Oleh:
Asyari Usman*
SEPERTI apa kira-kira suasana di dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin (Ko-Ruf) terkait dengan cawapres mereka? Masihkah Kiyai Ma’ruf Amin (KMA) dihormati? Masihkah beliau dihargai? Masihkah beliau dianggap sebagai penopang Jokowi?
Inilah sebagian dari pertanyaan yang bertubi-tubi muncul di kepala saya, akhir-akhir ini. Kenapa pertanyaan itu bermunculan, dan mengapa saya perduli dengan KMA? Inilah yang akan saya coba uraikan berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap berbagai komentar para senior TKN dan juga komentator bebas.
Ada beberapa pernyataan yang menyiratkan kegelisahan orang-orang TKN terhadap kinerja KMA. Intinya, ada kesan bahwa mereka menganggap KMA tidak memperkuat elektabilitas Jokowi. Ada kesan para senior TKN frustrasi menghadapi elektabiitas Jokowi yang cenderung stagnan atau bahkan menurun.
Yang pertama disampaikan oleh ketua TKN, Erick Thohir (ET), oada 10 Desember 2018. Waktu itu, Erick mengatakan KMA belum berkampanye. Karena itu, elektabilitas Ko-Ruf tak bertambah. Dia juga mengatakan bahwa kampanye KMA akan penuh dengan kejutan.
Apa makna ucapan Erick itu? Dari sisi psikologi komunikasi, itu menunjukkan bahwa ada ‘sesuatu’ dengan KMA. Ada yang tak beres. Ini terbaca dengan mudah. Kalau semuanya OK, tentu Erick tak perlu berkomentar yang sifatnya memberikan ‘boosting’ (dorongan) semangat kepada dirinya sendiri dan KMA.
Di sini, ET tak bisa menyembunyikan kegelisahannya tentang kemampuan KMA. Saya punya feeling, sangat banyak diskusi di belakang layar antara Erick dan para senior TKN tentang KMA. Saya menduga ‘darah muda’ Erick menilai KMA ‘useless’. Tak berguna. Semoga saya salah. Tapi, saya yakini itu dengan membaca lata-belakang manajemen bisnis ET.
Di ‘board room’ (ruang rapat direksi atau board of directors), elemen-elemen yang tak berguna biasanya tidak akan disimpan lama-lama. Saya bayangkan, ET begitu geram melihat KMA yang dianggapnya, mungkin, menjadi beban Jokowi.
[[Tentang ‘menjadi beban’ ini kita bisa lihat gambar depan majalah Tempo edisi 23 Desember 2018. Edisi ini diunggah (upload) pada 16 Desember 2018. Laporan utama Tempor ini berjudul “Jokowi dan Faktor Ma’ruf”. Subjudulnya berbunyi: “Empat Bulan Sebelum Pemilu, Keberadaan Ma’ruf Amin Tak Memperbaiki Elektabilitas Jokowi—jika Bukan Malah Menggerus. Ada Apa?”]]
Saya banyangkan pula ‘gaya CEO’ (chief executive officer atau presiden direktur) dalam memimpin TKN. Kalau sekiranya kita umpamakan TKN itu sebuah perusahaan yang sedang dibenahi ET, saya melihat kehadiran KMA sebagai ‘vice president’ di situ membuat Erick merasa ‘font line team’-nya tidak efektif.
Betapa ‘geram’ ET karena KMA tak membantu. Tapi, apa daya. TKN bukan perusahaan swasta. Erick tak bisa ‘memecat’ KMA. Bahkan, sebaliknya, dia harus mampu menjadikan KMA sebagai personel TKN yang tangguh dan bisa menyesuaikan diri dengan kecepatan kerja tim.
Sepekan kemudian, pada 17 Desember 2018, tangan kanan Jokowi yang paling dia percaya, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), mengeluarkan pernyataan juga tentang kinerja KMA. Berkata Luhut menjawab pertanyaan wartawan bahwa KMA bisa meningkatkan elektabilitas Jokowi. Menurut LBP, Cawapres KMA belum berdampak karena belum turun berkampanye.
Nah, apa esensi dari pernyataan ET dan LBP itu?
Kalau ‘sayap’ pernyataan mereka itu kita buka dan baca dengan cermat, akan terlihat beberapa hal. Pertama, perasaan jengkel mereka terhadap KMA yang mereka anggap menjadi masalah bagi TKN, bukan solusi. Kedua, ada semacam ‘vote of no confidence’ (perasaan tak percaya diri) dari ET dan LBP terhadap Kiyai Ma’ruf. Ketiga, ada perasaan ingin mengganti Kiyai Ma’ruf dengan orang lain seandainya memungkinkan secara politis dan konstitusi.
Sekarang, bagaimanakah orang akan menyimpulkan situasi yang ada di dalam TKN? Lebih konkret lagi, apakah para senior TKN masih menaruh hormat pada KMA?
Wallahu a’lam. Saya hanya bisa merasakan bahwa KMA telah melakukan banyak tindakan yang tidak akan dilakukannya seandainya dia bukan cawapres. Seolah beliau siap melakukan apa saja asalkan TKN merasa senang kepada beliau.
Kalau sudah begini, apalagi yang bisa kita katakan selain bertanya, “Masihkah TKN dan kubu Jokowi secara keseluruhan hormat kepada Kiyai Ma’ruf”? *Penulis adalah wartawan senior