View Full Version
Senin, 15 Jul 2019

Pengantin Pesanan Buah Lazim Kapitalisme

LEMBAGA Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut sebanyak 29 WNI menjadi korban pengantin pesanan di China. Data tersebut diperoleh berdasarkan pengaduan korban sepanjang 2016-2019. Dimana 13 diantaranya berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat sementara 16 sisanya berasal dari Jawa Barat. Dan sejauh ini, baru tiga korban yang berhasil dipulangkan ke Indonesia.

Di kantor LBH Jakarta pada 23/6 lalu, Bobi Anwar Ma'arif selaku Sekjen  SBMI menyebut bahwa korban dijanjikan akan menikah dengan orang kaya asal China dan iming-iming dijamin seluruh kebutuhan hidup korban beserta keluarganya. Namun sesampainya disana, mereka justru dipekerjakan dengan durasi waktu yang lama.

Bobi juga mengatakan bahwa pengantin pesanan merupakan modus dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sebab, ada proses yang mengarah ke perdagangan yang terencana. (detikNews 23/6)

Masalah human trafficking (perdagangan manusia) merupakan masalah multidimensional yang masih laten terjadi di tanah air. Berdasarkan laporan International Organization for Migration (IOM), jumlah korban human trafficking di Indonesia antara tahun 2005 - 2017 sudah mencapai 8876 orang. Dari jumlah tersebut, korban perempuan tetap menduduki peringkat paling besar yang mengalami perdagangan manusia. Sementara korban anak anak dibawah umur mencapai 15%.

Sungguh miris, nasib perempuan di jaman sekarang tak ubahnya seperti jaman jahiliah. Ketika dulu kehadiran mereka dianggap aib hingga tak segan untuk dibunuh atau dijadikan pemuas kaum pria, sekarang pun yang demikian itu justru dilakukan secara terorganisir. Bahkan sampai melintasi batas-batas negara (transnasional).

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Yusdiyanto, kejahatan human trafficking bisa terjadi karena beragam persoalan sosial yang melatarbelakangi. Diantaranya adalah korban tidak mengetahui bahaya human trafficking dan cara yang  dipakai guna menjebak korban, faktor ekonomi alias kemiskinan, serta lemahnya pengawasan pemerintah serta oknum aparat dalam mengidentifikasi munculnya human trafficking.

Sayangnya meski faktor-faktor tersebut telah teridentifikasi, persoalan Tindak Perdagangan Orang (TPO) tak jua menemui solusi hakiki. Bahkan terus menjadi momok dan bahaya yang mengancam dari waktu ke waktu. Terlebih saat ini kapitalisme masih saja dijadikan sebagai penentu arah kebijakan dan aturan hidup. Dimana menurut pandangan ini, keuntungan materi selalu dijadikan tolak ukur suatu perbuatan tanpa peduli nilai halal-haram. Sehingga, jangan heran jika transaksi jual beli orang dianggap tak jauh beda dengan jual beli ayam.

Disamping itu, penerapan kapitalisme dalam skala yang lebih besar (red: negara) juga turut berkontribusi dalam menjerumuskan rakyat ke jurang kemiskinan lantaran kekayaan hanya berputar di kalangan elite kapital. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang mudah sekali tergiur dengan iming-iming materi tanpa memikirkan resiko jalan pintas ini.

Disamping itu, kapitalisme juga menyebabkan minim nya peran negara dalam memberikan jaminan atas kebutuhan hidup rakyatnya. Sehingga tawaran dari sindikat perdagangan manusia dinilai cukup untuk menuntaskan masalah finansial korban sekaligus keluarga yang ditinggalkan di tanah air.

Terkuaknya kasus kejahatan yang menimpa perempuan semacam ini, pada akhirnya memunculkan geliat kaum feminis untuk mengusung kembali kesetaraan gender sebagai solusi yang mumpuni. Mengapa? Karena minimnya keterlibatan perempuan dalam ranah publik menjadikan mereka kolot hingga mudah ditipu/diperalat dalam segala hal. Termasuk dijadikan target perdagangan.

Padahal, solusi tersebut tak lebih dari kedok busuk yang justru menghinakan martabat perempuan. Menghipnotis pikiran mereka dengan omong kosong hingga sukarela menyerahkan diri sebagai objek dan komoditas yang patut dihargai dengan materi. Pada akhirnya, terampaslah fitrah perempuan sebagai sosok yang agung dalam peranannya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga.

Menilik pada  bagaimana  kompleks nya  permasalahan ini, tentu membuat solusi tersebut diatas tidaklah layak untuk diambil karena sifatnya yang cacat dan pragmatis. Rakyat butuh solusi komprehensif yang melibatkan tiga lapisan yang saling berkaitan.

Pertama, memaksimalkan fungsi masing-masing komponen keluarga dalam hal pengawasan dan pendidikan. Baik pendidikan berupa edukasi akan ragam kejahatan yang patut diwaspadai maupun pendidikan agama dengan menguatkan pola pikir yang berasaskan akidah Islam.

Kedua, kontrol dari masyarakat dalam mengindra kemungkinan adanya sindikat yang dinilai mencurigakan. Peran ini tidak boleh diabaikan karena sikap saling peduli yang terwujud melalui 'amar makruf nahi munkar' benar benar efektif dalam menyelamatkan masyarakat dari bahaya besar.

Ketiga adalah campur tangan negara dalam memberikan jaminan rasa aman dengan memperketat pengawasan oleh oknum aparat. Termasuk juga menindak tegas seluruh pihak yang terlibat baik dari dalam negeri maupun luar negeri agar menimbulkan efek jera. Oleh karena itu, negara harus memiliki power yang disegani dan ditakuti dalam skala internasional.

Aspek lain yang tak boleh diabaikan oleh negara dalam menangani masalah human trafficking adalah jaminan atas terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup rakyat. Yang dengan ini, rakyat tidak akan terjebak oleh lilitan ekonomi yang mencekik, yang memaksa mereka  harus menceburkan diri menjadi korban eksploitasi demi kebutuhan hidup.

Hanya saja, peran besar ini tidak akan terwujud kecuali jika negara berani membuang kapitalisme dan mengadopsi sistem Islam untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Baik pendidikan, ekonomi, sosial maupun politik.*

Maya A

Tinggal di Gresik, Jawa Timur


latestnews

View Full Version