View Full Version
Jum'at, 28 Dec 2018

Uighur, Ukhuwah yang Terkubur

Oleh: Yusriani Rini Lapeo, S. Pd

Tragedi pembantaian kaum muslim di negeri-negeri minoritas muslim kembali terjadi. Kaum muslimin Uighur di Cina yang mengalami hal demikian. Bangsa Uighur adalah keturunan klan Turki yang hidup di Asia Tengah, terutama di provinsi Cina, Xinjiang. Namun, sejarah etnis Uighur menyebut daerahnya itu Uyghuristan atau Turkestan Timur. Sekitar 8,5 juta jiwa Muslim di wilayah tersebut dengan bangunan masjid sebanyak 23 ribu buah dan penduduk Cina sendiri mencapai 1,3 miliar jiwa.

Selama kurun waktu 1995 hingga 1999, pemerintah telah meruntuhkan 70 mesjid serta mencabut surat izin 44 imam. Pemerintah  komunis juga menerapkan larangan ibadah perorangan di tempat-tempat milik negara, yang  mencakup larangan shalat dan berpuasa pada bulan Ramadhan di kantor atau sekolah milik negara. Mereka terus-menerus didera penderitaan luar biasa dan dicap sebagai teroris, hingga akhirnya mereka memilih untuk memisahkan diri dari Cina.

Dilansir dari beberapa media, menyebutkan bahwa saat ini telah terjadi penindasan bahkan penyiksaan kaum minoritas muslim Uighur di Cina yang tengah berlangsung sejak tahun 2017. Sebelumnya, Pemerintah Cina menolak adanya tindakan kejahatan yang melanggar HAM disana, dan mengklaim bahwa adanya kamp re-edukasi  bertujuan semata-mata untuk pusat pelatihan 'melawan ekstrimisme'.

Tindakan diskriminasi yang dilakukan Cina terhadap kaum minoritas muslim di sana tergolong otoriter. Pasalnya, partai komunis Cina telah menggerakkan mata-mata di seluruh tempat tertentu sebanyak 1,1 juta pejabat pemerintah lokal untuk sengaja mengawasi dan mencegah aktivitas spiritual kaum muslimin disana. Bahkan, untuk memakai pakaian yang identik dengan Islam pun dicegah, hingga tak sedikit muslim Uyghur dipaksa untuk murtad (Republika, 01/12/2018).

Tidak hanya itu, bahkan yang lebih menjijikan lagi, para gadis-gadis muslimah dipaksa untuk melayani nafsu keji mereka, tetapi apabila mereka menolak mereka akan disuntik, disiksa, hingga mati, dan sisanya, mereka mengirim anak-anak ke panti asuhan untuk menghilangkan identitas muslim mereka, bahkan mencegah pemberian nama Islam terhadap bayi pasca lahir. Sadis bukan?

Dimana Peran Penguasa Muslim?

Arogansi kaum kafir bukan saja pertama kali terjadi, baik di negeri-negeri mayoritas maupun minoritas muslim. sebelumnya pembantaian di muslim AS, Suriah, Palestina, Irak, Rohingya, Yaman, dan kali ini di Xinjiang, Cina. Dengan alasan memberantas terorisme, membuat mereka berbuat semena-mena terhadap kaum muslimin di seluruh dunia.

Masalah Uighur bukan hanya masalah kemanusiaan saja, jelas didalamnya terdapat pelanggaran SARA yang sangat fatal. Indonesia yang katanya negara demokrasi, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, tapi pada kenyataannya tidak dapat memberi suara maupun kontribusi terhadap saudara seakidahnya. Problem Uyghur, cukup membuktikan bahwa penguasa di negeri-negeri salah satu mayoritas penduduk muslim terbanyak di dunia tunduk terhadap komunis Cina.

Komunis telah berhasil membuat penguasa negeri ini tunduk tak berkutik. Bahkan, salah satu petinggi negeri ini tak mau ambil pusing dengan kejadian yang menimpa saudara kita di Cina. Seperti pernyataan yang di ungkapkan oleh Jusuf Kalla, "Tentu kita tidak ingin campuri masalah domestik Uighur. Tapi secara umum pelanggaran hak asasi manusia juga harus kita perjuangkan," ujarnya (Republika, 18/12/2018).

