Oleh: Hasrianti*
Baru-baru ini Presiden Joko widodo kembali mengeluarkan statement perihal maskapai asing yang akan beroperasi di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan harapan kehadiran maskapai asing mampu mengatasi melonjaknya harga tiket dijalur domestic, terlebih di momen lebaran lalu.
Mahalnya tiket secara langsung akan berdampak pada kestabilan ekonomi negara seperti yang terjadi pada beberapa bandara yang penumpanganya menurun drastis. Berdasarkan data BPS melansir data terbaru penumpang pesawat pada bulan april sebanyak 5,7 juta orang. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan banyaknya penumpang pesawat turun menjadi 6,26% dibanding bulan sebelumnya (10/6/2019).
Bisnis penerbangan di Indonesia saat ini dikuasai oleh dua perusahan besar yakni Garuda dan Lion, diantara dua maskapai ini terjadi persaingan. Hal tersebut disinyalir menjadi penyebab naiknya harga tiket. Kebijakan ini tentu mengundang kontoversi dari berbagai pihak. Salah satu dampak yang ditimbulkan ketika memberi izin maskapai asing beroperasi yakni kerugian pasar lokal, ketimpangan pasar, rupiah melemah,dan memberikan ruang bagi asing untuk menjarah keuntungan besar.
Polemik Transportasi Domestik
Pengamat penerbangan sekaligus mantan KSAU, Chappy Hakim menyebutkan, mengundang maskapai asing bukan solusi tepat. Bahkan dapat mengganggu kepentingan nasional terutama di sektor perhubungan udara (liputan6.com, 15/6/2019).
Kebijakan Kementerian Perhubungan yang menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat pun tampaknya tak banyak memberikan perubahan signifikan pada biaya angkut si burung besi ini (tirto.id, 20/6/2019)
Ketidakaturan transportasi domestik di Indonesia khususnya penerbangan berawal dari kesalahan dasar dimana sistem aturan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan paradigma dasar. Kesemrawutan transportasi tidak bisa diselesaikan dengan mengambil jalan pintas mengundang maskapai asing.
Keterlibatan maskapai asing dalam penerbangan domestik sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Namun, sebelumnya rute yang diambil hanyalah rute penerbangan luar negeri. Kisruh transportasi penerbangan Indonesia tiada henti-hentinya menuai komentar baik dari kalangan elit politik maupun masyarakat pada umumnya.
Seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dalam memberikan fasilitas pelayanan publik yang tidak memberatkan. Melihat fakta yang terjadi pembangunan yang berasaskan ekonomi kapitalistik akan menghasilkan kerusakan, berbagai kebijakan yang ada perlu dipertanyakan apakah menguntungkan rakyat atau para korporasi?
Sistem pemerintahan kapitalisme biang masalah menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan polemik negara. Bahkan solusi yang ditawarkan merugikan rakyat. Kapitalisme bagaikan gurita rakus yang seluruh tentakelnya terus membelit Indonesia dan menghisap dengan segala bentuk eksploitasi.
Ketika rakyat mengeluh menanggapi kasus mahalnya tiket pesawat. Menteri perhubungan dan Presiden saling lempar tanggung jawab. Menteri BUMN pun angkat tangan merasa tidak mempunyai wewenang atas masalah tersebut. Polemik penerbangan Indonesia bak lingkaran setan yang tak berujung (www.tirto.id.com 206/2019). Bisa dilihat bagaimana sikap pemerintah yang acuh, lalu siapakah sebenarnya yang harus bertanggungjawab ?
Hal Ini menjadi bukti beragam kebijakan yang dilakukan pemerintah belum memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat, terkhsusus pada penuruan harga tiket.
Islam Mengatur Transportasi
Islam adalah agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hari ini di era modern kapitalisme telah menjadi petaka bagi kehidupan manusia.
Kondisi ini berbanding terbalik dan jauh berbeda dengan cara Islam mensejahterakan rakyat. Dalam Islam menjadi seorang pemimpin memiliki tanggungjawab yang sangat besar, tak hanya dari sudut pandang duniawi tetapi juga akhirat kelak dan harus mempunyai kapabilitas untuk memimpin.
Pelayanan publik khususnya transportasi umum dan infrastruktur lainnya akan dipenuhi tanpa dipungut biaya. Hal ini pernah diterapkan di masa kekhalifahan Umar bin al-khatab. Beliau sangat khawatir apabila ada seekor keledai yang terperosok di kota Bagdad akibat jalan yang rusak.
Beberapa pencapaian besar mampu diraih seperti perluasan wilayah Islam, penataan struktur pemerintahan, pembangunan infrastruktur, dan baitul mal. Masa kemuduran pun tugas pemerintah tidak berlepas diri begitu saja. Hal ini terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Utsmani pada tahun 1900, khalifah berhasil mengembangkan alat tranportasi kereta api yang menjadi kendaraan jamaah haji.
Paradigma Islam dalam mengurus dan melindungi umat sudah menjadi hal yang mutlak. Islam juga memiliki prinsip dalam pembangunan.
Pertama, pembangunan infrastruktur termasuk penerbangan menjadi tanggungjawab penuh negara, tidak boleh diserahkan ke pihak swasta.
Kedua, sebelum melakukan pembangunan terlebih dahulu dilihat wilayah yang cocok dan strategis. Seperti yang ada di kota Baghdad sebagai ibukota kekhilafahan, setiap bagian pembangunan dalam kota diproyeksikan hanya untuk jumlah penduduk tertentu. Misalnya pembangunan sekolah, masjid, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, pemakaman, hingga permandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Semua tertata dengan baik tanpa ada saling menganggu antara satu area bangunan dengan yang lainnya.
Sistem Islam mewujudkan pembangunan yang mampu mensejahterakan rakyat secara merata melalui penerapan sistem ekonomi islam. Hal ini juga secara otomatis akan mencegah terjadinya praktek bisnis layanan publik yang merugikan rakyat. Pembangunan infrastruktur juga tidak boleh dijadikan lahan bisnis. Negara tetap konsisten mengurusi rakyat, tak lupa pula penerapan hukum-hukum Allah s.w.t yang lain wajib ditegakan.
Hal inilah yang menjadi kunci keberhasilan Islam dalam mengurusi umat selama kurun waktu 1400 tahun yang lalu. Namun, pada dasarnya semua pencapaian Islam pada masa khilafah tidaklah mungkin bisa diterapkan dalam sistem kapitalisme neoliberal kecuali dengan perubahan secara total kepada sistem Islam. Wallahualam bishowab. (ef/voa-islam.com)
*Penulis adalah Mahasiswi P.Kimia UHO
Ilustrasi: Google