Oleh : Dessy Fatmawati, S. T
“Welcome Brother.” Demikian sapaan Daoud Nabi Imam berusia 71 tahun itu di bawah todongan senjata. Aksi ini bukanlah tanpa perhitungan. Sang Imam sadar bahwa seseorang yang kini menodongkan senjata dan secara beringas menembaki puluhan umat Islam New Zealand, tak lebih dari hasil provokasi Islamophobia sistemik besutan Barat.
Transformasi seorang Brenton Tarrant tidaklah acak. Di satu sisi ia adalah individu yang menyambut agenda global Islamophobia. Rekam jejak digitalnya menunjukkan bahwa secara kontinyu ia menyerap nilai-nilai Islamophobia yang tersebar sistematis dan terbuka di internet. Informasi yang diasuh serius oleh politisi, akademisi dan media Barat. Temasuk provokasi dendam kesumat peninggalan perang salib, dihubungkan dengan kenyataan bahwa saat ini – diakui atau tidak - ras kulit putih (baca:Barat) mengalami degradasi multidimensi.
Di sisi yang lain, ada eggboy, Will Connolly satu dari sekian ras kulit putih yang muak akan ‘kebiadaban’ Islamophobia rekaan Barat. “This was the moment when I felt so proud to exist as a human being. Let me inform you guys, Muslim are not terrorists and terrorism has no religion. All those who consider Muslims a terrorist community, have empty heads like Anning.”, tulis remaja 17 tahun ini dalam akun twitternya paska melempar telur ke kepala senator Quensland, Fraser Anning.
Pernyataan rasis Fraser Anning tidak sekedar sikap individual, namun sikap kompak Barat dalam menghadapi Islam. Menjadikan Islamophobia sebagai rasialisme yang diterima secara umum untuk menjustifikasi kejahatan terhadap muslim dan Islam. Sanggahan hanya semakin menunjukkan hipokrisi Barat, sebab data justru menunjukkan hal sebaliknya, di USA dari 65 kejadian aksi terorisme 37 insiden dilatarbelakangi sikap anti-muslim (Global Terrorism Database 2018).
[Tetap Fokus] – Apresiasi positif layak berikan pada otoritas pemerintah New Zealand dan respon warga dunia atas simpati kepada umat Islam di New Zealand. Gerakan menjaga masjid, diperdengarkan adzan, pembacaan ayat suci Al Qur’an dan berkerudung bagi kaum perempuan di New Zealand mengokoh di tengah gelombang Islamophobia yang terus disebar. Akan tetapi sangat perlu dicatat, akar masalah kejadian ini harus tetap menjadi fokus tidak boleh goyah oleh euphoria fenomena simpati. Harus ada langkah-langkah nyata bukan saja untuk menyembuhkan luka namun mencegah luka yang sama kembali menganga.
“Will Christchurch finally change the way we view global terrorism?”, tutur Rifat Audeh, aktivis HAM dan filmmaker di laman independent.co.uk. Berbeda dengan insiden serupa di tenpat lain, insiden di New Zealand menyentak kesadaran global bahwa 1)Islamophobia adalah kejahatan Barat yang nyata, 2)Ambruknya supremasi kebenaran Barat, 3)Seruan kesatuan kaum muslimin lebih diatas simbol, terlepas sempurna dari kesemuan nation state adalah relevan dan kebutuhan mendesak.
Pertama, Islamophobia adalah kejahatan Barat yang nyata. Antara tahun 2008 sampai 2013, CAIR (Council on American-Islamic Relations) mengidentifikasi setidaknya 74 kelompok yang mendukung atau mendanai Islamophobia. Selama periode ini, 33 kelompok lapisan inti (inner core) telah mengakses setidaknya USD 204 juta (setara 2,7 triliun rupiah) pendapatan total. Lalu pada tahun 2013 saja, kelompok-kelompok lapisan inti telah mengakses 34.687.465 dolar (setara 464 miliar rupiah).
Selain itu, 41 kelompok lapisan kedua (outer core) tidak dirancang secara eksplisit untuk advokasi anti-Muslim, tetapi mereka bekerja secara reguler memasukkan tema-tema Islamophobia. Jajak pendapat oleh The Review of Religion, 41% penyebab meningkatnya Islamophobia adalah bias dan kesalahan penggambaran yang dilakukan oleh media massa. Disusul 24% karena perilaku negatif individu yang disebut muslim. Hanya 15% responden yang tidak setuju adanya (peningkatan) Islamophobia.
Kedua, ambruknya supremasi kebenaran Barat. Dalam dua tulisan yang berbeda, Drone Emprit mengawal respon dunia maya atas insiden di New Zealand. Tulisan tanggal 15 Maret, People said "Terrorist", Most Media said "Shooting" terlihat jelas gap antara media mainstream (Barat) dan netizen.Tanggal 16 Maret, dinamika dunia maya merujuk ke satu opini, “We found that 70% of the conversation said "terrorist" attack, while 30% of it said "shooting" attack. It seems globally we agree about the term, that it was an act of a terrorist.”. Disaat media Barat mati-matian mempertahankan label “shooting”, masyarakat dunia sama sekali tidak bergeming.
Ini jelas pengkhianatan kode etik jurnalistik. Meski sebenarnya sikap ini sangatlah tidak mengherankan. Barat dan hipokrit adalah satu paket tak terpisahkan. “Truth, it seem. Is too complicated for us to pursue. Or perhaps it doesn’t exist, since we are all subjective individuals. There are interesting arguments, maybe, on some philosophical level, even valid..” terang Bill Kovach dalam artikel berjudul Journalism’s First Obligation is to Tell the Truth pada laman niemanreport.org. Hal ini sesuai dengan yang diungkap Louay Safi dalam papernya berjudul Blaming Islam, dengan poin utama labelling game adalah senjata efektif memecah belah kekuatan umat Islam.
Ketiga, seruan kesatuan kaum muslimin lebih di atas simbol, terlepas sempurna dari kesemuan nation state adalah relevan dan kebutuhan mendesak. Tidak bisa dipungkiri, sejak keruntuhan kekuasaan Islam pada tahun 1924, tak ada lagi kekuatan politis berarti. Didukung dengan bungkamnya penguasa muslim di hampir seluruh wilayah, ummat Islam kehilangan perisainya.
Di area mayoritas, intimidasi masuk hinga ke ranah fisik. Sebutlah muslim Rohingya, Uighur, Pattani, Suriah, Yaman, Palestina dan masih banyak lagi. Di area mayoritas, oleh kebijakan Islamophobia membungkam kaum muslimin, dipaksa menerima ‘sentimen negatif’ atas agamanya sendiri bersamaan dengan proses internalisasi Islamophobia (menjadi bagian yang mengawasi diri). Maka seruan kesatuan ini bukan hanya relevan tapi mendesak untuk disegerakan dan menjadi prioritas kaum muslimin di seluruh dunia.
“Sesungguhnya seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya.” [HR Muslim]
Dengan kembalinya kekuatan kaum muslimin baik secara fisik dan politis, tidak hanya dapat membebaskan kaum muslimin dari kondisi yang keji, namun juga menerangi dunia. Meruntuhkan hegemoni peradaban Barat yang rusak dan menggantinya dengan peradaban agung, Islam rahmatal lil ‘alamin. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google