Selain itu, sejumlah pihak menilai adanya ketergantungan Ekonomi yang tinggi terhadap pemerintah Cina dalam bidang perdagangan dan investasi, hingga  memaksa Indonesia berpikir panjang dan mendalam sebelum membuat sebuah kebijakan atas  pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang.

Selain ketergantungan ekonomi, Pengamat politik internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah mengungkapkan,  sebelumnya Indonesia telah menyepakati perjanjian kemitraan komprehensif strategis bersama China pada 2008 lalu. Dalam kesepakatan itu, mensyaratkan apapun yang terjadi kedepannya termasuk pelanggaran HAM, hubungan bilateral harus tetap terpelihara dan tidak boleh diganggu (CNNIndonesia.com).

Inilah yang kemudian menjadi jawaban atas diamnya para penguasa saat ini. Mereka terus membuktikan bahwa Islam itu teroris, padahal sejarah mencatat sepanjang abad pelaku teroris terbesar di dunia dikendalikan oleh AS, kemudian  diikuti oleh komunis. Para pembenci Islam paham betul, Islam adalah agama yang damai bahkan terlalu toleran.

Belum lagi, yang selama ini selalu  mengalami diskriminasi hingga siksaan mematikan adalah kaum muslimin, dan pelakunya adalah para pembenci Islam. Dunia menjadi saksi, bahwa kaum muslimin tidak pernah melakukan diskriminasi di negeri minoritas maupun mayoritas muslim. Namun mengapa para penguasa masih menutup mata dan telinga.

Di sisi lain, komunis telah menyusun strategi agar penguasa negeri  ini tunduk terhadap Asing, adalah dengan memberikan pinjaman sebesar-besarnya dan berinvestasi di berbagai sektor untuk menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sehingga, penguasa negeri ini seakan ridho dengan apa yang dialami oleh kaum muslimin.

Saat ini, penguasa-penguasa negeri muslim telah cacat dan mengalami kemunduran berpikir. Betapa tidak, paham komunis dan kapitalisme yang merenggut dan membatasi ruang gerak kaum muslimin itu sendiri. Paham Komunisme dan kapitalisme, telah menjadi candu yang meracuni pola berfikir sebagian kaum muslimin.

Sekat nasionalisme telah membelenggu pola berfikir kaum muslimin saat ini, hingga tak mampu berbuat apa-apa ketika saudara seakidah kita di Cina menjerit mengharap kan pertolongan kita. Padahal, kita semua bersaudara yang diibaratkan satu tubuh, yang apa bila salah satu anggota tubuh sakit maka sakitlah seluruh anggota tubuh lainnya. Bagaimana mungkin kita akan diam saja, ketika penguasa negeri ini tunduk kepada komunis Cina hanya karena hubungan bilateral?

Kezaliman terhadap muslim Uighur melengkapi berbagai kezaliman yang terjadi di berbagai negeri muslim. Nasionalisme dan konsep negara bangsa menelikung umat Islam di dunia dan penguasanya (termasuk Indonesia) untuk membantu saudaranya dengan bantuan yang real. Bahkan keberadaan penduduk muslim dunia, tentara dan senjata mereka yang banyak tak berguna untuk membebaskan saudara-saudara seakidah disebabkan paham buatan kafir.

Solusi Untuk Uighur

Sebagai umat rahmatan Lil Alamin semestinya kita semua sadar, bahwa tanpa persatuan umat Islam kita akan terus menjadi entitas yang sangat lemah, bahkan kita selalu akan menjadi budak kezaliman di seluruh dunia. Kaum muslimin, akan terus terjajah oleh kekejaman para pembenci Islam. Sebagaimana sebelum daulah berdiri di Madinah, Rasulullah SAW melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan Islam rahmatan Lil Alamin.

