SEBAGAI ‘Direktur pemasaran’, Erick Thohir (ET) harus bisa meyakinkan dirinya dan para konsumen calon pemilih bahwa Jokowi adalah orang yang tepat untuk dimenangkan menjadi presiden. Nah, yang menjadi masalah besar adalah Erick sendiri tampak tak yakin. Ini sangat berbahaya bagi Jokowi. Dan juga bagi ET.
Dari mana kita bisa melihat bahwa Erick tidak yakin Jokowi adalah orang yang tepat? Itu ketahuan dari tulisan dia (ada yang mengatakan tulisan yang mengatasnamakan dia) yang diberi judul “Rekam Jejak”. Di sini, ET menunjukkan kecamuk batinnya tentang Jokowi.
Bisa ditangkap dari gaya bahasa tulisan itu. Misalnya, Erick menggunakan kata ganti (pronoun) “Dia” untuk Jokowi. Kata “Dia” selalu huruf besar dan cetak tebal (bold) pula lagi. Ini memperlihatkan bahwa ET ingin meninggikan Jokowi. Dia seakan tak mengerti lagi bagaimana caranya supaya rakyat memilih Jokowi. Belakangan ini ET melihat langsung sambutan yang gegap gempita terhadap kedatanga Prabowo-Sandi.
Tapi, yang sangat konyol dari tulisan Erick itu adalah pesan-pesan yang tak substantif. Misalnya, dia buat semacam komparasi antara Jokowi dan Prabowo dari berbagai aspek. Komparasi ini menunjukkan Erick emosional. Panik. Terasa bukan dia yang menulis artikel itu. Sebab, tak mungkin rasanya ketua tim kampanye sampai terjebak emosional.
Tapi, memang bisa saja Erick Thohir emosional. Sangat mungkin dia pun kehilangan akal sehat melihat rakyat yang berbondong-bondong menyambut Prabowo-Sandi. Hilang akal sehat berarti peluang bagi ‘akal sakit’.
Misalnya, dia menyebut Jokowi lahir di Indonesia sedangkan pesaingannya (Prabowo) tidak tahu entah lahir di mana. Nah, ini ‘kan kelihatan cukup, maaf ya pak Erick, tolol (sebetulnya saya mau bilang ‘naif’, tapi sudah terlanjur saya sebut ‘tolol’). Sebab, Prabowo jelas lahir di Jakarta. Bisa dipertanggungjawabkan. Erick jelas sekali asal sebut.
Beberapa komparasi yang lain menunjukkan bahwa TKN Jokowi-Ma’ruf (Ko-Ruf) tidak punya bahan lain. Erick kembali membolak-balik soal agama Prabowo. Soal keluarganya. Dan soal ‘Indonesia bubar’. Padahal, semua ini sudah tidak lagi menarik bagi rakyat.
Secara psikologis, Erick kelihatan ‘letih’. Dia kehabisan bahan. Tulisan “Rekam Jejak” itu menunjukkan bahwa hanya sisi pribadi Prabowo yang masih bisa diutak-atik oleh ET. Dia tak sanggup menghadapi fakta kehidupan rakyat yang dibuat susah oleh Jokowi gara-gara program pembangunan yang hanya terfokus pada infrastruktur.
Dia ‘mati kutu’ kalau diajak menguraikan hutang yang dibuat oleh Jokowi selama empat tahun ini. Erick merasa sangat malu kalau ditanya apakah Jokowi bukan presiden boneka? Apakah Jokowi tidak dikendalikan oleh Luhut Panjaitan, Megawati, Hendropriyono, dll.
Paragraf ke-4 dan ke-5 artikel ET itu, bagi saya, agak sulit dipahami. Harus dibaca berulang kali. Karena tatabahasanya tidak mengikuti panduan yang normal. Seharusnya seorang ketua tim kampanye, tim yang amat penting, memiliki kemampuan berbahasa di atas rata-rata.
Inilah paragraph ke-4 itu: “Kontestasi 2019 pasti luar biasa, suara di mana-mana, serangan di luar nalar manusia, kita dipaksa mengatakan keburukan atas sebuah kebaikan, dan sebaliknya kezholiman mereka paksakan menjadi kebaikan. Semua unsur itu menjadi catatan dan kita tau rekam jejak para pelaku yang nyaris tanpa bisa menunjukkan kinerjanya yang sekarang, atau bekasnya yang pernah dia kerjakan.”
Paragraf di atas sungguh memalukan. Lebih memalukan lagi kalau itu benar goresan pena Erick. Entah apa yang mau dia sampaikan di aline ke-4 itu. Saya menduga dia ingin terlihat puitis. Tapi, frasa-frasa yang ada di situ tidak bisa membangun gagasan yang hendak disampaikan ET.
Misalnya, “… serangan di luar nalar manusia, kita dipaksa mengatakan keburukan atas sebuah kebaikan, dan sebaliknya kezholiman mereka paksakan menjadi kebaikan.”
Tampaknya, kita harus belajar lagi bahasa Indonesia agar bisa memahami kalimat Erick itu. Saya tidak mengerti gagasan yang terkandung di dalam kalimat tsb. Kalimat kedua di paragraf itu juga harus dipahami dengan ‘ilmu batin’. Di sinilah kekurangan saya. Tak punya ilmu batin.
Dulu, semasa SMP-SMA, bahasa Indonesia (termasuk tatabahasa) adalah mata pelajaran yang sangat saya sukai. Saya tak ingat apakah ‘licencia peotica’ bisa melindungi kalimat yang sampai sebegitu ekstrem kekusutannya seperti kalimat Erick di atas.
Paragraf ke-5 juga amburadul. Maaf ya Pak Erick. Tapi, masih ok. Bisa dipahami.
Mengapa pembahasan beralih ke soal tatabahasa? Karena Erick Thohir itu ketua timses Jokowi. Posisi ini sangat strategis. Dia harus bisa menjelaskan kehebatan boss-nya dengan bahasa yang mudah dan sederhana. Bukan bahasa yang tak bermakna. Sangat memprihatinkan.
Kembali ke konten tulisan ET itu, di bagian akhir malah ada ujaran kebencian dan penghinaan terhadap orang-orang yang bercadar. Erick menyimpulkan bahwa mereka (kaum muslimah bercadar) akan membakar dan merampok Indonesia.
Ada yang mengatakan bahwa Erick, sadar atau tidak, sedang menciptakan hat-trick salah dukung. Pada pilpres 2004, dia mendukug Megawati. Kemudian pada pilkada DKI 2017, Erick mendukung Ahok. Tahun ini, 2019, ET akan buat hat-trick yang, insyaallah, akan merugikan dan mempermalukan dirinya.
Asyari Usman
Wartawan senior