View Full Version
Jum'at, 08 Feb 2019

RUU P-KS VS Syariah Islam; Mana Solusi Terbaik?

Oleh: Wardah Abeedah*

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) kembali ramai diperbincangkan. Sebenarnya RUU ini sudah digagas sejak  2013 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL), yang merupakan himpunan dari 125 pengada layanan bagi korban kekerasan di 32 Propinsi.

Sejak itu pula, RUU ini menuai pro kontra. Sebagian pihak seperti Parati Solidaritas Indonesia (PSI) dan para aktivis perempuan mendesak disahkannya RUU ini dengan alasan Indonesia darurat kekerasan seksual. Sedangkan pihak yang dinilai cenderung konservatif dan relijius bersuara lantang untuk menolaknya. Diantara alasan yang mereka kemukakan adalah adanya indikasi impor nilai-nilai barat yang semakin menguatkan ide dan budaya liberal di Indonesia.

Islam adalah agama sempurna yang mengatur berbagai aspek kehidupan.  Islam juga memiliki pemikiran-pemikiran yang khas berupa aqidah dan syariah. Sebagai muslim, Allah telah mewajibkan setiap kaum muslimin untuk terikat dengan Islam, baik dalam berfikir ataupun bertindak. Oleh karena itu, ketika muncul sebuah kebijakan yang diharapkan memberi solusi bagi persoalan umat, maka kita harus menakarnya dengan timbangan Islam. Termasuk RUU P-KS ini.

Menakar RUU P-KS

Tak berbeda jauh solusi-solusi kekerasan seksual yang sudah diterapkan sebelumnya. Nyawa RUU PKS ini masihlah sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Jika ditilik dari poin-poin pasalnya dan siapa penggagasnya, RUU ini jelas menegasikan peran agama yang sejatinya adalah nilai tertinggi. Setidaknya ada tiga kesalahan paradigma dalam RUU ini.

Pertama, definisi kekerasan seksual yang bermasalah. Pada pasal 11 sampai pasal 19, yang disebut kekerasan seksual jika meliputi sembilan cakupan. Yang menjadi catatan kritis adalah jika hal tersebut dilakukan dengan terpaksa dan mengandung unsur kekerasan. Batasan tindak pidana dalam perilaku atau hubungan seksual adalah jika salah satu pihak merasa tak nyaman, atau dipaksa.

Jadi hubungan seksual di luar nikah menjadi sah-sah saja asal kedua belah pihak tak merasa menjadi korban kekerasan. Dengan pasal ini, prostitusi yang semakin marak akan semakin subur karena selama dilakukan bukan atas dasar paksaan, baik penjual jasa prostitusi ataupun pemakai jasanya semakin bebas melenggang. Belum lagi para pelaku LGBT yang semakin marak akan mendapatkan angin segar jika RUU ini jadi disahkan. Karena orintasi seksual tidak diatur sama sekali dalam RUU ini. Pun jika ada seorang wanita dengan maksud memamerkan tubuhnya di muka umum maupun di media sosial dengan suka rela, tidak bisa masuk kategori kekerasan seksual.

Kedua, Pemberian hak individu yang berlebihan. Pasal 7 poin 1 berbunyi, "Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat."

Pemberian hak individu yang berlebihan ini menjadikan setiap orang berhak berbuat apapun terhadap tubuhnya. Baik dia ingin membuka aurat sesukanya, ingin hamil atau aborsi sesuai maunya, dia berhak memilih ingin berhubungan badan dengan siapapun sesuai kehendaknya karena prinsip tubuhnya adalah miliknya. Tak boleh ada pemaksaan orangtua terhadap anak untuk menutup aurat, melarang berzina (berhubungan seks diluar nikah), dan dia berhak menolak suami yang meminta haknya untuk dilayani.

Berbeda jauh dengan Islam. Dalam paradigma Islam, setiap manusia wajib mengakui, membenari dan mengimani bahwa manusia hanyalah ciptaan Allah. Ia hidup di bumi Allah untuk menghamba padaNya, menjalani semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Sebagai hamba yang memiliki akal dan pengetahuan terbatas, ia wajib meyakini bahwa syariah Allah satu-satunya hukum dan petunjuk hidup terbaik unutk seluruh manusia dan selulruh makhluq.

Tubuhnya adalah ciptaan sekaligus pemberian Allah yang wajib dipergunakan sesuai dengan petunjuk aturan yang telah Allah berikan. Sehingga ketika dia memilih pakaian yang akan dikenakan, ia akan memilih desain pakaian sesuai perintah Allah, bukan sesuka hatinya. Ketika ia hendak menyalurkan naluri seksualnya, ia akan melakukannya sesuai aturan Allah, bahkan dalam rangka beribadah kepada Allah.

