View Full Version
Jum'at, 05 Apr 2019

Brunei dalam Sorotan Barat, Konsekuensi Upaya Pelaksanaan Syariat

Oleh : Dessy Fatmawati, S. T

 

Michelle Bachelet, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB memberikan penyataan kecaman pada Brunei, Senin (01/04), "Saya menyerukan kepada pemerintah untuk membatalkan penerapan hukum pidana baru yang kejam itu, yang akan menjadi langkah mundur serius bagi perlindungan HAM rakyat Brunei jika tetap diberlakukan."

Tak hanya Bachelet, lewat cuitan media sosial twitter para tokoh dunia ramai-ramai mengecam Brunei. Mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden  menulis, "Merajam orang sampai mati karena tindakan homoseksual atau perzinahan adalah mengerikan dan amoral. Tidak ada alasan—baik agama atau tradisi—atas kebencian dan tak berperikemanusiaan seperti ini."

Disusul Senator Ted Cruz selaku wakil Partai Republik dari Texas, "Ini salah. Ini barbar. Amerika harus mengecam hukum amoral dan tak berperikemanusiaan ini dan semua orang harus bersatu melawannya."

Tak ketinggalan Menteri Pembangunan Internasional Inggris, Penny Mordaunt merilis, "Tiada seorang pun harus menghadapi hukuman mati karena siapa yang mereka cintai. Keputusan Brunei barbar."

Rembetan protes juga berujung seruan boikot hotel milik Sultan Brunei, aktor George Clooney memberikan seruan, "Brunei adalah sebuah kerajaan dan tentunya boikot apa pun tak akan berpengaruh besar untuk mengubah peraturan ini. Tetapi apakah kita akan membantu mendanai pelanggaran HAM ini?"

Seruan ini juga didukung oleh penyanyi Elton John, "Saya mendukung teman saya, #GeorgeClooney, karena bersikap melawan diskriminasi anti-gay dan kefanatikan yang berlangsung di negara #Brunei - tempat kaum gay dibrutalisasi atau lebih buruk—dengan memboikot hotel milik sultan."

Dalam sekejap, Brunei menyentak dunia Barat dengan keputusan kontroversial. 3 Maret 2019, Brunei resmi memberlakukan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku LGBT dan perzinahan sesuai dengan sistem sanksi (uqubat). Gaungan protes orang-orang Barat digaungkan keras oleh media-media Barat yang sejak dulu tidak pernah absen berisik jika berkaitan dengan syariah Islam.

Rabun Dekat Peradaban Barat

Rabun dekat, istilah yang menggambarkan suatu keadaan dimana sangat mudah melihat sesuatu yang jauh namun buta akan sesuatu yang dekat. Sebagaimana peradaban Barat, jeli melihat kesalahan/keburukan Islam tanpa menyadari bahwa peradaban Barat sesungguhnya adalah pusat kerusakan. Berbicara mengenai LGBT, kemunculan dan pembiarannya tak lepas dari konstruk masyarakat yang dibentuk peradaban rusak kapitalis Barat. Materi adalah tujuan. Kebebasan adalah kebutuhan. Keegoisan adalah keniscayaan. Konsekuensinya homo homini lupus, manusia menjadi srigala bagi manusia yang lain.

Dan dunia sejak awal telah ‘berhasil’ memanen kerusakannya. AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981 pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Centre of  Disease Control and Prevention AS tahun 2010 menyatakan 2/3 infeksi baru HIV berasal dari gay. Jumlah gay di AS hanya 2% penduduk, namun menempati porsi 50% penderita HIV. Terdapat 1 dari 5 gay bahkan tidak peduli mereka terinfeksi, artinya tidak ada niat untuk mencegah penularan ke orang lain. Tahun 2013, screening terhadap pemuda usia 13 tahun ke atas menemukan fakta, 81% LSL terinveksi HIV dan 55% telah mengidap AIDS.

UNESCO tahun 2014 mendokumentasikan 95% kasus HIV baru di Asia Tenggara berasal dari LSL dan transgender. The Fenway Institute dalam tulisan Improving the Health Care LGBT People mengakui bahwa infeksi menular seksual termasuk HIV merupakan hal utama yang menjadi perhatian komunitas LGBT. Ini membuktikan bahwa kerusakan/penyakit mengerikan adalah konsekuensi logis penyimpangan seksual.

