View Full Version
Rabu, 10 Jul 2019

Ketika Pendidikan Terpasung Hutang

 

Oleh:

Ifa Mufida

Pemerhati Kebijakan Publik

 

KEBERHASILAN pendidikan sebuah negeri sangat dipengaruhi oleh arah pandang negeri tersebut. Maka arah pandang ini akan menentukan kurikulum sekaligus sumber pembiayaan dalam proses pendidikan. Negeri yang sadar akan pentingnya pendidikan sebagai ujung tombak membangun kualitas generasi akan benar-benar menfokuskan diri di dalamnya. Namun faktanya saat ini negara justru meminimalisir tanggung jawabnya di sektor ini. Dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang justru menyerahkan kepada asing dan membuka celah intervensi atas arah pendidikan Islam.

Kucuran dana pinjaman senilai Rp 3,7 triliun yang diberikan oleh Bank Dunia untuk mendongkrak kualitas madrasah swasta dan negeri disambut baik Kementerian Agama (Kemenag). Kerja sama dijalin guna merealisasikan pembangunan madrasah negeri dan swasta secara merata. Pengamat Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah mengaku tidak setuju membangun madrasah dengan meminjam uang ke Bank Dunia. Sebab, masih ada dana lain yang bisa digali dan dimanfaatkan. Dikutip dari republika.co.id, (26/6).

Sepantasnya kekhawatiran Pengamat Pendidikan bisa membuka mata berbagai pihak. Sebab dalam demokrasi, hutang telah berperan penting dalam mekanisme ekonomi kapitalis.  Dalam konsep kapitalisme, hutang sebagai modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Apalagi ada unsur riba di sana.  Yang paling mengkhawatirkan, hutang melalui bank dunia akan menjadi alat kapitalisme global sehingga mereka akan terus melakukan tekanan. Tekanan seperti apa? Agar negara berkembang mau mengikuti setiap arahan mereka, termasuk dalam bidang pendidikan.

No free Lunch! Harusnya pemerintah memperhatikan dan berfikir ulang ketika mau mengambil hutang luar negeri. Karena hutang bisa menjadi alat ekspansi yang memuluskan  negara kapitalis untuk menjajah negeri miskin dan berkembang. Bukan rahasia lagi jika sumber daya alam negeri ini telah dikuasai oleh asing, bahkan anak negeri ini harus mau menelan pil pahit ketika dipaksa menjadi pelayan di negerinya sendiri. Dengan hutang pula, membuat negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat hutang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu. Selain itu, hutang luar negeri pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis barat terhadap negara-negara lain, yang kebanyakan merupakan negeri-negeri muslim.

Pembangunan pendidikan yang tegak atas hutang akan menghadirkan banyak permasalahan yang baru. Terlebih, arah pendidikan kita nampaknya kurang terlalu fokus terhadap pembentukan kepribadian anak. Hal ini yang mungkin menjadi salah satu pertimbangan sebagian orang tua lebih memilih lembaga yang menonjolkan sisi keislaman meski mereka harus mengeluarkan kocek yang lebih besar. Namun, madrasah Islam atau pesantren Islam justru dilabeli sebagai lembaga pencetak radikalisme. Narasi miring justru dimunculkan pada sekolah yang memberikan pendidikan Islam secara kental dan totalitas.

Banyak yang menganggap bahwa akhir-akhir ini pendidikan Islam di negeri ini banyak dipengaruhi pemahaman keagamaan dari luar negeri. Dan pemahaman keagamaan ini justru diidentikkan dengan adanya faham radikalisme.  Bahkan, Kementrian Agama semakin gencar mempromosikan modernisasi beragama yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstremisme tersebut. Kalau saat ini RUU Pesantren terus digodog untuk disahkan, maka kucuran hutang dari luar negeri nampaknya diarahkan bisa membantu untuk memuluskan deradikalisasi yang dianggap berbahaya oleh kepitalisme global.

Dalam pandangan Islam, pendidikan ditempatkan sebagai kebutuhan pokok dan asasi manusia serta merupakan hak setiap warga negara. Dimana negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan akses pendidikan secara gratis untuk semua kalangan. Pembiayaan dan upaya meningkatkan mutu pendidikan Islam bukan dengan hutang, melainkan dari harta kepemilikan umum dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). Harta baitul maal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran pendidikan dari utang luar negeri dapat dihindari.

Sepanjang sejarah, terbukti negara Islam sangat memperhatikan agar rakyatnya cerdas. Anak-anak dari semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar yang terjangkau semua orang. Negaralah membayar para gurunya. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan Khalifah Al-Hakam II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus anak-anak miskin.

Di Kairo, Al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah anak yatim. Dia juga menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup serta satu stel baju untuk muslim dingan dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.

Seribu tahun yang lalu, unversitas paling hebat di dunia ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar negara Islam hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibukota China atau di Nalanda, India. Sementa di Eropa Barat dan Amerika belum ada perguruan tinggi.

Demikianlah, ketika Islam diterapkan secara totalitas di dalam bingkai negara, maka benar-benar bisa membangun negaranya secara mandiri, termasuk dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan yang baik harus didukung dengan sistem pembiayaan yang memadai. Sebab sistem pendidikan Islam tidak bisa berdiri sendiri, namun sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi politik sebuah negara. Dalam sistem kapitalisme-sekuler, nampak jelas bagaimana  pendidikan kita justru terpasung dalam hutang ribawi. Maka masihkah kita ragu untuk mengembalikan kejayaan umat dengan mengembalikannya kepada pangkuan Islam? Wallahu A'lam bi shawab.


latestnews

View Full Version