View Full Version
Senin, 15 Jul 2019

Film "Dua Garis Biru", Promosi Seks Bebas atau Seks Edukasi?

 

Oleh:

Ifa Mufida

Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial

 

"Dua Garis Biru" saat ini menjadi film bioskop yang sedang ramai dibicarakan. Pasalnya, film ini sempat menuai protes dari beberapa pihak pasca dirilisnya teaser trailer 1 bulan yang lalu sebegai bentuk promosi. Salah satunya adalah petisi yang digagas Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (GaraGaraGuru) agar film bergenre romansa remaja yang masih dalam tahap editing ini dikritisi ulang sebelum diloloskan sensor. Menurut mereka, ditinjau dari beberapa adegan, ada pesan implisit yang ingin diberikan kepada penonton dan dinilai bisa merusak generasi muda. Seperti penggambaran sepasang remaja berduaan di dalam kamar.

Namun, ternyata film ini tetap lolos sensor dan telah ditayangkan serentak di seluruh bioskop di Indonesia sejak tanggal 11 Juli lalu. Menurut Produser Chand Parwez bahwa film ini mendapat respon positif dari masyarakat. Terbukti seluruh tiket untuk penayangan perdana di semua kota di jawa habis dalam waktu singkat dan ada beberapa kota yang bahkan ditambahkan jadwal penayangannya dan masih tetap habis terjual tiketnya.

Beberapa pihak melihat bahwa film ini bermuatan seks edukasi. BKKBN misalnya, telah mengadakan acara nonton bersama dengan John Hopkins Center for Communication Program (JHCCP) dan Forum Genre Indonesia (FGI) bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya remaja terkait kesehatan reproduksi, penyiapan kehidupan berumah tangga dan penyiapan kehidupan bermasyarakat akan pentingnya kualitas SDM. Dari sisi BKKBN, film ini dianggap jadi media untuk menyebarkan kesadaran tentang perilaku berisiko remaja yang menjadikannya rentan mengalami pernikahan di usia dini, kehamilan tidak diinginkan dan terinfeksi penyakit menular seksual sehingga aborsi yang tidak aman (detikNews.com).

Saya cukup tercengang ketika mengetahui bahwa film ini dianggap sebagai sarana untuk edukasi seks. Pasalnya, edukasi seks yang telah dilakukan di lembaga pendidikan saat ini nyata tidak memberikan efek yang berarti untuk mencegah peningkatan seks bebas di kalangan remaja. Bahkan, secara nyata hari demi hari seks bebas semakin merebak di kalangan remaja kita, dengan segunung problematika ikutan akibat seks bebas ini semakin mengkhawatirkan. Jika dicerna lebih lanjut,  edukasi seks yang ada selama ini justru memunculkan solusi-solusi pragmatis yang dianggap legal oleh remaja.

Misalnya berkenaan dengan pencegahan penyakit menular seksual yang merupakan salah satu materi yang diberikan pada seks edukasi maka dipromosikan dengan slogan ABCD. Slogan ini bila dijabarkan mengandung pesan bahwa jika remaja ingin selamat dari infeksi menular seksual salah satunya AIDS maka remaja solusinya adalah A (abtinensia) yakni tidak melakukan hubungan seksual. Jika tidak bisa solusi A maka bisa dicoba solusi B (be faithful) yakni setia pada satu pasangan. Jika tidak bisa B maka solusi adalah C (condom) bermakna jika tidak bisa setia maka bisa menggunakan kondom. Intinya boleh melakukan seks dengan siapa pun, dengan beberapa pasangan sekaligus, baik pasangan sejenis atau tidak sejenis asal menggunakan C tadi.

Dari sedikit contoh ini saja, bisa dibayangkan akan terbentuk adanya pemahaman bahwa melakukan seks itu adalah tidak masalah asal menggunakan pengaman C. Nyata, sejak digelontorkan program seks edukasi, bukannya menekan prevalensi seks bebas di kalangan remaja, tetapi justru semakin merebak seks bebas hingga saat ini kita bisa melihat sampai pada batas yang sangat mengkhawatirkan, bahkan bisa saya katakan dalam kondisi titik kritis. Lalu, pertanyaannya, apakah bisa keberhasilan program edukasi seks akan didongkrak dengan ajakan menonton film "dua garis biru" ini?

Jika kita mau berfikir  lebih mendalam  tentang film garis biru ini, maka jelas  tergambar bahwa film ini memberi pesan kepada penonton bahwa berpacaran boleh saja asal tidak sampai kebablasan. Kemudian, misal sudah kebablasan dan si cewek hamil maka tidak menjadi masalah asal si laki-laki mau bertanggung jawab. Maka ditonjolkan bagaimana atas nama cinta seolah kondisi apapun tidak menyurutkan kesetiaan dua sejoli. Hingga kemudian  hamil di luar nikah tidak lagi menjadi hal yang tabu karena seks bebas adalah sebuah kewajaran dilakukan oleh muda mudi yang pacaran.  

