Oleh : Wardah Abeedah*
Hampir satu bulan tahun 2018 meninggalkan kita. Ada banyak catatan yang perlu dijadikan bahan perbaikan di tahun 2019. Termasuk sikap rezim yang berkuasa saat ini terhadap persoalan umat Islam di Indonesia. Pada 2018 kemarin, terdapat banyak catatan merah rezim Jokowi dalam kebijakannya terkait umat Islam.
Masuknya poin deradikalisasi dalam UU Terorisme, terbitnya UU ITE yang memakan banyak korban kriminalisasi di pihak yang pro Islam, ditersangkakannya tokoh-tokoh muslim atas kasus hatespeech dan lainnya, pembubaran kajian beberapa ustadz oleh aparat, deradikalisasi kampus yang dirasa merugikan dosen dan beberapa pihak, juga ketidak adilan yang dirasakan kaum muslimin terkait kasus bendera tauhid.
Selain itu, ada banyak persoalan yang dirasa mengganggu umat sepanjang tahun kemarin. Mulai penyerangan ulama, ustadz dan guru ngaji yang konon dilakukan orang gila, persekusi ulama dan tokoh Islam oleh beberapa pihak, juga pembakaran bendera tauhid yang sangat menyakiti hati umat Islam.
Di sisi lain, ketika ada banyak pelaporan terkait hatespeech yang dilakukan kubu pro rezim, aparat begitu lamban menanganinya. Kelompok bersenjata di Papua yang menewaskan 31 orang tak pernah mendapat predikat radikal atau teroris.
Berderet dinamika inilah yang menjadikan Reuni 212 tahun 2018 semakin besar. Dihadiri massa yang lebih besar dengan jumlah bendera tauhid yang lebih banyak. Kehadiran kaum muslimin di Monas menjadi bentuk perlawanan cerdas nan elegan.
Momentum Al-Maidah 51 di 2016 dan akumulasi rasa ketidakadilan yang dirasakan kaum muslimin pada 2016 hingga 2018 menjadikan 212 sebagai simbol perjuangan kaum muslimin. Meminjam istilah Rocky Gerung, 212 tak lagi sekedar momentum. Tapi berubah menjadi monumen. Yakni menjadi sebuah simbol bagi pembelaan terhadap Islam dan perlawanan bagi ketidakadilan. Simbol bagi bangkitnya Islam politik di Indonesia. Simbol kecintaan terhadap agama dan kerinduan terhadap ukhuwah serta persatuan.
Tak berhenti di Monas, ghirah Islam menjalar ke seluruh pelosok nusantara. Pasca 212, umat semakin sadar bahwa Islam bukan lagi sekedar ibadah dan akhlaq, opini Islam politik yakni Islam sebagai pengatur semua aspek kehidupan menguat. Ulama yang selama ini hanya menyuarakan ibadah dan akhlaq, menjadi lantang menyuarakan kedzaliman penguasa dan penjajahan politik, ekonomi dan budaya yang ada di Indonesia.
Bersamaan dengan era digital, media sosial tak ayal menjadi salah satu sarana yang menyebarkan Islam politik ke tengah-tengah umat. Gelombang hijrah juga membesar, para tokoh bahkan artis yang biasa menjadi symbol maksiat justru turut memperbesar gelombang ini. Kajian keislaman ramai di seluruh pelosok negeri.
Belasan tahun yang lalu, mungkin tak pernah terbayang jika berjuta al liwa dan ar rayah akan dikibarkan oleh jutaan umat Islam yang bersatu atas pemikiran dan perasaan Islam. Beberapa tahun yang lalu mungkin sulit memvisualkan dalam benak, bagaimana wujud jutaan umat Islam berkumpul atas kesadarannya sendiri, demi membela Islam, memuhasabahi penguasa menyuarakan islam sebagai pandangan politik, dan menginginkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik dengan Islam, sebagaimana orasi yang disuarakan para tokoh dalam Reuni 212 tahun kemarin.
******
Kesadaran Islam politik, yakni Islam sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan termasuk bernegara inilah yang ditakutkan rezim dan tuannya. Sebagaiman ucapan M.Natsir, “Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi, akan diawasi, Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya”.
Maka wajar jika propaganda melawan Radikalisme yang menyudutkan Islam digencarkan. Melalui survey-survey dan framing pemberitaan melalui media, ajaran Islam dan ormas yang ingin menerapkannya kerap dijadikan sasaran fitnah propaganda Radikalisme ini. Tujuannya setidaknya ada 4 ;
Pertama, menebarkan islamphobia agar umat Islam menjauhi ajaran agamanya sendiri. Kedua, sebagai alat legitimasi untuk memukul pihak yang ingin menerapkan Islam atau mengancam kekuasaan. Ketiga, membangun nilai baru Islam yang ramah terhadap Barat. Keempat, mempertahankan hegemoni Barat atas negeri muslim
Dosen UIN Sunan Ampel, Dr. Imran Mawardi MA juga menyatakan bahwa istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam.
Menurut Ketua MUI Depok, KH Ahmad Nawawi mengungkapkan, propaganda radikalisme adalah propaganda efektif bagi bangsa penjajah untuk menjajah negeri-negeri muslim (Tabloid Media Umat april 2018). Statement ini sejalan dengan pendapat para ekonom seperti Ichsanoodin Noorsy, Rizal Ramli, dll yang sering menyatakan bahwa ekonomi kita dikuasai asing.
Pada faktanya, sebagian besar sumber daya alam Indonesia dikuasai asing, begitu pula berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah acapkali menguntungkan asing dan tak berpihak pada rakyat. Jika Islam ditegakkan melalui institusi politik (negara), penguasaan sumber daya alam oleh Barat akan dihentikan karena bertentangan dengan ajaran ekonomi Islam. Hal ini tentu akan merugikan pihak kapitalis yang selama ini meraup keuntungan di Indonesia.
Selama rezim yang berkuasa terus ridha menjadi antek asing, selama rezim menerapkan ideology kapitalisme sekuler di negeri ini, selama itu pula umat Islam akan tersudutkan. Semoga 2019 ini Islam tak hanya bebas dari obyek kriminalisasi, persekusi dan fitnahan. Tapi Islam akan menang dengan terwujudnya Indonesia yang tak tunduk pada asing, tapi tunduk pada Allah semata dengan menerapkan semua syariah Islam secara sempurna. Agar negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Allahu a’lam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
*Founder Madrasah Shalihat, Islamic Freelance Writer