Oleh:
Ainul Mizan*
IDENTITAS sebagai muslim terlihat semakin menguat di tengah kaum muslimin di Indonesia. Fragmen brutal pelecehan terhadap Islam dan ajarannya, justru menjadi bara yang membakar ke-Islaman. Umat Islam berkumpul dalam satu ikatan aqidah. Segala halang dan rintang takluk oleh langkah – langkah perkasa umat.
Mereka lupa bahwa umat ini tidak mati. Mereka ingin bermain – main dengan umat Islam. Dulu di tahun 1918 M, 20 ribu umat Islam pernah bergerak di bawah komando HOS Cokroaminoto untuk memprotes Koran Djawi Hisworo yang menurunkan artikel penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW. Apakah sekarang umat Islam ‘segarang’ masa lalu?
Di tahun 2016, Ahok dengan pongahnya melakukan penghinaan terhadap ayat ke-51 surat al Maidah. Melihat hal itu, umat Islam bergerak bagai air bah memenuhi Jakarta. Mereka menuntut Ahok diadili. Diskusi – diskusi yang mengerucut kepada keharusan membela al Qur’an memenuhi ruang dengar umat. Tugu Monas menjadi saksi akan momen bersatunya umat dalam satu tujuan dan satu landasan. Setelah momen itu, Ahok harus terjungkal dari kursi gubernur DKI Jakarta.
Pertemuan akbar tersebut menjadi ajang reuni tahunan umat Islam Indonesia. Bukan sekadar reuni. Akan tetapi momen akbar tersebut telah menjadi monumen dan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Ruh persatuan hakiki berlandaskan akidah telah merontokkan sentimen – sentimen primordialisme. Beragamnya suku bangsa dan adat istiadat tidak menghalangi persatuan umat.
Kurang puas dengan gejala yang terlihat, isu pengalihan menuju lambang – lambang teroris segera dijalankan. Pembakaran bendera tauhid di Garut menjadi pengokoh persatuan umat. Dengan semboyan “Satu dibakar, Sejuta berkibar” telah menjadi nyata. Niat hati ingin menjauhkan umat Islam dari Bendera Tauhid-nya, justru umat Islam semakin rindu akan benderanya. Saat ini umat Islam tidak canggung lagi untuk membawa Bendera Tauhid, minimal mereka memilikinya walau hanya disimpan di lemari. Bendera Tauhid sudah kembali kepada pemiliknya, yakni Umat Islam. Tinggal satu langkah lagi umat Islam kembali kepada al – Khilafah.
“Jangan Suriahkan Indonesia”, menjadi istilah viral seketika. Narasi yang ingin dibangun adalah ketika umat Islam kembali kepada al Khilafah, tentunya akan melahirkan konflik kebangsaan. Perang saudara akan bisa muncul di Indonesia. Masyarakat berpecah belah.
Demi memperkuat alibinya, skenario memperkusi ulama dilakukan dengan membabi buta. Yang terbaru, Ustadz Hanan Attaki, Lc, harus legowo untuk batal mengisi kajian. Begitu pula sebelumnya, Ustadz Felix Siauw yang berusaha digagalkan acara tabligh akbarnya, baik yang di Balai Kota Jakarta ataupun yang di Lamongan.
Pendek kata, agama dipandang sebagai pemicu konflik antar suku dan bangsa. Nilai Bhinneka Tunggal ika diyakini lebih cocok bagi Indonesia yang beragam.
Kalau kita menilik sejarah perlawanan terhadap penjajahan di Indonesia, tentunya akan didapat kesimpulan jujur bahwa aqidah Islam menjadi sumber energi yang tiada habisnya. Teriakan takbir mampu menggelorakan semangat jihad melawan penjajahan Belanda, Portugis, dan Inggris. Adalah pengakuan jujur tatkala di dalam pembukaan UUD 1945 di alinea kedua disebutkan dengan redaksi : “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …
Ketika disodorkan demikian, mereka berkelit dengan mengemukakan bahwa betul hanya dengan Islam, umat ini bisa Berjaya. Akan tetapi bukan Islam Timur Tengah, yang tepat adalah energi Islam Nusantara yang menjadikan negeri ini bebas dari belenggu penjajahan. Walhasil, berkah Islam Nusantara ini dilembagakan menjadi Islam Nusantara dengan terminology yang direduksi dari ajaran – ajaran Islam yang dianggap mengandung kekerasan.
