Oleh: Erika Kartini, S.E
Hari ini jargon kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi sesuatu yang dielu-elukan oleh para aktivis perempuan. Mereka berpikir bahwa masa depan perempuan akan sukses dengan adanya jargon ini. Termasuk kekerasan terhadap perempuan, menurut mereka juga disebabkan karena tidak adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan di bawah kekuasaan laki-laki.
Pada pertemuan tahunan Komisi Status Perempuan (CSW), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berkata, "Kesetaraan gender pada dasarnya masalah kekuasaan." Di depan sejumlah delegasi yang berkumpul di Majelis Umum Guterres mengatakan bahwa budaya yang didominasi laki-laki secara historis meminggirkan, mengabaikan serta membungkam perempuan dan itu perlu diubah (voaindonesia.com, 12/03/2019).
Saat ini tidak dipungkiri bahwa perempuan berada dalam permasalahan yang serius. Banyak perempuan yang tertindas, dilecehkan kehormatannya, dieksploitasi fisiknya dan sebagainya. Ide kesetaraan gender menjadi angin segar bagi perempuan. Mereka menggantungkan perubahan nasib mereka pada ide tersebut. Apakah ketidaksetaraaan menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan? Ketertindasan perempuan pada faktanya bukan karena tidak setara dengan laki-laki. Ada permasalahan lain yang lebih serius yang menjadi penyebab terpuruknya kaum perempuan. Kita seharusnya lebih teliti dalam menyikapi jargon kesetaraan ini.
Kekeliruan dalam penyelesaian masalah perempuan justru akan semakin membuat perempuan menderita. Bahkan berdampak kepada keutuhan keluarga serta masa depan generasi. Hari ini, betapa banyak perempuan telah berupaya setara dengan laki-laki. Kaum perempuan berhasil menduduki jabatan yang tinggi. Tidak sedikit yang menjadi menteri, gubernur, bupati, anggota dewan bahkan presiden. Belum lagi profesi-profesi yang bergerak di masyarakat. Banyak perempuan yang menjadi dokter, dosen, guru, akuntan pendidikan perempuan juga sudah meningkat. Mereka melanjutkan jenjang S2 dan S3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dilansir dari tirto.id, 06/11/2018, persentase perempuan yang menempuh pendidikan sarjana di bidang sains melebihi laki-laki: perempuan 51 persen dan laki-laki 49 persen. Pada jenjang doktoral, porsi perempuan memang menciut, yakni 64 persen berbanding 36 persen. Artinya, potensi pelibatan perempuan dalam bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) cukup besar. Indonesia misalnya dipuji lantaran mencatat tingkat melek aksara yang termasuk paling tinggi di Asia (Perempuan 93,59% dan Laki-laki 97,17%). Selain itu kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang mencakup 3/4 populasi dan tercatat sebagai salah satu program kesehatan nasional terbesar di dunia, berhasil mengurangi angka kematian ibu (m.detik.com, 19/09/2018).
Menurut laporan Bank Dunia pada tahun 2011, kesetaraan gender di Indonesia telah meningkat secara signifikan selama lebih dari dua dekade terakhir. Tingkat harapan hidup perempuan adalah 73 – lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 71. Lebih banyak perempuan menjadi pengusaha terimakasih kepada bantuan-bantuan inovatif kredit mikro. Lebih banyak perempuan juga menjadi lebih sadar akan hak-hak hukum mereka dikarenakan pelatihan-pelatihan paralegal di pedesaan,” kata Stefan Koeberle, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia (worldbank.org, 20/09/2011).
Akar Masalah yang Menimpa Perempuan
Meski perempuan telah berdaya di berbagai bidang namun permasalahan perempuan tak kunjung reda. Justru semakin bertambah. Dari data Komnas Perempuan terjadi lonjakan kekerasan terhadap perempuan, yakni pada 2018 mencapai 406.178 kasus. Jumlah itu naik dibanding jumlah laporan pada 2017 yang mencapai 396.610 kasus (sindonews.com, 09/03/2019).
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kesetaraan gender tidak berpengaruh pada penurunan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
Ekonomi, kesulitan ekonomi telah membuat gelap mata para lelaki untuk menyakiti istrinya, ibunya atau adik perempuannya. Kesulitan memperoleh pekerjaan juga membuat kriminalitas meningkat. Perempuan tentu saja banyak menjadi korbannya. Selain lemah, perempuan juga lebih mudah ditipu. Industri hiburan juga banyak mengeksploitasi perempuan. Para pemodal mendulang keuntungan besar dari keindahan fisik perempuan.