Dari sisi medis-psikologis, ilmuan Barat sendiri telah membuktikan bahwa LGBT bukanlah hal alami. Dr. Simon LeVay (1991) akhirnya mengakui, “Saya tidak mampu membuktikan bahwa homoseksual itu genetik, atau menemukan suatu alasan genetik untuk menjadi seorang gay. Saya tidak mampu menunjukkan bahwa para laki-laki gay terlahir dengan kondisi seperti itu, dan kesalahan umum orang-orang adalah mengintrepetasikan sendiri penelitian saya. Saya tidak bisa menemukan pusat kecenderungan gay dalam otak seseorang.”

Demikian juga tim peneliti dari National Cancer Institute yang dipimpin oleh Dean H. Hamer (1993) juga penelitian oleh tim psikiater dipimpin Alan Sanders (1998-1999) dari Universitas Chicago tidak menemukan hubungan medis-psikologis untuk membenarkan gay.

Kembali ke kasus Brunei, Sultan Hasanal Bolkiah menjawab tegas tudingan Barat atas pidana LGBT, “Kami mempraktikkan hak kami sebagai muslim, kenapa kalian perhatian ke kami? Sementara Anda (Barat) tutup mata saat orang Rohingya, Palestina, Syiria dibunuh? Saat anak Anda mati oleh senjata, aborsi dan AIDS?”

Komplikasi Penerapan Syariah

Over exposed yang ditunjukkan Barat dan kroninya terhadap syariah Islam merupakan bukti paranoid Barat terhadap kebangkitan Islam. International Association of Religion Journalist memberi garis tegas, “Jangan biarkan ruang sedikitpun pada kalangan garis keras! Silahkan meliputi mereka ketika mereka melanggar hukum.” Dan stigmatisasi keji benar-benar dijalankan. Sebagai contoh di AS pelaku terorisme yang terbukti muslim hanya 12,4% namun menempati porsi pemberitaan sebanyak 41,4%. Di Indonesia, media sekuler lebih menonjolkan data minor 76% masyarakat setuju bahwa hak waris laki-laki dan perempuan sama dan menyembunyikan data mayor survey PEW, 72% masyarakat setuju hukum syariah sebagai hukum negara.

Selain stigmatisasi, komplikasi penerapan syariah lain adalah lokalisasi. Dalam paper Governing Under Sharia 2013 lembaga think thank Council on Foreign Relation menyatakan bahwa Syariah bisa menjadi bagian dari ‘negara Islam modern’ melalui tiga cara, melalui 1) konstitusi nasional, 2)perundangan nasional, dan 3)perundangan daerah. Jelas bagaimanapun hukum syariat dibuat tetap menjadi subordinasi UU sekuler. Dual legal sytem ini menutup pintu penerapan syariat selain uqubat, pernikahan, waris dan perwalian saja.

Penerapan syariah yang parsial tidak hanya mandul dalam menyelesaikan akar masalah namun juga memberikan amunisi tanpa henti bagi Barat dan musuh-musuh Islam untuk menudingkan jari terus-menerus pada ketidakmampuan Islam menyelesaikan berbagai masalah. Desain ini nampak tidak hanya pada Brunei, namun juga di Aceh, Indonesia dan Moro, Filipina. Penerapan sistem sanksi di Brunei tidak dibarengi dengan penerapan syariah di bidang lain, contohnya ekonomi. Salah satu ancaman yang diserukan Barat adalah memboikot bisnis hotel mewah milik Brunei di berbagai belahan dunia. Meski kekuatan ekonomi Brunei juga terletak di ekspor migas, tak bisa dipungkiri ini hanya masalah waktu sebelum Barat mampu menekan Brunei dari sisi ekonomi. 

Langkah Brunei dalam semangat penerapan syariah Islam, patut mendapat apresiasi kaum muslimin di seluruh dunia. Namun harus dicatat, penting untuk tidak terjebak dalam narasi Barat baik stigmatisasi atau lokalisasi. Upaya pengaburan identitas dan penjinakan kaum muslimin – mejadi moderat, pragmatis, meyakini demokrasi sebagai jalan perjuangan Islam yang ideal – harus terus-menerus diwaspadai. Perjuangan kaum muslimin yang ideal adalah apa yang sesuai dengan Rasulullah SAW contohkan, baik dari sisi metode, bentuk negara dan pemerintahan yang mampu menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Ialah khilafah, sistem yang berhasil diwariskan selama belasan abad.

Dari penerapan syariah Islam yang menyeluruh inilah nampak solusi nyata bagi manusia, rahmat bagi alam semesta. Khilafah melindungi darah, harta dan kehormatan kaum muslimin tanpa kecuali. Penerapan syariah Islam dalam bingkai khilafah sekaligus membungkam propaganda busuk Barat atas syariah Islam dan memutus penjajahan mereka atas dunia.

“Mereka ingin memedamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci” (QS. Ash Shaf :61:8). Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version