Sesungguhnya konflik dan berbagai tindak kekerasan dalam sejarah kehidupan manusia bukan disebabkan ketika umat Islam berpegang teguh dengan agamanya. Di jaman jahiliyah dulu, dunia Arab diliputi konflik dan perang saudara antar kabilah satu dengan yang lainnya. Perang al Basus yang terjadi antara Bani Bakr dengan Bani Taghlib, dikarenakan sentimen wibawa kabilah. Begitu pula terjadi perang Buats antara Suku Aus dan Khazraj. Padahal keduanya masih dalam satu garis keturunan.
Ketika Islam datang, sentimen sektarian primordialisme dihapuskan, digantikan dengan landasan Aqidah Islamiyyah. Dengan tegas Rasulullah SAW menyatakan:
ليس منا من دعا الى عصبية وليس منا من قاتل على عصبية
Bukanlah termasuk golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ashobiyyah, dan bukanlah golongan kami, siapa saja yang berperang atas dasar ashobiyyah.
Ashobiyyah bermakna saling tolong menolong di dalam kedholiman dan berbuat dosa.
Bukankah membiarkan asing dan aseng dengan seenaknya mengeksploitasi kekayaan Indonesia ini, termasuk tindakan ashobiyyah? Pemerintah yang membuka kran membanjirnya tenaga kerja asing khususnya China di tengah angka pengangguran dan kemiskinan rakyat sendiri, bukankah ini adalah tindakan ashoniyyah? Bukankah segenap upaya yang menghalangi kembalinya Syariat Islam untuk mengatur negara termasuk tindakan ashobiyyah? Tindakan ashobiyyah, sesungguhnya yang berpotensi untuk memecah belah bangsa dan menimbulkan konflik.
Bukankah Islam mempunyai solusi yang mampu menyelesaikan masalah ekonomi seperti kesenjangan ekonomi, eksploitasi asing atas kekayaan Indonesia dan lainnya? Bukankah Islam yang menyatukan bangsa Arab Jahiliyyah hingga berubah menjadi bangsa terkemuka yang membawa ajaran keselamatan dari Allah SWT? Bukankah Islam yang telah mempersatukan Aus dan Khozroj hingga Madinah mencapai kemajuannya? Bukankah Islam yang mampu menuntaskan persoalan kejahatan dengan sangsi uqubat yang tegas dan tidak pandang bulu? Bukankah hukum Islam itu hanya bisa diterapkan oleh al Khilafah?
Lantas mengapa upaya penerapan Islam secara paripurna dalam wadah Khilafah justru dipersekusi? Padahal Islam dan Khilafah merupakan paket komplit yang akan menebarkan rahmat di muka bumi.
Tinggal satu persoalan lagi. Ketika Indonesia telah berubah menjadi Negara Islam, apakah rakyat dipaksa masuk Islam? Sesungguhnya rakyat di dalam sejarah KeKhilafahan Islam, niscaya terdapat keanekaragaman. Baik dari sisi agama, suku bangsa dan lainnya. Adapun dari aspek penyelenggaraan pemerintahan tetap menggunakan sistem hukum Islam. Alasannya karena sistem hukum Islam mampu melahirkan keadilan dan kesejahteraan. Buktinya Khilafah Islam mampu menaungi hampir 2/3 dunia selama sekitar 1300 tahun. Sebuah prestasi persatuan dan kesatuan yang tidak akan pernah bisa dicapai oleh peradaban apapun di dunia ini.*