Oleh:
Mila Ummu Tsabita
Pegiat Komunitas Muslimah Lit-Taghyir
PERSIDANGAN sengketa Pilpres 2019 pada hari Rabu (19/6) pagi hingga dini hari Kamis, menghadirkan salah satu saksi dari kubu 02, seorang pemuda bernama Hairul Anas Suadi. Yang mengejutkan dia menyebutkan bahwa dalam pelatihan tim kampanye koalisi Joko Widodo (Jokowi) –Ma’ruf Amin (TKN) pada 20-21 Januari di Kelapa Gading, ada materi berjudul “Kecurangan Bagian dari Demokrasi”. Anas adalah salah satu caleg dari PBB, partai yang bukan kebetulan mendukung paslon 01. Sedangkan dia mendukung paslon 02 dan menjadi relawan tim IT BPN.
Pihak partai (PBB) yang menaunginya geram dengan sikap Anas. “Saya menyesalkan mental pecundang, saya menduga ini tidak lebih dari menjual program robot ke BPN dengan embel-embel moralitas ingin pemilu yang jurdil,” kata Ketua Bidang Pemenangan Presiden PBB, Sukmo Harsono (Eramuslim.com, 20/6).
Karena seorang saksi disumpah atas nama Allah di persidangan, maka kecil kemungkinan dia berani berbohong. Lalu apa yang Hairul Anas katakan terkait kecurangan ini, menjadi bukti sistem Demokrasi sudah sangat maklum dengan masalah tersebut? Alias kecurangan sudah satu paket di dalam sistem Demokrasi?
Sistem Demokrasi dan peluang curang
Berbuat salah seperti melakukan kecurangan bisa saja terjadi pada individu manapun. Dalam sistem apapun. Namun di alam Demokrasi -yang lahir dari dasar ideologi Sekuler- kecurangan sangat dimaklumi. Karena ketika agama dipinggirkan hanya pada masalah privat maka dalam berpolitik yang terjadi adalah politik machiavelis alias menghalalkan segala cara. Bisa saja yang haram dilakukan agar bisa meraih tujuan, termasuk berbuat curang.
Menyambung apa yang diutarakan saksi 02 terkait kecurangan adalah bagian dari Demokrasi, kita bisa flash back pra dan pas pemilu (17/4) kemaren. Begitu banyak yang terendus sebagai upaya curang. Mulai dari penggunaan fasilitas negara dan mobilisasi aparat oleh petahana, temuan suarat suara telah tercoblos di Malaysia, politik uang bahkan ada pencoblosan surat suara dilakukan oknum petugas KPPS –yang tidak netral.
Atas banyaknya dugaan kecurangan itu, banyak pihak -salah satunya Komando Gabungan Relawan Demokrasi Pancasila (Komando Garda Depan), Lieus Sungkharisma- pernah mendesak agar dilakukan audit forensik terhadap KPU dan dibentuk Tim Pencari Fakta untuk menemukan kebenaran material tentang dugaan tersebut. (kabartoday.co.id, 28/4). Namun sampai sidang sengketa di Mahkamah Konstitusi digelar tak juga kunjung dilakukan. Ini semakin membuat kecurigaan terhadap KPU sebagai panitia Pemilu Serentak 2019 semakin kencang bertiup.
“Terlalu mahal ongkos yang harus kita bayar jika ternyata Pilpres kali ini dikotori oleh ambisi pribadi dan kepentingan sekelompok orang,” kata Lieus. Seperti diketahui total anggaran yang dialokasikan untuk pemilu serentak 2019 itu lebih dari 25 T. Tentu saja sangat disayangkan uang sebanyak itu dihamburkan, apalagi jika (betul dugaan) yang terpilih adalah yang culas.
Kalau saja pihak KPU yakin mereka benar, harusnya berani untuk diaudit. Tapi yang dikhawatirkan banyak pengamat -terutama yang tidak menjadi relawan atau pendukung 01- bahwa seluruh pihak yang terkait telah disetting agar apapun yang terjadi petahana tetap menang. Makin kuat kecurigaan, ketika melihat suasana sidang MK yang digelar secara live. Bagaimana para saksi 02 yang dicecar pertanyaan dari pihak termohon maupun hakim MK, seolah-oleh mereka adalah para tersangka. “Saksi rasa tersangka” kata netizen. Tapi berbeda ketika menyikapi saksi dari kubu petahana.
Belum lagi bicara resiko berat yang bisa diterima saksi tersebut. Pakar hukum tata negara, Refly Harun menceritakan ketika mengawal sebuah kasus kecurangan, “ Saya pernah mengajukan saksi pada waktu pilkada di sebuah daerah. Yang diajukan saksi adalah pegawai honorer Pamong Praja. Dia menceritakan mengenai pengerahan massa, briefing kepada Pamong Praja untuk memenangkan calon tertentu,” kata Refly. “ Tapi setelah bersaksi , keluar dari ruang sidang, langsung dipecat dia. Padahal dia pegawai honorer.” (suara.com, 20/6). Bahkan resiko lebih berat lagi bisa saja terjadi. Mungkin masih ingat ketika saksi Hermansyah, seorang ahli IT, yang pernah dibacok pada Juli 2017. Ketika ditanya salah satu anggota tim hukum Prabowo-Sandi, terkait sebab penyerangan. “ Seperti ini, saya ingin bersaksi di suatu persidangan,” jawab Hermansyah (detik.com, 19/6).