Nampak nyata bahwa dalam film ini, sudut pandang agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi sebuah perbuatan. Terlebih Indonesia adalah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam seolah dituntun untuk tidak lagi menggunakan Islam sebagai syariat yang mengatur tata kehidupan dan digiring untuk mau menerima pandangan dari kebanyakan masyarakat. Jika masyarakat tidak menganggap hal tabu atau asusila maka boleh-boleh saja berpacaran, seks aman, hamil di luar nikah, dst.

Padahal, dalam pandangan Islam, perbuatan berpacaran dan hubungan seks adalah perzinaan yang merupakan salah satu dosa besar dan Islam memiliki sanksi keras bagi para pelakunya. Dalam Al-Qur'an surat An Nur (24) ayat 2 disebutkan bahwa: " Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman."

Oleh karena itu, sangat disayangkan film semacam ini diijinkan tayang dibioskop oleh Lembaga Sensor Indonesia padahal menuai pro kontra di tengah masyarakat. Lebih ironis lagi,  film yang secara implisit mengandung seruan untuk menghalalkan pacaran justru mendapatkan apresiasi dari lembaga pemerintah dan terus dipromosikan agar semakin banyak remaja yang menonton karena film ini dianggap mengandung unsur pendidikan seks.

Beginilah wajah masyarakat dan negara yang tegak atas sekulerisme. Maka tata aturan (syariat) Allah tidak pernah dijadikan pijakan. Di dalam Islam, pendidikan seks atau seks edukasi merupakan pendidikan yang terintegrasi dalam pelaksanaan syariat Islam mulai dari rumah, masyarakat dan negara. Dari rumah, seluruh anggota terikat syariat Islam untuk menutup aurat pada batas-batas yang diperbolehkan mahrom memandang. Ada syariat pengaturan tempat tidur anak-anak yang harus dipisahkan sejak usia 7 tahun. Sejak kecil, anak-anak dididik sesuai dengan jenis kelaminnya dan fitrahnya. Fitrah seorang anak perempuan berbeda dengan fitrah anak laki-laki maka stimulasi dalam pendidikan juga berbeda. Anak-anak juga diajarkan bagaimana menutup aurat, bagaimana menundukkan pandangan, diajari untuk meminta izin di waktu-waktu yang sudah ditentukan syariat ketika masuk di area pribadi orang tua.

Di dalam masyarakat, kontrol terhadap perbuatan yang melanggar syariat Islam adalah sesuatu yang wajib diwujudkan. Kontrol masyarakat ini dalam bentuk ketidakrelaan ketika melihat dua sejoli berduaan, tidak memperbolehkan adalah ikhtilath (campur baur), mengajak orang sekitar untuk senantiasa menutup aurat. Masyarakat dalam Islam, akan senantiasa mendorong untuk saling beramar ma'ruf  nahi mungkar sehingga segala amal perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam akan bisa dicegah untuk tidak terjadi, salah satu contoh adalah penolakan terhadap penayangan film yang mengandung pornografi pornoaksi.

Sedang negara adalah pelindung paripurna yang akan melarang setiap media yang mempertontonkan hal yang melanggar syariat Islam termasuk pornografi pornoaksi yang ditonjolkan dalam hiburan film. Media sosial akan dioptimalkan untuk sarana edukasi ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Negara juga yang akan memberlakukan sistem pendidikan yang membentuk masyarakat berkepribadian Islam unggul secara kualitas.

Negara juga akan memberlakukan hudud bagi para pelaku zina, sehingga tata aturan ini akan memberikan efek jera, penghapusan dosa, sekaligus pendidikan bagi masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan dosa serupa. Tata pergaulan juga dijaga oleh negara dengan pengaturan tidak adanya khalwat dan ikhtilath. Negara juga akan mencegah adanya pandangan dan program yang merusak sebagaimana seks edukasi ala kapitalisme-sekuler yang memang berasal dari program global sejak adanya konferensi ICPD 1994.

Demikianlah, seks edukasi dalam Islam yang sejatinya diberikan dalam lingkup kecil hingga lingkup negara. Seks edukasi juga dikenalkan sejak manusia dalam kandungan hingga pendidikan awal di dalam rumah-rumah keluarga muslim. Maka, sudah sepantasnya kita meninggalkan tata kehidupan yang sekuler ini yang nyata kerusakannya dan mengambil Islam sebagai tata aturan yang akan menyelamatkan kita di dunia dan akhirat, insya Allah.Wallahu a'lam bi shawab.*


latestnews

View Full Version