Oleh:
Edy Mulyadi, wartawan senior
“Ya udah kita bilang, satu kalau saya bilang supaya lebih efisienlah. Kalian (PLN) jangan terlalu banyak terlibat pembangunan-pembangunan listrik, power, biarin aja private sector masuk. Seperti 51% harus untuk Indonesia Power waste to energy, lupain dulu lah itu. Konsolidasi aja dulu saja biarkan private sector main,” papar Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan kepada Plt Dirut PT PLN, Sripeni Inten Cahyani, seperti dikutip satu media daring, Rabu pekan silam (14/8).
Entah ada atau tidak hubungan antara ‘nasehat’ Luhut kepada bos PLN itu dan black out yang melanda sebagian Jawa beberapa hari sebelumnya. Yang pasti, ucapan seorang Luhut tersebut mengundang banyak tafsir. Tapi karena sepak terjang pensiunan jenderal ini di ranah bisnis yang menggurita, maka publik langsung menyebutnya ada konflik kepentingan.
Adalah Muhammad Said Didu antara lain yang punya pendapat seperti itu. Dalam kicauannya di @msaid_didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN ini menulis, “Ini jelas konflik kepentingan karena setahu saya beliau memiliki banyak pembangkit listrik.”
Said Didu benar. Luhut punya banyak perusahaan di bawah bendera PT Toba Sejahtera. Gurita perusahaan ini merambah ke berbagai jenis usaha. Di antaranya, batubara dan pertambangan, Migas, perindustrian, properti, pembangkit listrik, serta kehutanan dan kelapa sawit. Bisnisnya di bidang batubara, dia berkibar dengan bendera PT Kutai Energi dan PT Toba Bara Sejahtera (Toba).
Luhut setidaknya punya empat perusahaan yang bermain di pembangkit listrik. Masing-masing PT Pusaka Jaya Palu, PT Kertanegara Energi Perkasa, PT Minahasa Cahaya Lestari, dan PT Gorontalo Listrik Perdana. Dua perusahaan yang disebut terakhir adalah anak-anak perusahaan Toba.
So, tidak bisa tidak, permintaan (‘perintah’?) Luhut kepada Sripeni sarat dengan konflik kepentingan. Sebagai menteri, dia jelas bukan pejabat tinggi biasa. Dia adalah pembantu Presiden. Ucapannya bisa bermakna atau dimaknai sebagai titah bagi direksi BUMN. Dengan PLN tidak lagi terlalu banyak terlibat pembangunan-pembangunan listrik, artinya, swasta akan kebanjiran kerjaan membangun pembangkit listrik. Ini pas betul dengan permintaan yang dengan eksplisit disampaikan Luhut kepada Sripeni.
Saham 51%
Secara khusus, pensiunan jenderal ini juga minta agar PLN melupakan konsep kepemilikan 51% saham di pembangkit-pembangkit listrik yang dibangun swasta. Pertanyannya, mengapa Luhut menaruh perhatian khusus atas perkara kepemilikan saham ini?
Sejak Sofyan Basir didapuk menjadi Dirut PLN, mantan bankir ini memang melakukan sejumlah terobosan penting. Antara lain, melalui anak perusahaan PLN (PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali), dia menghendaki PLN mengantongi saham sebesar 51%. Tapi meski mayoritas, SB, begitu Sofyan biasa disapa, hanya mau menyetor dana 10% saja. Sisanya yang 41% diperoleh hasil pinjaman dari swasta yang menjadi mitra membangun pembangkit. Oya, ada satu syarat lain. Yaitu, pinjaman tadi harus berbunga murah, sekitar 4,125% alias sama dengan global bond yang biasa PLN terbitkan.
Belum lagi soal kepemilikan saham tuntas, SB juga menyodorkan persyaratan lain yang tidak kalah memusingkan swasta. Dia mau masa kontrol pembangkit hanya sekitar 15 tahun. Selanjutnya, pada tahun ke-16 PLTU yang dibangun sepenuhnya jadi milik PLN.
Kalang kabut
Tentu saja, permintaan SB ini membuat para pengusaha swasta kalang kabut dan mangkel. Mereka seperti disudutkan pada ketiadaan pilihan. Bersedia, silakan penuhi syarat-syarat tersebut. Jika tidak mau, masih banyak swasta lain yang ngiler dan antre membangun pembangkit listrik.
Asal tahu saja, Undang Undang tidak mengizinkan swasta menjual listriknya secara langsung kepada konsumen. Sebagai gantinya, peraturan yang ada mewajibkan PLN membeli minimal 72% listrik yang dihasilkan swasta. Pada laporan keuangan 2018, sampai Desember pembelian listrik PLN tercatat senilai Rp84,3 triliun. Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang Rp72,4 tiliun.
Itu baru dari pembelian listrik swasta. Masih ada sumber gizi lain dari belanja PLN yang bisa dikunyah swasta. Biasanya, swasta yang membangun PLTU juga pemilik tambang batubara. Nah, untuk soal ini, sampai semester pertama 2018 saja, PLN harus merogoh kocek hingga Rp16,8 triliun. Dengan asumsi sederhana, dikali dua untuk sampai akhir tahun, artinya, ada dana sekitar Rp34 triliun hanya untuk pembelian batubara. Gurih bin legit, kan?
Tapi, ya itu tadi, SB menyorongkan beragam persyaratan bagi swasta yang akan membangun pembangkit. Dengan persyaratan seperti itu, PLN memang banyak diuntungkan. Pertama, saham yang dikantongi mayoritas, yaitu 51%. Sebagai pemegang saham, apalagi mayoritas, PLN berhak menempatkan direksi untuk mengontrol. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Yang sudah-sudah, PLN benar-benar hanya berfungsi sebagai pembeli alias off taker dari listrik yang dihasilkan Independent Power Producer (IPP).
Keuntungan kedua, jumlah dana yang disetor PLN untuk penguasaan saham 51% hanya 10%. Ini jelas sangat mengtungkan bagi arus kas perusahaan. Ketiga, PLN dapat pinjaman dana murah untuk menutup 49% saham sisanya. Keempat, PLN punyak hak penuh atas PLTU setelah 15 tahun beroperasi.
Keruan saja SB jadi punya banyak musuh. Siapa? Mereka adalah yang selama belasan bahkan puluhan tahun berpesta pora dari proyek-proyek PLN. Pola bisnis yang disorongkan Sofyan sama artinya mengakhiri pesta dengan paksa. Dia ingin mengerem syahwat swasta yang kemaruk bisnis PLTU dan yang terkait. Sebab, jika hal ini dibiarkan terus berlanjut bukan mustahil PLN bisa terpuruk. Sampai di sini, tidak heran kalau dia menjadi sasaran bidik.
Barangkali, tidak terlalu aneh jika kini Sofyan harus mondar-mandir menghadiri sidang di Pengadilan Tipikor sebagai terdakwa pada kasus pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1. Beberapa aktor ikut terseret dalam pusaran kasus ini. Mereka adalah Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI Eny Maulani Saragih, mantan Bendahara Umum Partai Golkar yang juga mantan Mensos Idrus Marham, dan pemilik PT Blackgold Natural Resources, mitra PLN dalam PLTU Riau-1.*