Sungguh rumit untuk membuktikan kecurangan yang TSM (terstruktur, sistematis dan masif) itu, ketika model persidangan yang penuh dengan keterbatasan. Apalagi jika tidak semua yang hadir “menginginkan” kebenaran itu terungkap, sehingga ada upaya pembungkaman, ngeles, dsb-nya. Inilah beratnya berhadapan dengan petahana yang masih aktif berkuasa! Seluruh perangkat masih dalam wilayah kekuasaannya.
Nasrudin Joha, pengamat politik Islam ideologis, ikut menyorot soal narasi kecurangan adalah bagian dari Demokrasi. Menurutnya pernyataan itu jujur, faktual, juga berkesesuaian dengan hakekat dan substansi Demokrasi. Dia menyoroti kecurangan sistem mulai dari aspek filosofis hingga praktis. Bagaimana klaim kedaulatan di tangan rakyat, suara rakyat suara Tuhan, tapi faktanya itu hoax. Karena di tangan kapital (pemilik modal) –lah sebenarnya kedaulatan. Suara kapital adalah suara Tuhan. Peran kapital sangat besar, mulai menentukan calon pemimpin, siapa yang dipilih menjadi pemimpin, dan atas dasar kepentingan apa dia jadi pemimpin.
Jadi wajar menurut Joha, dalam sistem pemilu Demokrasi memustahilkan seorang yang jujur dan amanah untuk maju menjadi calon, jika tidak punya modal (kapital). Karena uang sangat penting untuk “membeli” elektabilitas untuk pencitraan. Atau sampai “ merampok” nya dengan membeli kertas suara. (media oposisi.com, 21/6). Dan kalo dia jujur dan amanah pasti tak mau kongkalingkong untuk curang dalam kontestasi dan jika menang pasti takkan mengkhianati amanah yang sudah diserahkan rakyat padanya. Sekali lagi, fakta di lapangan selalu berkata lain.
Jangan berharap bahwa Demokrasi akan “ramah” kepada seorang calon pemimpin yang Islami dan bertakwa. Selalu ada rasa “curiga” yang tersembunyi kepada kesholehan orang tersebut, meskipun dia menang mutlak. Kasus almarhum Muhammad Mursi, Presiden terpilih dalam pemilu demokratis pertama di Mesir (Juni 2012), bisa ditunjuk sebagai bukti! Betul-betul kejujuran dan kesholehan akan dianggap “pecundang” bagi sistem buatan manusia ini.
Sungguh utopis berharap perubahan jika masih bertahan di alam Demokrasi. Kecurangan demi kecurangan begitu telanjang dan dimaklumi. Tak layak dipertahankan. Un-install Demokrasi-Kapitalis, ganti dengan Islam. Karena Allah Swt yang Maha Sempurna telah menyediakan sistem terbaik bagi umat manusia, yaitu sistem politik Islam (Khilafah). Sebuah sistem yang sangat manusiawi, tapi dengan aturan yang sangat lengkap. Sehingga mampu mencegah setiap celah yang memungkinkan terjadi kerusakan dan kriminalitas, termasuk kecurangan. Baik oleh masyarakat biasa atau pun para penguasa. Dengan mekanisme yang sangat mudah dan tak seribet saat ini.
Rasul Saw pernah bersabda : “ Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan kepemimpinan atas orang lain, lalu ia mati dalam keadaan berbuat curang terhadap orang-orang yang dipimpinnya melainkan Allah akan mengharamkan atasnya surga.” (Muttafaq alaih).
Sekecil apapun kecurangan tetap harus diadili dan diselesaikan. Tak harus menunggu terbukti TSM. Karena hakikatnya dia bagaikan nila setitik yang akan merusak air susu sebelanga. Begitu banyak yang khawatir jika kecurangan ini akhirnya dimentahkan di MK, kepercayaan publik pada Demokrasi akan runtuh.
Sedangkan dalam Islam, masalah seperti itu tak boleh dibiarkan. Maka hakim (peradilan) diperintahkan untuk berbuat adil atas siapapun yang berkasus. Firman Allah Swt : “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”(TQS. An-Nisaa : 58).
Demikian juga bagi para saksi, dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan” (TQS. An Nisa : 135).
Sungguh kesadaran akan ada pengadilan di akhirat, di hadapan Sang Penguasa Alam semesta harusnya membuat mereka -para aparat dan hakim yang “berniat” tidak berlaku adil- takut berbuat curang dan tidak menegakkan keadilan di dunia. Karena semua perbuatan akan dihisab di Yaumul Akhir. Sungguh pengadilan Allah tak akan ada yang bisa ngeles, dan buktinya valid. Setiap orang akan membawa bukti catatan amalnya masing-masing. Maka sudah seharusnya hukum Islam saja yang ditegakkan agar kecurangan dan kedzaliman ini bisa diakhiri. Tak menambah panjang deret para pejuang kebenaran yang malah terjungkal jadi “pecundang”.**