Ketika ia berfikir, menilai sesuatu, membuat keputusan, standardnya adalah Islam, kacamata yang dipakai harus Islam. Ia akan memandang, hubungan seksual diluar yang dihalalkan (melalui hubungan pernikahan dan budak wanita) adalah keharaman. Ketika Islam memposisikan suami sebagai qawwam dan memiliki hak untuk dilayani di ranjang, maka seorang muslimah akan melakukannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Ia tak akan melakukan hubungan seksual dengan selain yang dihalalkan Allah untuknya. Bahkan berhubungan seks diluar nikah dipandangnya sebagai perbuatan zina yang merupakan fahisyah (perbuatan keji), jalan terburuk, dosa besar, dan penyebab rusaknya masyarakat.

Dalam Islam, jarimah atau kejahatan dan kriminalitas adalah perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir (Imam Mawardi). Maka memamerkan aurat dan melanggar perintah Allah dalam surat Al-Ahzab 59 dan An-Nur ayat 31 adalah sebuah kriminalitas. Melakukan zina bahkan meski hanya mendekatinya adalah jarimah.

Jika RUU ini berlaku dan para isteri berpenapat ia berhak penuh atas tubuhnya, hal ini akan  berpotensi menimbulkan problem keluarga. Jika si suami tak bisa mendapat pemenuhan seksual di rumah, sangat bisa jadi ia akan mencari pemenuhan diluar rumah baik itu dengan berzina dengan cara memebeli jasa prostitusi, atau dengan memiliki wanita idaman lain di luar rumah.

Syariah Islam, Solusi Tuntas Kekerasan Seksual

Solusi yang telah dilakukan pemerintah selama ini bersumber dari ratifikasi internasional seperti CEDAW Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) dan konvensi keperempuanan ala kapitalis liberal lainnya. Nyaris semua solusi itu tak menyentuh akar maslaah kekerasan seksual. Faktor penyebab kasus-kasus kekerasan seksual adalah perilaku dan pemikiran yang mendewakan syahwat (liberal). Namun, faham liberalism dan perilaku liberal ini sama sekali tak dimusnahkan, bahkan justru disuburkan dengan berbagai undang-undang dan kebijakan sebagaimaan RUU P-KS.

Harusnya penanganan kejahatan dilakukan secara preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif. Dalam menghilangkan bentuk jarimah dan menerapkan aturan syaruah, Islam menegakkan tiga pilar ; ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan penegakan hokum oleh negara.

Syariah Islam memiliki seperangkat sistem yang akan mencegah zina dalam bentuk apapun, termasuk kejahatan seksual. Dari hulu sampai hilir, dari preventif hingga kuratif. Islam telah mengharamkan setiap pemeluknya untuk mendekati zina (Al-Isra’ 32) dengan perintah menundukkan pandangan (An-Nur 30), memerintahkan menutup aurat, bagi wanita bahkan tak boleh ditampakkan tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan (Al-Ahzab 59 dan An-Nur 31), keharaman khalwat dan ikhtilat sebagaimana ditegaskan oleh As-Sunnah. Islam juga menjadikan pernikahan sebagai sebuah ibadah yang memiliki banyak keutamaan, mempermudah pernikahan, bahkan mensunnahkan untuk menyegerakan menikah serta menghalalkan poligami. Bagi yang belum mampu menikah, Islam menganjurkan berpuasa.

Secara kuratif, Islam telah mengkategorikan zina sebagai dosa besar yang ditetapkan hukumannya oleh Al-quran dan As-sunnah berupa cambuk seratus kali bagi pezina ghairu muhsan atau belum menikah (An-Nur 2) dan menurut beberapa pendapat hukuman ini ditambah dengan disasingkan selama satu tahun. Bagi pezina muhsan (sudah menikah) akan dihukum dengan cara dirajam sebgaimana yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Ghamidiyah dan Ma’iz. Seluruh hukum ini tegak diatas ketakwaan individu yang dibangun melalui sistem pendidikan dan penerapan syariah lainnya oleh negara, juga tegak diatas keadilan yang tak tebang pilih dalam menerapkan sangsi.

Selama syariah Islam yang bersumber dari sang pancipta ini tak dijadikan solusi, selama itu pula kejahatan seksual akan terus tumbuh subur di negeri ini. Dengan diterapkannya Islam yang sempurna, baik dari aspek aqidah dan syariah yang dibawa Rasul kita tercintalah, Indonesia dan dunia akan menjadi tampat yang diliputi rahmat dan barakah sebagaimana firman Allah,

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam? (TQS. Al Anbiyaa: 107).

Wallahu alam bis shawab. (rf/voa-islam.com)

 

*penulis adalah pemerhati perempuan dan anak, Founder Madrasah (Ibu) Ash-Shalihat

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version