Pada tahun 619, terjadi pertempuran berdarah (perang Bu’as) antara suku ‘Aus dan Khazraj, golongan 'Aus sebagai pemenang dan mendatangkan ketakutan di golongan Khazraj. Akan tetapi ketakutan yang sama juga muncul di kalangan ‘Aus, karena jumlah mereka lebih kecil dari. Oleh karena itu, para pemimpin ‘Aus mengirim utusan ke Mekkah meminta bantuan kepada kaum Quraisy, tapi mereka menolak memberikan bantuan. Rasulullah mendakwahi mereka, tapi tidak ada seorang pun yang menerimanya.

Begitu pula pada tahun 620, hal serupa dilakukan oleh golongan Khazraj yang mengutus beberapa orang untuk datang ke Mekah,  untuk meminta pertolongan. Nabi  mendatangi mereka untuk memberitahu hal serupa tentang Islam, namun hasilnya tetap sama.

Hingga Pada akhir 620, Rasulullah bertemu dengan utusan yang berasal dari golongan ‘Aus, dan misi Nabi diterima. Mereka bahkan berjanji akan menyampaikan misi tersebut kepada orang-orang Arab Yastrib, termasuk golongan Khazraj. Mereka berhasil dan pada tahun berikutnya beberapa orang Madinah membuat perjanjian dengan Rasulullah.

Isi kesepakatan itu ialah bahwa di satu pihak mereka akan masuk islam dan pihak lain Rasulullah bersedia menjamin keamanan dan menumbuhkan persahabatan di antara mereka. Walhasil, setelah kedatangan Rasulullah ke Madinah, cahaya Islam pun bersinar di atas langit bersih kota Madinah dan cahayanya mulai memancar luas dan membawa banyak pengaruh dan perubahan bagi masyarakat Madinah.

Keadaan perang yang telah lama menyelimuti kabilah ‘Aus dan Khazraj berubah menjadi keadaan damai dan bersahabatan. Menyikapi suatu perbuatan tercelahpun, berlaku sesuai hukum Allah. Tak lama Rasulullah pun secara resmi diangkat menjadi pemimpin penduduk kota Madinah. Sejak ditetapkannya hukum Islam di sana, Islam menjadi satu-satunya kekuatan politik, Rasulullah mempunyai kedudukan  sebagai kepala agama dan kepala negara.

Selanjutnya, Rasulullah mengajarkan  dasar-dasar ilmu kehidupan bermasyarakat kepada masyarakat Madinah sebagai negara Islam yang sesuai dengan syariat. Adapun ketentuan dari pendidikan tersebut adalah: Pembentukan dan pembinanaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan politik. Dalam hal ini Rasulullah melaksanakan pendidikan dengan menghilangkan permusuhan antara suku, dengan jalan mengikat tali persaudaraan di antara mereka. Menjalin kerjasama dan tolong-menolong dalam membentuk tata kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Serta mengajarkan tentang pendidikan ukuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin, pendidikan kesejahteraan sosial dan tolong-menolong, serta pendidikan kesejahteraan kerabat-kerabat terdekat.

Makna dari kisah Rasulullah di atas adalah pentingnya bagi penguasa muslim dalam menerapkan hukum Allah, agar terhindar dari berbagai kezaliman serta diperbudak oleh kaum komunis seperti yang terjadi saat ini kepada saudara kita di Cina. Bahkan bukan hanya di Uighur, di Palestina dan di belahan dunia lainnya juga umat Islam dalam keadaan menderita. Bahkan pula di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan persatuan dan untuk bersatu itu diperlukan institusi yang akan menyatukan umat Islam, yaitu Khilafah. Sebab, dengan adanya khilafah ini maka kewajiban-kewajiban yang lain akan terlaksana termasuk kewajiban untuk menolong saudara kita yang mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh muslim Uighur, bukan mempertontonkan ukhuwah yang terkubur.

Rasulullah SAW bersabda: “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain bagaikan sebuah bangunan, satu dengan yang lainnya saling menguatkan” (HR.Al-bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-asy’ari Radhiyallahu'anhu). Wallahu'alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version