Oleh: Ragil Rahayu, SE
Kementerian Agama (Kenenag) mengajukan pinjaman pada Bank Dunia senilai US$250 juta (Rp3,5triliun). Dinyatakan bahwa dana ini untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah melalui proyek Realizing Education's Promise. Melalui proyek ini pemerintah akan membangun sistem perencanaan dan penganggaran elektronik berskala nasional untuk mendorong belanja yang lebih efisien.
Saat ini Indonesia memiliki setidaknya 48 ribu madrasah dengan jumlah siswa mencapai 8 juta. Untuk memajukan madrasah, dibutuhkan bantuan dari pemerintah. Namun bantuan yang diperoleh dari pinjaman justru akan mendatangkan bahaya. Berikut bahaya pinjaman untuk madrasah :
1. Utang Indonesia akan makin besar. Saat ini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp5.400triliun. Jika ditambah lagi dengan pinjaman Kemenag ke Bank Dunia, utang luar negeri Indonesia akan makin besar. Akibatnya, beban yang ditanggung rakyat untuk membayar utang plus bunganya juga makin berat.
2. Dosa riba. Utang kepada World Bank bisa dipastikan mengandung bunga (riba). Padahal di madrasah, siswa diajarkan untuk taat pada perintah Allah subhanahuwata'ala. Termasuk menjalankan isi Alqur'an surah Al Baqarah ayat 285 tentang keharaman riba. Lalu bagaimana mungkin siswa disuruh taat sementara penguasa justru memberi contoh menggunakan dana ribawi.
3. Jebakan utang. Kwik Kian Gie dalam tulisannya yang berjudul "Para Perusak Ekonomi Negara-negara Mangsa" menyampaikan bahwa John Pilger, Joseph Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya menyatakan bahwa utanglah yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia. John Perkins dalam Buku "The Confessions of an Economic Hitman" menyatakan bahwa dirinya sebagai perusak ekonomi Indonesia ditugaskan untuk membangkrutkan negara yang menerima utang agar selamanya tercengkeram oleh krediturnya. Sehingga negara pengutang (Indonesia) menjadi target yang empuk.
4. Adanya persyaratan dalam pemberian utang agar Indonesia menjalankan kemauan World Bank terkait arah pendidikan di madrasah. Jika IMF sudah terbukti meliberalkan ekonomi Indonesia ketika memberi utang di masa krisis moneter 1998, bukan tak mungkin World Bank akan meliberalkan madrasah Indonesia. Padahal anak yang disekolahkan di madrasah ditujukan agar memiliki aqidah nan lurus, bertaqwa dan berakhlaq mulia. Jika diliberalkan maka tujuan pendidikan madrasah tak akan tercapai dan justru bisa muncul generasi Islam nan liberal. Naudzubillahi mindzalik.
Solusi untuk Memajukan Madrasah
Pendidikan adalah hak dasar warga negara. Pemerintah wajib untuk memenuhinya. Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dulu menjadikan tebusan bagi tawanan perang adalah mengajar penduduk Madinah tentang baca dan tulis. Artinya rakyat Madinah mendapat pendidikan secara gratis, namun berkualitas. Negara harus berfungsi sebagai raa'in (pengurus) dan mas'ul (penanggung jawab) atas pemenuhan kebutuhan pendidikan. Negara tak boleh abai, apalagi menyerahkan urusan pendidikan pada asing. Karena Allah subhanahu wata'ala telah melarang kaum muslim dikuasai oleh orang kafir sebagaimana dalam surah An Nisa' : 41.
Lantas darimana mendapat dana untuk memajukan madrasah? Ada yang mengusulkan dari dana haji. Namun hal ini tidak tepat, karena aqad dana haji adalah untuk keperluan jamaah haji semisal pembangunan hotel atau asrama haji. Ada juga usulan agar diambilkan dari zakat karena potensi zakat di Indonesia sangat besar. Namun Allah subhanahuwata'ala telah membatasi mustahiq zakat hanya delapan golongan saja sebagaimana dalam Alquran surah At Taubah ayat 60 yakni : [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. Maka dana zakat tidak bisa dipakai untuk program memajukan madrasah.
Satu teladan yang bisa kita ikuti dari ijma' sahabat adalah ketika Umar bin Khatab radhiyallahu anhu menggunakan kharaj sebagai hasil bumi nan subur di Iraq untuk memenuhi kemaslahatan umat, termasuk urusan pendidikan. Indonesia yang subur dan sekaligus kaya akan bahan tambang bisa membiayai madrasah dari hasil pengelolaan alamnya. Syaratnya, berbagai kekayaan alam yang terkategori milik umum harus dikelola negara, tidak diserahkan ke asing.
Sumber pembiayaan lain adalah wakaf, saat ini wakaf identik dengan masjid. Padahal di masa khilafah Abbasiyah wakaf bisa berupa gedung untuk pendidikan, laboratorium, asrama dan lain-lain. Namun wakaf ini harus dikelola negara dan dipastikan tidak ada dana yang bocor karena dikorupsi. Memang sudah seharusnya negara memajukan pendidikan dengan daya kekuatan sendiri, tak boleh bergantung pada asing.
Sebagaimana peribahasa "tak ada makan siang gratis" yang bisa diartikan "tak ada utang tanpa tendensi". Lebih baik bersikap hati-hati dan waspada terhadap utang dari pihak asing, daripada menggadaikan masa depan Indonesia. Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)
*) Wali murid dan pengasuh MT Al Bayyinah Sidoarjo
Ilustrasi: Google