Oleh:
Asyari Usman
Wartawan senior
RADIKALISME tampaknya sudah merasuki birokrasi pemerintahan. Walikota Bekasi, Rahmat Effendy, termasuk salah seorang pejabat yang terpapar radikalisme kelas berat. Dia, lebih dua tahun silam, sempat mengatakan di depan publik bahwa lebih baik kepalanya ditembak ketimbang mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) sebuah rumah ibadah.
Rahmat Effendy, yang sering dipanggil Pepen, mengatakan di acara Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, 16 Maret 2017, dia melawan habis desakan masyarakat agar izin pembangunan geraja Santa Clara di Bekasi dibatalkan. Pepen menggoreskan kesan bahwa dia siap mati demi gereja itu. Sikap ini mendapat penghargaan dari Komnas HAM.
Siap mati demi prinsip adalah ciri radikalisme. Jadi, tidaklah keliru menyebut Pepen seorang penganut paham radikal.
Di hari Idul Adha barusan (11/8/2019), Walikota Pepen kembali menunjukkan radikalisme yang dia anut. Dia memilih tidak sholat Id di Masjid Agung al-Barkah di Bekasi. Berbagai laporan media menyebutkan dia mewakilkan kehadirannya di Masjid Agung kepada pejabat Bagian Kesos Pemko Bekasi. Sedangkan Pepen dikatakan ikut sholat Id di masjid dekat rumahnya di Pekayon.
Berbagai media memberitakan bahwa Pepen tidak sholat Id di Masjid Agung karena meresmikan gereja Santa Clara tepat pada hari Idul Adha 1440 H. Tetapi, pihak Pepen membantah. Ketidakhadirannya di Masjid Agung untuk sholat Id bukan karena meresmikan gereja Santa Clara, melainkan karena kelelahan setelah hari sebelumnya mengikuti rapat di DPRD hingga subuh.
Hebatnya, ada berita yang dimuat Tempo online (12/8/2019) bahwa Pepen tak sholat Id di Masjid Agung al-Barkah gara-gara meresmikan geraja Katolik itu adalah hoax. Ada kesan berita Tempo itu seolah menyebutkan bahwa peresmian geraja Santa Clara oleh Pepen di hari Idul Adha itu, juga hoax. Padahal, memang benar Pepen meresmikan Santa Clara pada hari Idul Adha (11/8/2019).
Baik, kita cukupkan sampai di sini soal apakah Pepen tak sholat Id di Masjid Agung gara-gara dia harus meresmikan gejara Santa Clara, atau karena dia kelelahan.
Mari kita kembali fokus ke radikalisme Pak Walikota dalam membela kepentingan non-muslim. Tentu sikap beliau ini sangat terpuji bagi kalangan minoritas dan kalangan yang benci Islam. Kalangan yang benci Islam itu bisa non-muslim, bisa juga orang Islam sendiri alias para munafiqun.
Radikalisme minoritas Pepen itu tampak dari (1)semangat dia yang sangat keras untuk meresmikan Santa Clara; (2)ketiadaan semangatnya untuk sholat Idul Adha di Masjid Agung hanya karena kelelahan. Dari sini boleh disimpulkan bahwa untuk kepentingan minorits, Pepen siap ditembak kepalanya demi membela minoritas. Dan dia siap datang ke mana saja dan jam berapa saja ke acara mereka. Pepen tidak takut mati. Tidak ada istilah kelelahan demi minoritas. Dia siap ditembak kepalanya demi IMB Santa Clara. Itulah paham radikal yang dianut Pepen. Radikalisme minoritas.
Radikalisme model ini tentu mendapat nilai yang sangat tinggi di mata banyak pihak yang tak suka Islam. Radikalisme yang sedang trendy. Banyak pejabat dan politisi yang “berbaiat” kepada radikalisme minoritas.
Sebaliknya, perjuangan radikal untuk menyuarakan sikap antikorupsi dianggap sesuatu yang tak baik. Perjuangan untuk menegakkan keadilan bagi umat Islam, selalu dikategorikan sebagai “paham radikal yang terlarang”. Apa saja yang berkonten membela umat, hampir pasti distempel sebagai “radikalisme terlarang”.
Radikalisme yang dianut Pepen kelihatannya akan semakin berkembang. Banyak yang mendukung dan banyak yang siap menjadi penganutnya.
Hak jawab Pemkota Bekasi, silakan klik tautan ini: Hak Jawab Pemkot Bekasi Terkait Artikel Voa Islam: Wali Kota Bekasi Terpapar Paham Radikal