View Full Version
Selasa, 09 Apr 2019

Investasi Asing, Menggadaikan Kedaulatan

PASCA debat capres ke empat, ramai dibahas pro kontra tentang kedaulatan Indonesia. Dalam sebuah program acara salah satu televisi swasta, mantan Menko Ekuin periode 1999-2000 dan Kepala Bapenas periode 2001-2004, Kwik Kian Gie memberikan pernyataan bahwa Indonesia sudah tidak memiliki kedaulatan. Dengan memaparkan fakta yang beliau dapati, berikutnya disampaikan bahwa Indonesia sudah lama tidak berdaulat dan telah lama pula didikte oleh Asing. Ironisnya, terkait keberadaan investor asing di Indonesia, masih ada pejabat mengklaim jika menghadirkan investasi asing merupakan kebutuhan dan tidak akan berpengaruh dengan kedaulatan negara.

Investasi Asing = Pintu Penguasaan Asing

Apa itu investasi? Investasi bukan sekedar pinjaman tanpa syarat. Orientasi investasi adalah profit. Oleh karenanya, investor tidak akan menanamkan investasinya jika suatu usaha tidak menjanjikan keuntungan di masa mendatang. Investor juga tidak akan berinvestasi, jika tidak ada kepastian untuk mendapat keuntungan. Maka dari itu, biasanya seorang investor akan senantiasa memastikan perolehan keuntungan pada dirinya dengan memberikan syarat-syarat yang mengikat. Investor juga pasti akan membidik obyek-obyek vital yang menjadi hajat hidup orang banyak agar memperoleh keuntungan besar karena obyek tersebut dibutuhkan oleh banyak orang.

Kita ambil contoh investasi Cina di Indonesia. Pinjaman (investasi asing) yang diberikan Cina, diikat dengan berbagai syarat seperti adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina. Mengutip riset yang diterbitkan oleh Rand Corporation, China’s Foreign Aid and Government Sponsored Investment Activities, disebutkan bahwa utang yang diberikan oleh Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina.

Selain harus membayar bunga yang relatif tinggi, juga disyaratkan agar BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek tersebut yang dibiayai oleh utang dari Cina harus bekerjasama dengan BUMN negara itu. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (Engineering, Procurement, Construction [EPC]).

Untuk itu, sekecil apapun investasi asing yang ditanamkan bisa dipastikan sudah ada pendiktean melalui nota kesepahaman yang diajukan. Sebagaimana watak kapitalistik yang rakus, investor asing tidak akan pernah cukup dengan sedikit profit. Paparan Kwik Kian Gie tentang kronologis munculnya UU PMA terakhir merupakan bukti nyata akan hal tersebut. Keserakahan kapitalis mendapat angin segar di Indonesia hingga pemerintah banyak merevisi UU dan Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk menarik investor asing. (https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-4295381/tarik-investasi-lebih-banyak-pemerintah-revisi-dni).

Berikutnya, salah besar jika menganggap perusahaan asing tersebut bekerja sendiri tanpa perlindungan dari pemerintahannya. Mereka yang menamkan investasinya di sebuah negara adalah korporasi-korporasi multinasional yang mendapat jalan masuk ke negara lain dari negara asalnya. Kasus Exxon mobile ataupun Freeport menunjukkan realitas yang justru semakin menguatkan keberadaan negara (baca: AS) dibalik perusahaan asing itu. Ketika eksistensi perusahaaan asing milik mereka terancam di sebuah negara dan perusahaan dihadapkan pada jalan buntu perundingan, maka negara mereka akan ambil kendali guna "menyelesaikan".

Sehingga terlalu naif, manakala cara pandang terhadap investor asing itu hanya sebatas perusahaan dan perkara teknis. Sebaliknya, hal ini menjadi perkara serius menyangkut ancaman kedaulatan sebuah negara. Apalagi bila investasi itu dalam hal pengelolaan SDA, migas dan barang-barang penting lainnya menurut kacamata UU. Lebih parah lagi, manakala investor

Apabila ditelusur, cengkeraman asing Barat jauh lebih dulu dari asing Timur. Sejak awal Orde Baru (OrBa), Barat terutama AS diikuti oleh Eropa telah mencengkeram negeri ini dan mengeruk kekayaannya. Caranya melalui investasi korporasi-korporasi multinasional mereka, khususnya di sektor hulu pengelolaan SDA seperti tambang, migas, hutan, dsb. Selain itu, negeri ini juga tengah dikendalikan melalui utang luar negeri yang terus menggunung. Awalnya melalui CGI dan IGGI. Saat kedua lembagai itu dibubarkan, perannya digantikan oleh IMF dan Bank Dunia. Hasil dari penjajahan gaya baru di era OrBa itu, pengelolaan berbagai SDA khususnya di sektor hulu dikuasai asing. Hasil kekayaan alam itu pun mengalir deras kepada pihak asing dan hanya menetes kepada penduduk negeri ini.

