View Full Version
Selasa, 26 Feb 2019

Indonesia Perlu Pemimpin Optimis yang Bawa Perubahan

OPTIMISME diperlukan baik dalam kehidupan pribadi maupun negara. Optimisme memberikan harapan tentang hari depan yang lebih baik.Presiden Widodo memang memberikan optimisme luar biasa pada tahun 2014. Bayangkan seorang yang berasal dari keluarga biasa bisa menjadi Walikota, Gubernur, bahkan Presiden. Presiden dengan gaya dan penampilan yang sederhana. Apalagi Presiden Widodo berjanji untuk memperjuangkan Trisakti, akan mencapai Kedaulatan Pangan, Energi dan Keuangan.

Empat tahun lewat, ternyata tebaran optimisme Pak Widodo makin lama makin memudar, bahkan dalam banyak hal harapan akan kehidupan yang lebih baik makin memudar. Ekonomi stagnan di 5%, daya beli rakyat merosot, pengurangan kemiskinan terendah sejak reformasi. Widodo hanya mengurangi  450.000 orang miskin per tahun. Bandingkan dengan era Presiden Gus Dur yang berhasil menurunkan kemiskinan 5,05 juta orang per tahun, Habibie 1,5 juta orang per tahun, Mega  570.000 orang per tahun dan SBY  840.000 orang per tahun. 

Rendahnya penurunan kemiskinan masa Widodo karena garis ekonominya yang meninggalkan Trisakti, terutama karena kebijakan impor yang ugal-ugalan dan penghapusan subsidi listrik 450 VA dan 900 VA. Tambahan pula, risiko makro ekonomi semakin meningkat selama 2 tahun terakhir.


Boro-boro kedaulatan pangan tercapai, yang terjadi justru impor ugal-ugalan yang sangat merugikan petani. Boro-boro kedaulatan keuangan tercapai, yang terjadi justru utang yang semakin besar, dengan yield yang merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Risiko makro ekonomi Indonesia meningkat selama 2 tahun terakhir dalam bentuk defisit neraca perdagangan (- 8,57 miliar, 2018) dan defisit transaksi berjalan (USD -9,1 miliar, Q4 2018). Defisit transaksi berjalan 2018 adalah yang terburuk dalam 4,5 tahun terakhir.

Kegagalan Widodo untuk mencapai kedaulatan pangan dan kedaulatan keuangan terjadi karena tidak adanya konsistensi antara tujuan, strategi, kebijakan dan personalia.Tujuan untuk mencapai swasembada pangan dikhianati dengan kebijakan impor ugal-ugalan dan penunjukan pejabat yang doyan rente (rent seekers).

Demikian juga halnya tujuan kemandirian keuangan dikhianati dengan kebijakan pinjaman luar negeri yang jor-joran dan penunjukan pejabat keuangan yang doyan memberikan yield tinggi, yaitu 2-3% diatas negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia seperti  Philipina dan Vietnam  — selain sifatnya kriminal, juga dilakukan semata-mata demi glorifikasi pribadi.

Widodo berhasil membangun banyak proyek infrastruktur. Ada yang bermanfaat untuk rakyat, sebagian mempunyai nilai strategis terutama untuk mengurangi ketimpangan Jawa vs Luar Jawa. Tetapi beberapa berpotensi merugi dan harus disubsidi rakyat, seperti proyek jalan tol pantura (kerugian Rp 380 miliar/tahun) dan monorail Palembang (rugi Rp 9 Milyar/bulan). Kasus-kasus kerugian itu adalah contoh “Rakyat untuk Infrastruktur”, bukan “infrastruktur untuk rakyat”. Itu terjadi karena tidak efektifnya fungsi planning, kalah dengan “dawuh pandito Ratu”.

Pidato Widodo di Sentul kemarin tidak lain adalah pengulangan dari pidato-pidato sebelumnya, laporan tentang apa-apa yang telah dilakukan, dengan angka-angka yang ngasal dan -maaf- diragukan kredibilitasnya. Kenapa seperti pada Debat II banyak sekali data ngasal, ngawur dan cendrung Hoax? Hal itu terjadi karena kebiasaan Widodo yang doyan mengklaim prestasi berlebihan (over-claims) dan lingkaran dalamnya yang bermental ABS (Asal Bapak Senang).

Widodo juga terlalu jumawa dan tidak jujur ketika mengatakan bahwa “Dana Desa dimulai dari Jokowi”. Padahal Dana Desa adalah amanat dari UU Desa.  Alokasi dana desa lebih dari Rp 1 Milyar per desa adalah amanah dari UU Desa 2013. UU Desa tersebut diperjuangkan oleh asosiasi-asosiasi kepala Desa, terutama Parade Nusantara dengan Ketua Umum Sudir Santoso dan Ketua Dewan Pembina DR. Rizal Ramli; yang memperjuangkan UU Desa sejak tahun 2011.Pembahasan UU tersebut banyak dibantu oleh Marwan Ja’far, Ketua Fraksi PKB dan Ahmad Muqoam Ketua Pansus dari PPP, serta dibantu Ketua DPR Marzuki Alie.

Hukum semakin terasa tidak adil, hanya galak dan tegas terhadap tokoh-tokoh yang berbeda pendapat dan kritis terhadap kekuasaan. Index demokrasi Indonesia merosot dari peringkat ke 49 pada tahun 2014 menjadi peringkat ke 65 pada tahun 2018.Terjadi pendangkalan kehidupan bernegara, semua masalah dibahas dengan kerangka untuk menjaga kepentingan kekuasaan. Bukan untuk membela kepentingan rakyat dan keadilan bagi seluruh rakyat. Situasi ini menimbulkan kondisi social di masyarakat menjadi terbelah karena praktek hukum dijalankan secara antagonis / tidak adil. Ini memancing suasana konfrontatif di dalam masyarakat.

Setelah 4 tahun lebih, terbukti Widodo gagal karena tidak adanya konsistensi antara tujuan, strategi, kebijakan dan personalia. Pidato Widodo di Sentul, kurang jujur, karena tidak mengakui kegagalan yang terjadi. Seharusnya, jika ksatria, Widodo berani meminta maaf dan ganti strategi. Jika Widodo melakukan hal itu, baru akan terlihat harapan dan optimisme baru. Tetapi Widodo tidak mau minta maaf dan ganti strategi, sehingga kegagalannya justru menebar pesimisme dan mengubur harapan.

Padahal inti dari kepemimpinan adalah menumbuhkan harapan dan optimisme. Untuk itu pemimpin harus mampu melakukan refleksi, introspeksi dan kejujuran untuk mengakui kekurangan dan kegagalan untuk segera diubah, sehingga memberikan harapan dan optimisme baru. ***

Dr. Rizal Ramli
Senin, 25 Februari 2019


latestnews

View Full Version