Oleh
Karnali Faisal, Kolumnis
DULU waktu kuli jadi tukang survei produk atau jasa ke rumah-rumah warga, aturan mainnya dimulai dari rumah Ketua RT, dari situ bergeser ke dua rumah berikutnya.
Jika tidak ada, ke rumah di sebelahnya, bergeser lagi ke dua rumah berikutnya sampai mendapat sampling yang ditargetkan antara 40 sampai 80 rumah setiap RT.
Dalam lembar survei, ada banyak pertanyaan yang diajukan, mulai dari data diri, pekerjaan, penghasilan, pengeluaran tiap bulan. Jika survei tentang produk elektronik, ditanyakan merek dan alasan penggunaannya.
Jika survei tentang siaran televisi, ditanyakan stasiun televisi yang paling sering ditonton, acara, maupun jam nongkrong di depan TV.
Data-data itu dikumpulkan dan disetor ke supervisor survei untuk kemudian diolah lagi. Itu metodologi yang baku. Relatif tidak menarik.
Yang menarik itu justeru target wilayah yang disurvei. Menarik, karena bisa menunjukan karakteristik wilayah. Misalnya produk solar cell, wilayah Kelapa Gading dengan target populasi 300 orang. Produk lotion anti nyamuk, Tanjung Priok, populasi sekian ratus orang. Dst.
Kalau dikaitkan dengan quick count Pemilu, yang ingin diketahui itu sebenarnya bukan cuma metodologi, tapi area sampling. Karena kalau ini dibuka, nanti bisa dikaji juga histori pemilu daerah tersebut terhadap kecenderungan calon yang didukung. Area sampling akan menjadi data mentah yang bisa menghasilkan banyak kesimpulan.
Sayangnya sampai saat ini tidak jelas wilayah mana aja sampling itu diambil. Atau mungkin target sampling termasuk dalam kode etik survei/riset yang tidak bisa dibuka ke publik.
Alhasil, kita hanya menerima hasil akhir capres A sekian persen, capres B sekian persen. Ini yang bikin emak-emak kompak bikin gerakan matikan tv.**