di ekspos ke publik justru berpotensi kontraproduktif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Paling tidak publik diliputi rasa cemas untuk jalankan aktifitas di berbagai sektor kehidupan yang seharusnya tidak perlu seperti itu.
Jika potensi ancaman tersebut adalah lebih dekat disebut kekawatiran maka saya melihat itu tepat untuk kosumsi internal kalangan aparat keamanan khususnya Polri. Karena pola aksi teror dalam 5 tahun terakhir mayoritas targetnya adalah aparat kepolisian dan simbol-simbolnya.
Jadi pernyataan Polri terkait terorisme di akhir dan awal tahun menurut saya lebih relefan untuk menjadi early warning bagi internal Polri.
Di sisi lain, kita perlu sadar adanya dinamika publik yang sangat kritis terhadap isu terorisme. Resistensi Publik terhadap isu terorisme sangat tinggi; mereka antara percaya dan tidak. Misalkan soal isu potensi serangan terorisme akhir tahun itu di pandang sebagai pengulangan isu setiap tahunnya yang di ekspos ke publik. Dan isu tersebut tidak selalu sesuai dengan realitasnya.
Begitu juga soal sikap kritis masyarakat terhadap persoalan pokok terkait paradigma yang di jadikan basis untuk menyikapi isu terorisme oleh pihak pemerintah dalam hal ini institusi terkait seperti Polri, BNPT dll. Publik melihat adanya ambiguitas pada aspek penindakan yang dilakukan aparat penegak hukum jika mengacu kepada UU Terorisme yang baru.
Terorisme sudah dipandang oleh publik sebagai terminologi yang mengalami penyempitan makna bahkan tendensius di arahkan kepada kelompok agama tertentu yakni Islam dan umatnya. Dan terorisme menjadi "topeng" sebuah proyek kepentingan kelompok opuntunir.
Berkembang retorika di tengah-tengah Publik; bersandarkan UU terorisme yang ada maka bagaimana rezim saat ini menakar teror yang dilakukan oleh separatis OPM di Papua. Siapa yang layak di sebut teroris?? Mereka yang punya jaringan internasional, punya sayap politik, sayap militer, dan terbukti melakukan teror pembunuhan terhadap rakyat sipil dan militer, mereka punya ideologi dan motif politik yaitu Papua merdeka.
Ataukah seperti sekelompok orang atau individu dengan bom pancinya, dengan latar belakang bisnis kebab atau herbalnya, atau karena pernah terlibat jihad di Ambon, Poso atau di Afganistan dan mereka di identikan sebagai sekelompok muslim yang hendak mendirikan negara Islam atau Khilafah Islam?
Pemangku kebijakan hendaknya sadar bahwa proyek kontra terorisme itu Undermonitoring oleh publik secara ketat dengan amunisi kritik yang tajam dan rasional.
Jika tidak adil dan bijak dalam tata kelola penanganan isu terorisme maka akan melahirkan blunder dan resistensi yang luar biasa dari publik! [syahid/voa-islam.com]