View Full Version
Jum'at, 29 Mar 2019

Begitu Jokowi Terdesak, Larinya ke Khilafah Lagi

 

Oleh:

Asyari Usman*

 

SALAH satu sinyal yang menunjukkan Jokowi terdesak di pilpres ini adalah pemunculan isu khilafah. Pertama, tampil Luhut Panjaitan yang mengatakan ada gerakan yang mau mengganti ideologi Pancasila.

Setelah itu keluar Hendropriyono yang menakut-nakuti publik bahwa pilpres kali ini adalah pertarungan antara ideologi Pancasila dan ideologi khilafah. “Jangan salah pilih,” kata Hendro mengakhiri jeritan pedihnya yang terakhir menjelang kejatuhan Jokowi, 17 April nanti.

Jadi, “Awas Khilafah” adalah satu-satunya amunisi yang tersisa di kubu Jokowi. Mereka tak mampu lagi memikirkan narasi yang lebih cerdas. Agak mengherankan juga mengapa Luhut dan Hendro kalah cerdas dibanding publik. Padahal, mereka berdua ini mantan jenderal yang disebut-sebut cerdas.

Boleh jadi Luhut dan Hendro sudah terlalu lama bergelimang dengan cara-cara yang dulu tidak terlalu sering mengaktifkan nalar. Mereka berdua ini ‘kan tergolong jenderal gaya lama yang masih belum bisa lepas dari doktrin-doktrin “gebuk”, “gertak”, “libas”, dlsb.

Mereka menyangka hari ini publik masih bisa ditakut-takuti dengan isu khilafah tanpa didukung bukti-bukti teoretis dan empiris. Tanpa penjelasan ilmiah. Setidaknya ilmiah populer.

Mereka masih saja membuat stetmen yang sifatnya satu arah dan harus ditelan begitu saja oleh publik. Luhut dan Hendro menganggap dan mengharap rakyat hari ini sama seperti anak-buah yang mereka pimpin dulu. Dalam arti, apa saja yang mereka katakan harus diiyakan dan diterima sebagai kebenaran.

Padahal, publik hari ini tidak akan menelan begitu saja apa-apa yang mereka katakan. Mereka terbiasa menggunakan nalar untuk menganalisis sesuatu. Kalau Luhut dan Hendro bilang Pancasila terancam diganti ideologi khilafah, publik akan melihat dulu sejarah ideologi khilafah di Indonesia.

Publik paham bahwa ancaman khilafah yang disebutkan Hendro itu tidak pernah terbukti. Kalau sebatas digunakan sebagai momok, memang sering. Khilafah mereka jadikan sebagai hantu untuk menakuti khalayak.

Yang menjadi masalah, hantu khilafah itu tak punya bangkai. Padahal, dalam mitos mana pun juga, hantu dipercaya sebagai jelmaan bangkai. Nah, tolong tunjukkan bangkai khilafah di Indonesia ini? Di mana ia berada? Apakah Luhut dan Hendro bisa tunjukkan?

Jadi, memang ada gap (jurang) yang lebar dalam cara berpikir dan gaya argumentasi antara Luhut-Hendro dan generasi yang jauh di belakang mereka. Yaitu, generasi yang bakal banyak menggunakan akal sehat ketimbang agitasi yang keluar dari ekspresi wajah ketat dan cemberut.

Sebagai kesimpulan, kalau pun Luhut dan Hendro melancarkan kampanye “scaremongering” (menakut-nakuti) rakyat bahwa Pancasila akan diganti, tidak akan pernah sukses. *Penulis adalah wartawan senior

 


latestnews

View Full Version