Oleh: Yunita Sari, S.Pd
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mewacanakan akan mengundang guru dari luar negeri untuk menjadi tenaga pengajar di Indonesia. “Kami ajak guru dari luar negeri untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia,” ujar Puan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas, di Hotel Shangri-La, Jakarta pusat, Kamis, 9/5/2019 lalu (tirto.id,12/05/2019).
Banyak pihak yang menyayangkan wacana ini. Dilansir dari Republika.co.id,12/05/19, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim mengkritik rencana mengundang guru dari luar negeri guna mengajar di Indonesia. Dia menilai wacana impor guru sebagai hal yang kurang tepat terlebih di tengah hebohnya polemik guru honorer.
Senada, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia(FSGI) Satriawan Salim menyampaikan bahwa kondisi Indonesia tidak kekurangan guru. Menurutnya jika Impor guru benar-benar terealisasi, artinya pemerintah putus asa dalam memperdayakan guru dalam negeri.
Pun demikian, Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara Hengky Primana mengatakan wacana ini merupakan bentuk tidak adanya perhatian pemerintah kepada guru di Indonesia. Seharusnya pemerintah lebih mengembangkan potensi anak negeri agar menjadi berkualitas, papar Hengky kepada Metropekanbaru.com, Senin (13/5/2019).
Import, Tak Menyelesaikan Masalah
Ironis memang ketika salah satu tujuan pemerintah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi, pemerintah tidak menjadikan para guru bebas dari beban-beban persoalannya. Mereka tidak hanya menghadapi beratnya tantangan peserta didik jaman now yang tidak mudah. Namun, juga harus berjibaku menghadapi sulitnya ekonomi karena minimnya honor.
Jika kita melihat dari gaji sang guru honorer dan susahnya penjadi PNS, membuat sang guru honorer berfikir keras agar dapur keluarga tetap ngepul. Mereka harus membagi waktu menjadi guru sambil mencari pekerjaan tambahan. Terlebih untuk mereka yang sudah memiliki istri dan anak.
Jelas jika demikian maka berat bagi guru honorer ini dalam waktu yang bersamaan harus membagi tenaga dan fikiran antara mengajar dan bekerja paru waktu di tempat lain.
Maka, tak heran jika masih banyak anak sekolah yang berbuat kriminal, seks bebas, menjadi korban kemajuan teknologi, dan sebagainya. Itu semua tentu tak lepas dari faktor guru yang kehilangan fokus dalam tugas utamanya sebagai pengajar.
Bisa dibayangkan jika pendidikan masih menghadapi problem guru, maka kualitas pendidikanlah taruhannya. Dan kualitas pendidikan ini hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional,Padahal, tak ada yang menghendaki generasi ini rusak. Oleh karena itu, persoalan ini harus segera dituntaskan.
Islam Mengatasi Problem Guru
Dalam Islam, problem yang dialami guru akan teratasi sebab guru memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah SWT. Guru adalah sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah SWT, yang dengan ilmunya itu menjadikan perantara manusia lain untuk memperoleh serta menuju kebaikan dunia dan akhirat. Selain itu, guru tidak hanya mendidik muridnya agar cerdas secara akademik saja tapi juga secara spiritual yakni kepribadian islam.
Sejarah telah membuktikan bahwa guru dalam naungan Khilafah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari Negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Tercatat, di masa kekhalifahan Umar Bin Khattab, seorang guru diberi gaji 15 dinar per bulan (1 dinar=4,25 gr emas;15 dinar=63,75 gr emas;bila sekarang ini 1 gr emas Rp.500.000, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp.31.875.000). Belum lagi untuk seorang guru atau ulama yang berhasil menyusun kitab ajarannya. Ia dihargai dengan emas seberat buku yang diterbitkannya.
Tidak hanya mendapatkan gaji yang besar, Negara dalam naungan khilafah juga menyediakan sarana dan prasarana secara gratis nan mudah dalam menunjang kualitas dan profesionalitas guru dalam menjalankan tugas mulianya.
Hal ini tentu akan membuat guru lebih fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang berkualitas yang dibutuhkan Negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.
Sayangnya, kesejahteraan guru seperti di atas tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Karena hanya sistem Islam dalam naungan kekhilafahanlah kesejahteraan itu akan tercapai. Wallahu A’lam Bissawab. (rf/voa-islam.com)
Penulis adalah Pemerhati Sosial Andoolo, Sulawesi Tenggara.
Ilustrasi: Google