View Full Version
Sabtu, 17 Aug 2019

Bangga dengan Bendera Tauhid

BENDERA Tauhid masih saja dipermasalahkan keberadaannya hingga mendapatkan "perhatian khusus" untuk di investigasi. Respon yang serius dan cepat terhadap pengibaran atau kepemilikan Bendera Tauhid yang dirasa "mengusik" penguasa rupanya menimbulkan banyak pertanyaan di tengah umat. Ada apa gerangan dengan bendera yang bertuliskan lafadz Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh? Begitu menakutkankah simbol Islam itu? Salahkah generasi Islam menunjukkan rasa bangganya dengan mengibarkannya?

Kecurigaan yang sangat besar terhadap Bendera Tauhid telah mengusik perasaan umat Islam. Mengibarkan atau memiliki Bendera Tauhid menjadi hal yang harus diwaspadai dengan dalih bisa melahirkan bibit radikalisme yang akan menghancurkan negeri. Mengapa tudingan radikalisme itu selalu dialamatkan kepada umat Islam? Dan kepada Bendera Tauhid? Bahkan kepada ajaran Islam yang lainnya mulai dari jilbab, niqob, jenggot hingga politik Islam?

Generasi Islam yang dekat dengan atribut agamanya akan dicurigai dan dianggap berbahaya. Akhirnya, mereka akan phobia dengan agamanya sendiri. Sungguh ini mengerikan! Bisa saja sebagian Muslim tanpa sadar mengidap sindrom Islamphobia ini lalu memunculkan rasa takut dan benci pada ajaran dan simbol-simbol Islam.

Justru seharusnya kita risau bila mereka bangga dengan budaya hedonis-sekular yang mengarahkan mereka pada kebebasan bersikap tanpa batasan agama dan norma. Karena itu, kita perlu membekali generasi Islam dengan akidah Islam yang kokoh dan senantiasa mendekatkan mereka dengan ajaran Islam. Bukan malah menjauhkan mereka dari jati diri mereka sebagai seorang Muslim.

 

Bangga dengan Bendera Rasulullah

Sudah semestinya kita merasa bangga dengan generasi muda yang mencintai agamanya sendiri. Bukan justru sibuk membuat ketakutan pada mereka. Suatu hal yang wajar jika generasi muda bangga dengan ar-Rayah dan al-Liwa yang merupakan simbol tauhid. Ar-Rayah dan al-Liwa adalah simbol yang sangat penting sebagai tanda persamaan pendapat umat dan persatuan hati umat Islam. Keduanya mengekspresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran Islam.

Banyak hadits shahih atau minimal hasan yang menjelaskan seputar ar-Rayah dan al-Liwa ini. Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa-nya berwarna putih. Tertulis di situ Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh (HR Abu Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlâq an-Nabiy saw.). Seperti dinyatakan oleh Imam Muhammad asy-Syaibani dalam As-Siyar al-Kabîr dan oleh Imam as-Sarakhsi dalam Syarh as-Siyar al-Kabîr, Liwa kaum Muslim selayaknya berwarna putih dan Rayah mereka berwarna hitam sebagai bentuk peneladanan kepada Rasulullah saw.

Terkait tulisan dan khat serta ukuran, itu hanyalah perkara teknis saja. Dalam sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu tidaklah bijak jika persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menolak ar-Rayah dan al-Liwa.

Ar-Rayah dan al-Liwa merupakan lambang akidah Islam karena di dalamnya tertulis kalimat tauhid: Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh. Kalimat inilah yang membedakan Islam dan kekufuran. Kalimat ini pula yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Kalimat tauhid adalah harga bagi surga. Rasulullah saw. pernah bersabda: Siapa saja yang akhir ucapannya (sebelum wafat) adalah Lâ ilâha illallâh maka dia pasti masuk surga (HR Abu Dawud). Kita pun berharap dimatikan dan dibangkitkan kelak dengan kalimat kebanggaan ini.

Karena itu,  Ar-Rayah dan al-Liwa harus diagungkan dan dijunjung tinggi. Sebab keduanya merupakan syiar Islam yang seharusnya menggantikan syiar-syiar jahiliah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat ashabiyah. Allah Swt. berfirman: Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS. al-Hajj [22]: 32).

 

Kalimat Tauhid, Kalimat Mulia yang Didakwahkan Para Ulama

Kalimat tauhid merupakan kalimat agung yang mampu membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah Swt. Kalimat tauhid adalah pemisah antara pejuang yang haq dan pengasong kebathilan. Perhatikanlah perjuangan Sayidina Ja’far bin Abi Thalib dalam perang Mu'tah, ketika tangan kanannya putus, ia genggam bendera tauhid bertuliskan "Laa ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah", di tangan kirinya.

Ketika tangan kirinya putus, ia rangkul bendera itu dengan kedua lengannya. Ia tidak rela melihat bendera Rasulullah saw. itu jatuh. Ia terluka dengan delapan puluh tusukan di bagian depan tubuhnya. Semua luka itu ada di bagian depan tubuhnya. Mengapa? Karena beliau maju terus pantang mundur mempertahankan Bendera Tauhid agar tetap berkibar. Semoga Allah meridhoinya.

Bendera Tauhid juga telah ada sejak lama dalam sejarah bangsa. Pengelola laman Jejak Islam Bangsa, Beggi Rizkiansyah bahkan mengatakan, bendera dengan lafadz kalimat tauhid bukan fenomena baru dalam sejarah terbentuknya Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa bendera dengan kalimat tauhid dipakai sebagai bendera resmi sebuah negara atau kerajaan di Sumatera.

Seorang da'i, guru bangsa, sekaligus pejuang kemerdekaan, Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang, meminta para santrinya memasang Bendera Tauhid di mimbar acara Maulid yang ia selenggarakan. Majelis Taklim yang dibina Habib Ali sejak 1911 itu selalu dipadati ribuan muhibbin dari Jakarta dan sekitarnya. Dia menganggap, agama perlu diamalkan, bukan untuk diperdebatkan, apalagi saling memusuhi sesama kaum Muslim. Banyak yang mengatakan, inilah sebabnya majelis taklim Kwitang bertahan hampir satu abad.

Indonesia sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia sudah seharusnya dapat melindungi dan menjamin ajaran Islam, dakwah Islam dan eksistensi simbol-simbol Islam dari upaya potensi dugaan kriminalisasi. Karena kalimat Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh merupakan ciri keagungan Islam dan sebagai identitas umat Islam yang tak layak kita alergi dengannya. WalLâhu alam bi ash-shawâb.

Mastufah, S. Kom

Ibu Rumah Tangga Peduli Generasi Muda


latestnews

View Full Version