Oleh:
Erwin Maulana
Pemerhati listrik dan energi
DRAMA persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk kasus PLTU Riau-1 tampaknya belum segera berakhir. Dirut PPT PLN (Persero) Sofyan Basir, tiap Senin masih bolak-balik meghadiri sidang sebagai terdakwa. Kira-kira, bakal seperti apa akhir dari lakon ini?
Sebetulnya banyak fakta yang terungkap dari persidangan. Setelah berputar dari satu pasal ke pasal lain, dakwaan akhirnya dikerucutkan pada peran SB yang memfasilitasi sejumlah pertemuan para pihak terkait. Mereka yang dimaksud ini adalah pengusaha Johanes B. Kotjo, Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI Eni Maulani Saragih, Bendahara Umum Golkar yang juga Menteri Sosial Idrus Marham, dan tim PLN.
Di persidangan terungkap, ada 11 kali pertemuan yang ‘difasilitasi’ SB terkait PLTU Mulut Tambang Riau-1. Jaksa Penutut Umum (JPU) menjadikan 11 kali pertemuan ini sebagai pintu masuk untuk menjerat Sofyan. Alasannya, dari rentetan pertemuan itulah lahir fee Rp 4,7 miliar untuk Eni dan Idrus.
Namun menurut Kotjo, pertemuan berulang kali itu adalah hal yang lumrah, terutama karena skala proyek yang cukup besar. Sebagai pengusaha Kotjo berpendapat mustahil untuk proyek senilai US$1 miliar bisa dituntaskan hanya dalam 1-2 kali pertemuan. Dengan belasan kali pertemuan pun, lanjut dia, belum tentu selesai jika berbagai persyaratannya tidak dipenuhi.
Pengadilan maraton yang digelar mengungkap sejumlah fakta penting. Antara lain, dalam kapasitasnya sebagai Dirut PLN, ternyata SB bukan tipe pejabat gampangan. Hal ini diakui Kotjo yang menyatakan, kendati telah dikenalkan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR yang biasanya punya taji, SB tidak otomatis jadi lunak. Kotjo tetap dihadapkan sejumlah persyaratan yang susah dipenuhi.
Tidak Bisa Dinego
Menariknya dari rangkaian pertemuan ini, di persidangan Kotjo justru punya kesan positif terhadap mantan bankir tersebut. Menurut dia, SB ternyata profesional. Pasalnya, harga yang menurut Kotjo sudah rendah masih ditawar lagi oleh SB. Jadi, memang SB susah, tidak bisa dinego.
Pernyataan Kotjo di pengadilan soal harga jual listrik yang masih ditawar ini mengingatkan kita kepada Rizal Ramli. Saat menjadi Menko Ekuin (2000-2001), dia menemukan hampir semua kontrak pembelian listrik swasta ternyata dimark-up. Angkanya tidak tanggung-tanggung, 7-12 cent dolar/kWh. Padahal saat itu di seluruh dunia harga listrik hanya 3 cent dolar.
Praktik ini terjadi karena pengusaha memberi saham kosong kepada para pejabat untuk ditukar dengan tarif yang sangat mahal. Akibatnya, beban utang PLN jadi sangat tinggi, mencapai US$85 miliar. PLN nyaris bangkrut.
Penyelesaian lewat arbitrase internasional hanya menghasilkan kekalahan bagi PLN dan negara. Itulah sebabnya RR, sapaan akrab tokoh nasional ini, menggunakan cara lain. lewat kawannya di harian The Wall Street Journal, dia mengungkap pat-gulipat tersebut di halaman satu harian bisnis paling berpengaruh itu selama tiga hari berturut-turut.
Akibatnya, para bos perusahaan asing berbondong terbang ke Jakarta. Mereka ingin merenegosiasi dengan sang Menko Ekuin. Hasilnya, utang PLN yang sebelumnya US$85 miliar, langsung melorot menjadi tinggal US$35 miliar. Dengan menggunakan cara-cara out the box, RR berhasil menyelamatkan PLN hingga US$50 miliar!
Untungkan PLN
Kembali ke soal PLTU Mulut Tambang Riau-1. Sebetulnya, 11 kali pertemuan tadi tidak melulu membahas soal harga jual PLTU kepada PLN. Tapi juga ada pembahasan menyangkut komposisi saham cucu perusaaan PLN dan PT Samantaka Batubara, anak perusahaan Blakgold Natural Resources milik Kotjo yang _listing_ di bursa saham Singapura. SB menghendaki saham PLN sebesar 51%. Tapi meski mayoritas, dia hanya mau menyetor dana 10% saja. Sisanya yang 41% diperoleh hasil pinjaman dari Samantaka. Satu lagi, syaratnya pinjaman tadi harus murah. Bunganya 4,125% alias sama dengan _global bond_ yang biasa PLN terbitkan.
Materi pembahasan dari pertemuan berseri itu juga menyangkut masa kontrol PLTU. Kotjo mengajukan 20 tahun. Tapi SB ngotot 15 tahun. Setelah itu PLTU akan jadi milik PLN. Kalau pengusaha tidak setuju, lebih baik mencari mitra lainnya saja.
