View Full Version
Kamis, 18 Jul 2019

Jangan Setengah-setengah Mengambil Solusi Impor Sampah

 

Oleh:

Ari Sofiyanti

Almunus Biologi Universitas Airlangga

 

SIAPAPUN yang hatinya masih berupa hati manusia pasti merasa miris mendengar berita ditemukannya satwa penyu dalam kondisi mati mengenaskan di kawasan pantai wisata Congot, Kecamatan Temon, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta bulan desember 2018 yang lalu. Para pemancing yang menemukan penyu ini mendapati sampah plastik terburai dari perut penyu yang berada pada sisi bawah. 

Kabar kematian mengenaskan lainnya adalah paus jenis Sperm wale yang terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) pada bulan november 2018. Dalam perut paus sepanjang 9,6 meter itu ditemukan sampah plastik dalam jumlah cukup besar yakni sekitar 5,9 kg.

Berdasarkan fakta ini, sampah yang mencemari bumi ini menjadi dampak serius bagi lingkungan dan kehidupan satwa. Ecoton pernah menyoroti dampak sampah popok sekali pakai yang mengandung senyawa kimia Super Absorbent Polymer (SAP).  SAP akan berubah bentuk menjadi gel saat terkena air. Apabila terurai dalam air, zat kimia ini dapat berbahaya bagi lingkungan. Senyawa ini dapat menyebabkan perubahan hormon pada ikan yang dapat  menyebabkan kemandulan ikan jantan.

"Tahun 2013, peneliti Perancis dan Universitas Brawijaya menemukan 20% ikan di hilir  Sungai Brantas itu mengalami intersex atau satu tubuh ada dua kelamin,” ujarnya.  

Tidak cukup berhenti pada biota air saja, pencemaran air karena sampah ini pasti juga berdampak pada kehidupan manusia sebagai makhluk yang menempati tropik rantai makanan tertinggi dalam satu kesatuan ekosistem.

Benar, indonesia telah menjadi darurat sampah. Meski demikian, prinsip kapitalis masih tetap berjaya di negeri ini. Buktinya, terdapat praktik impor sampah oleh industri kertas yang dilegalkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya.

Industri kertas memenuhi sebagian kebutuhan bahan baku berupa sampah kertas (waste paper) dengan impor. Negara maju pengimpor pun untung karena bebas dari sampah dan industri kertas pun mendapat bayaran karena mau menjadi tempat pembuangan sampah. Namun sebenarnya ini bukanlah keuntungan bagi Indonesia. Impor sampah kertas telah menjadi jalan penyelundupan sampah-sampah bukan kertas seperti plastik dan logam, bahkan popok bayi. Sampah bukan kertas yang diselundupkan di antara sampah kertas ini bisa mencapai 30-40% dan sebagian saja yang didaur ulang, sisanya malah menambah volume sampah Indonesia.

“Ketika tidak bisa didaur ulang, residunya itu enggak bisa diapa-apakan. Kemudian dibuang aja ke pinggir-pinggir sungai, tanah kosong, mengalirlah ke laut. Jadi sampah di laut, di sungai. Kemudian ada juga yang dibakar,” kata Manager Pengkampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung.

Seharusnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan bahan baku ini tanpa impor sampah jika pengelolaan sampah diurus serius oleh pemerintah.

Menurut penelitian Sustainable Waste Indonesia pada 2017, Indonesia menghasilkan 6,5 juta ton sampah per hari, dengan 14% di antaranya adalah plastik dan 9% kertas (585.000 ton). Hanya saja, sampah-sampah tersebut tak terkelola dengan baik. Sebesar 69% masuk Tempat Pembuangan Akhir tanpa dikelola dengan benar, 24% tak terkelola sama sekali, dan hanya 7% sampah yang didaur ulang.

Selama ini solusi permasalahan ini terus dicari, padahal solusi ini dekat sekali. Sebagai negara dengan mayoritas muslim, Indonesia harus memandang segala problem dengan kaca mata islam, termasuk juga bagaimana pemecahan masalah sampah. Tentu saja bila Islam diterapkan secara keseluruhannya. Bukan hanya ranah individu, tapi juga masyarakat dan negara di dalam sebuah kerangka besar Khilafah Islam, model negara terbaik yang pernah dimiliki kaum muslimin dan dicontohkan oleh para sahabat Nabi saw.

Dalam Islam, pengelolaan sampah dibingkai dalam tiga kerangka besar. Pertama, individual. Dalam kerangka individual, Islam mendorong kesadaran individu terhadap kebersihan hingga pada level yang prinsipil yakni keimanan terhadap surga dan neraka. Sehingga tiap individu bergerak secara mandiri dengan  pola hidup yang meminimalisasi sampah, pemilahan sampah, dan pengelolaan sampah rumah tangga. Sebagaimana yang tertuang dalam hadis Rasulullah SAW: ‘Islam itu bersih, maka jadilah kalian orang yang bersih. Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang yang bersih.” (HR. Baihaqi).

Kedua, komunal.  Baginda Rasulullah SAW bersabda,  “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. Tirmidzi). Dengan adanya hadis ini mengajarkan ta’awun (tolong menolong) dalam pengelolaan sampah secara komunal. Selain itu kontrol sosial dibangun dalam suasana keimanan  masyarakat agar saling mengingatkan akan kebersihan dan mencegah orang-orang berbuat kerusakan lingkungan.

 Ketiga, Pemerintah. Sejarah Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9 – 10 M. Pada masa Bani Umyyah, jalan-jalan di Kota Cordoba bersih dari sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Raszi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi. Tokok-tokoh ini telah mengubah sistem pengelolaan sampah yang awalnya diserahkan kepada masing-masing orang, karena di perkotaan padat penduduk telah berpotensi menciptakan kota yang kumuh (Lutfi Sarif hidayat, 2011).

Sebagai perbandingan, kota-kota lain di Eropa pada saat itu belum memiliki sistem pengelolaan sampah. Sampah-sampah dapur dibuang penduduk di depan-depan rumah mereka hingga jalan-jalan kotor dan berbau busuk (Mustofa As-Sibo’i, 2011).

Di sisi lain, harus ada kedaulatan dan kemandirian negara di mata internasional. Pengelolaan harta milik negara dan milik umum tidak sewajarnya diserahkan kepada asing, agar dapat dimanfaatkan untuk menopang industri skala kecil, menengah ataupun industri besar. Industri kertas pun tidak perlu khawatir kekurangan bahan baku karena paper scrap telah dipilah dengan baik sehingga tidak memerlukan sampah kertas impor. Apalagi bahan baku berupa kayu karena berbagai macam kayu di indonesia bisa dijadikan sebagai bahan baku kertas seperti bambu, akasia, atau kayu lainnya yang dapat menjadi alternatif. Kekayaan hutan indonesia harusnya dikelola sesuai kemanfaatan rakyat umum.

Selain itu sistem sanksi harus tegas diterapkan oleh negara bagi siapapun yang berbuat kerusakan, termasuk merusak lingkungan dengan buang sampah sembarangan. Tidak boleh ada diskriminasi antara rakyat biasa, pelaku industri, maupun negara lain. Semuanya harus dilakukan secara adil dalam perspektif hukum islam. Insya Allah dengan islam semua problem ini bisa diatasi dan impor sampah tidak lagi menjadi pilihan yang merendahkan bangsa ini. Justru, Islam akan memajukan dan menjadikan negeri kita berwibawa, bukan lagi negeri jujukan sampah.Wallahu a'lam.*


latestnews

View Full Version