Pornografi, kekerasan seksual yang dialami perempuan disebabkan maraknya pornografi dan pornoaksi. Bahkan tega melakukannya terhadap anggota keluarga mereka sendiri. Pornografi telah menjadi momok menakutkan bagi keselamatan perempuan.
Tanggung jawab laki-laki sebagai pelindung perempuan, saat ini laki-laki tidak dididik sebagaimana seharusnya laki-laki. Mereka tidak memahami bahwa laki-laki adalah pelindung perempuan. Mereka adalah pemimpin yang harus mengayomi perempuan.
Faktor-faktor ini tidak bisa dilepaskan dari sistem yang diterapkan sekarang. Kapitalisme telah membuat kesenjangan ekonomi semakin melebar. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin sengsara.
Sekitar 90% kekayaan hanya dimiliki oleh 1% orang. Lapangan pekerjaan tidak banyak karena uang diinvestasikan ke pasar modal. Liberalisme juga membuat manusia bebas melakukan apa saja termasuk dalam urusan pemenuhan naluri seksual. Penyimpangan seksual merebak tanpa bisa dibendung. Pornografi dan pornoaksi membuat hasrat seksual selalu menyala-nyala. Pemenuhannya harus segera meski dengan pemaksaan. Maka kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi dimana-mana.
Solusi Islam untuk Masalah Perempuan
Perempuan dalam Islam adalah mahluk yang mulia. Perempuan shalihah adalah sebaik-baik perhiasan di dunia. Dalam Islam tidak ada konsep kesetaraan gender. Islam menganggap semua manusia sama derajatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Ketakwaan yang membuat derajat seseorang berbeda. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”.
Laki-lak dan perempuan diberi hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan kodrat penciptaanya. Meski berbeda tetapi Islam menjamin tidak akan terjadi penindasan. Ketika Islam menentukan bahwa laki-laki menjadi pemimpin wanita maka tidak ada konsep tuan dan majikan, atasan dan bawahan. Justru laki-laki harus bertanggung jawab terhadap perempuan yang dipimpinnya. Laki-laki harus mengupayakan semua hal yang bisa menjaga perempuan. Baik sandang, pangan, papan dan keamanan.
Ketika perempuan menjadi yang dipimpin, bukan berarti ia menjadi manusia lemah. Perempuan boleh bekerja. Perempuan tetap wajib berdakwah. Perempuan bisa memilih dan mengoreksi penguasa. Semua itu boleh dilakukan dengan catatan tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ummu wa rabbatul bait. Islam tidak mengenal jargon kesetaraan gender. Karena memang tidak ada pendiskreditan perempuan dalam Islam. Satu-sataunya masalah adalah tidak diterapkannya Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Kesetaraan gender hanya ada dalam sistem kapitali sekuler yang liberal. Jargon ini muncul karena kegagalan Barat dalam menanggapi ketertindasan perempuan. Adapun tentang kekerasan seksual, maka Islam dapat meredamnya. Yaitu dengan menghilangkan faktor pemicunya. Ekonomi Islam akan menerapkan mekanisme yang membuat lapangan kerja terbuka. Sumber daya alam akan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dilarang menyerahkan kepada swasta, apalagi kepada asing.
Dalam Islam sesuatu yang mengumbar aurat adalah pornografi. Bagi perempuan jelas auratnya yaitu seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Maka jika tampak selain muka dan telapak tangan, termasuk kategori poronografi. Islam juga melarang pacaran yang menjadi pintu perzinahan serta kasus kekerasan seksual. Terkait dengan perlakuan laki-laki terhadap perempuan, Rasulullah Saw bersabda:
"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang memiliki akhlak mulia dan sebaik-baik kalian adalah mereka yang berperilaku baik terhadap perempuan-perempuan mereka” (H.R. Tirmidzi).
Demikianlah Islam menjaga perempuan dari ketertindasan. Penerapan syariat Islam yang kaffah dalam bingkai Khilafah akan menjamin kemuliaan perempuan. Wa'allahu a'lam bisshowab.
Penulis adalah pengamat sosail dan isu perempuan, tinggal di Gifu Jepang.
Ilustrasi : Google