Jadi, rangkaian pembahasan 11 kali pertemuan itu sebenarnya menghasilkan hal-hal postitif dan menguntungkan bagi PLN. Pertama, saham yang dikantongi mayoritas, yaitu 51%. Sebagai pemegang saham, apalagi mayoritas, PLN berhak menempatkan direksi untuk mengontrol. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Yang sudah-sudah, PLN benar-benar hanya berfungsi sebagai pembeli alias off taker dari listrik yang dihasilkan Independent Power Producer (IPP).
Keuntungan kedua, jumlah dana yang disetor PLN untuk penguasaan saham 51% hanya 10%. Ini jelas sangat mengtungkan bagi arus kas perusahaan. Ketiga, PLN dapat pinjaman dana murah untuk menutup 49% saham sisanya. Keempat, PLN punyak hak penuh atas PLTU Riau-1 pada 15 tahun ke depan.
Bagaimana dengan fee dari Kotjo yang diterima Eni dan Idrus? Apakah SB juga kecipratan hal serupa? Berdasarkan keterangan Eni dan Kotjo di pengadilan, tidak ada satu pun yang mengarah apalagi membenarkan SB menerima fee. Lagi pula, logikanya, kalau memang dia menerima fee, buat apa pula harus ada pertemuan hingga 11 kali. Itu pun, kata Kotjo, belum tuntas juga. Bukankah perkaranya jadi mudah, karena sejak awal Sofyan sudah bisa diajak cincai?
Sofyan sendiri menyatakan tidak mengetahui ihwal fee tersebut, karena soal ini merupakan pembicaraan antara Kotjo dan Eni. Bahkan, ketika menyerahkan fee kepada Eni, Kotjo mengaku tidak ada pernyataan dari Eni, bahwa sebagian uang itu akan diserahkan kepada SB. Kotjo juga mengatakan, memberi uang kepada Eni untuk munas Golkar dan untuk Pilkada suaminya, tidak ada hubungannya dengan Proyek PLTU Riau 1.
Tentang permintaan SB agar Kotjo memperhatikan anak-anak (pegawai PLN) yang disebut Eni, pun jadi mentah di pengadilan. Faktnya, Kotjo tidak pernah mengkonfirmasi kepada Sofyan WA yang disampaikan oleh Eni yang berisi tentang anak-anak SB diperhatikan. Kotjo juga tidak pernah mengkonfirmasi SB tentang WA dari Eni terkait kalimat the best. Artinya, validitas permintaan yang seolah-olah dari SB ini sangat patut dipertanyakan. Bukan mustahil semua itu hanya sepihak dari Eni.
Tapi, sayang sekali skema bisnis yang menguntungkan PLN ini jadi buyar. PLN membatalkan penujukan PT Pembangkitan Jawa Bali (anak perusahaan PLN) sebagai pelaksana pembangunan PLTU Riau-1 begitu kasus hukumnya terkuak. Namun sebagai proyek, PLTU Riau-1 tetap masuk dalam RUPTL 2012-29021. Ihwal pembatalan ini, di persidangan Kotjo mengaku _gelo_ alias kecewa. Wajarlah, dia sudah menghabiskan banyak waktu dan biaya, namun proyek gagal diraih.
Sasaran Tembak
Pertanyaannya, bagaimana mungkin sosok SB yang terbukti berpikir dan bertindak out the box, menguntungkan PLN serta punya integritas karena tidak bisa dinego, kok bisa jadi pesakitan di pengadilan?
Bisnis PLN bernilai puluhan miliar hingga triliunan rupiah. Seperti diungkap RR, banyak pat-gulipat terjadi antara pengusaha dan oknum penguasa. Selama ini mereka menikmati pesta pora yang terus berlangsung. Integritas Sofyan jelas mengganggu kenyamanan mereka. Apalagi, sejak awal didapuk jadi nakhoda PLN dia sudah menyatakan, pesta telah usai. Selanjutnya PLN hanya bisa menyediakan makan pagi, makan siang, dan makan malam biasa. Bukan pesta pora! Silakan berbisnis dengan PLN, tapi keuntungannya wajar-wajar saja.
Sikap SB ini tentu saja membuat marah banyak orang. Kalau bisa dan terbiasa berpesta, kenapa harus puas dengan makan biasa? Celakanya, bisnis setrum yang rupiahnya selalu dalam jumlah jumbo bahkan suprejumbo, sering melibatkan orang kuat. Mereka adalah para pejabat publik atau mantan pejabat yang punya taji tajam.
Pada konteks ambisi pemerintah membangun pembangkit listrik 35.000 MW, porsi PLN memang cuma 10.000 MW. Sisanya yang 25.000 MW dikerjakan oleh swasta. Di era Sofyan, bisnis PLN dengan IPP banyak menggunakan pola sama dengan Blackgold. Dia hanya mau PLN menjadi pembeli jika polanya seperti tadi.
Akibatnya banyak pihak yang berang bukan-alang kepalang. Sebagai orang kuat, mereka bisa melakukan apa saja untuk membidik SB. Sampai di sini kita jadi paham. Sofyan punya banyak musuh. Dia jadi sasaran tembak. Oleh siapa? Tahulah kita.*