Cengkeraman dan dominasi asing itu makin dalam sejak masuk era Reformasi. Hampir semua sistem di negeri ini dibentuk sesuai pesanan, permintaan atau bahkan perintah asing melalui IMF dan Bank Dunia. Melaui Letter of Intent (LoI), IMF mendekte negeri ini untuk membuat berbagai Undang-undang di bidang politik, sosial, pertahanan dan keamanan, pendidikan, ekonomi, finansial, dan sebagainya. Bahkan untuk mengawal semua itu, asing terlibat pada tataran teknis melalui utang, program, bantuan dan asistensi teknis. Hasilnya, sistem di negeri ini betul-betul bercorak neoliberal. Neoliberalisme itu pada akhirnya makin melapangkan jalan bagi penjajahan gaya baru (neoimperialisme) atas negeri ini.

Khusus di bidang ekonomi, negeri ini didekte untuk membuat berbagai UU bercorak neoliberal. Subsidi dihilangkan. BUMN dijual. Utang terus ditumpuk. Pajak terus ditingkatkan. Di sektor migas dan pengelolaan SDA, dengan berbagai UU, sektor hilir (pengolahan SDA, distribusi, dan eceran) pun diliberalisasi. Contoh nyata adalah di sektor migas. Di bidang investasi, semua sektor dibuka untuk investasi asing. Kepemilikan asing dibolehkan hingga lebih dari 90 persen. Asing pun boleh melakukan repatriasi, yaitu langsung mengirimkan kembali keuntungan yang mereka dapat di ngeri ini ke negara asal mereka.

 

Membangun Negara Berdaulat

Negara berdaulat tidak sekedar diartikan memiliki kewenangan tertinggi dalam hal wilayah geografis, kependudukan dan pemerintahan. Melainkan juga tidak bergantung pada kekuatan atau negara lain. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Negara_berdaulat).

Realitas investasi asing hari ini secara nyata menjadikan Indonesia bergantung kepada negara lain alias tidak berdaulat. Bahkan dengan melihat skema pembayaran utang yang dimiliki Indonesia saat ini, diperkirakan Indonesia tidak akan pernah terbebas dari jebakan utang sampai kapanpun. Ini berdampak pada semakin beratnya beban yang harus ditanggung masyarakat, karena penyelesaian utang dan bunganya semakin menyerap alokasi dana APBN. Kondisi produktivitas investasi masyarakat juga akan berkurang dengan diadakannya berbagai pungutan pajak yang baru sebagai akibat upaya pemerintah mencari alternatif tambahan pemasukan negara. Celakanya, hari ini Indonesia hanya memiliki dua alternatif pemasukan utama yaitu dari berbagai jenis ragam pungutan pajak dan dari pembiayaan utang baik dari dalam ataupun luar negeri.

Berikutnya, tekanan asing melalui lembaga-lembaga internasional -karena Indonesia tergabung di dalamnya- menetapkan arah ekonomi Indoneisa bercorak neolib. Dalam kebijakan fiskal APBN Indonesia, pengelolaan sumber daya alam dilakukan bersama-sama oleh swasta dalam contract production sharing. 

Melalui IIF (Indonesia Investment Forum), 9 Oktober 2018 di Bali, dihasilkan kesepakatan-kesepakatan baru antara negara pengutang (Indonesia) dengan para kreditur dan investor asingnya. Antara lain skema meninggalkan pembiayaan infrastuktur yang mereka sebut konvensional ketika negara berposisi sebagai pihak pembangun infrastruktur.

Skema selanjutnya yang akan banyak dilakukan adalah negara berpartner dengan investor (korporasi) untuk membangun infrastuktur. Salah satu evaluasi yang direkomendasikan oleh para investor dalam forum tersebut, adalah penetapan tarif ke publik (baca: harga jual) adalah terlalu rendah. Sehingga bisa dipastikan sarana infrastruktur nantinya adalah produk-produk berbiaya tinggi. Ujung-ujungnya tidak semua lapisan masyarakat Indoesia mampu menikmatinya.

Untuk itu, agar bisa terlepas dari ketergantungan asing, Indonesia harus keluar dari sistem kapitalistik global. Secara mendasar, kebijakan-kebijakan Indonesia mustinya tidak lagi berbasis pada kesepakatan internasional. Sehingga tidak mudah ditekan dan didikte. Sebagai negeri muslim terbesar, Indonesia dapat mengulang sejarah kegemilangan perekonomian Islam dengan menerapkan Syari'at Islam secara holistik melalui institusi Khilafah. Prinsip dasar Khilafah dalam bekerjasama dengan negara lain adalah tidak memberikan jalan masuk bagi asing untuk menguasai kaum muslimin dan bertujuan semata-mata demi kemashlahatan warga negara Khilafah. Khilafah -yang dikenal independen-, menjalankan roda perekonomian mandiri sesuai Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam.

Dengan pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah, maka akan diperoleh pemasukan rutin yang sangat besar dalam APBN negara yang berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Abdul Qadim Zallum dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah mengemukakan, bahwa kebutuhan dana negara yang sangat besar juga dapat ditutup dengan penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, gas alam maupun barang-barang tambang lainnya. Tentu hanya bisa terlaksana, jika elit politiknya berkemauan kuat untuk mengelola sumberdaya alam secara mandiri (tidak bermental terjajah). Dan bukan malah menyerahkannya kepada negara lain. Wallahu a'lam bish-shawab


latestnews

View Full Version